Pemetaan: Langkah Awal Pengelolaan Lahan Gambut untuk Mengurangi Risiko Kebakaran

Home » Blogs » Kekayaan gambut » Konservasi dan restorasi lahan gambut » Pemetaan: Langkah Awal Pengelolaan Lahan Gambut untuk Mengurangi Risiko Kebakaran
Blog

Kegiatan inventarisasi dan pemetaan menjadi tahapan awal yang sangat penting dalam pengelolaan atau pemulihan lahan gambut terdegradasi. Di Indonesia, pengelolaan dan pemulihan lahan gambut telah diatur melalui PP No 57 Tahun 2016 dan Peraturan MenLHK No 16 Tahun 2017.

Indonesia dapat dikatakan cukup maju dalam data pemetaan gambut, antara lain dengan telah dirilisnya peta sebaran kedalaman gambut nasional oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) di bawah Kementerian Pertanian pada tahun 2019, serta telah dimilikinya peta Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) dan Fungsi Ekosistem Gambut (FEG) yang menjadi basis penentuan kegiatan pengelolaan ekosistem gambut.

Indonesia menjadi pusat perhatian pada tahun 2015 karena kebakaran hutan dan lahan yang melahap areal seluas sekitar 2,6 juta Ha dinilai berdampak besar pada lingkungan. KLHK mencatat 85,8% areal yang terbakar adalah areal tidak berhutan dan 14,2% adalah area berhutan. Berdasarkan tipologi jenis tanah, hampir 35% area terbakar merupakan lahan gambut dan lebih dari 25% lahan yang terbakar itu adalah gambut yang berada di dalam Kawasan hutan, sehingga selain mengakibatkan deforestasi hutan, kebakaran tahun 2015 ini juga dianggap berkontribusi besar pada emisi karbon. Meskipun areal berhutan yang terbakar lebih sedikit dibandingkan areal tidak berhutan, lahan gambut yang terbakar melepas karbon dalam jumlah yang cukup signifikan.

Lahan gambut dikenal sebagai areal yang rentan terbakar. Terbentuk dari bahan organik, gambut mampu menyimpan cadangan air dan mengontrol banjir. Namun, jika dikeringkan atau mengalami kerusakan, maka gambut tidak dapat kembali ke bentuknya semula dan menjadi lebih reaktif terhadap panas dan api. Celakanya, lahan gambut adalah salah satu lokasi sasaran alih fungsi yang melibatkan pengeringan sehingga risiko kebakaran semakin tinggi.

Mengingat vulnerabilitas dan peran ekosistem lahan gambut dalam penyediaan jasa lingkungan, pengelolaan dan pemulihan gambut yang rusak menjadi salah satu prioritas untuk dilakukan di Indonesia. Pengelolaan gambut diatur dalam PP No 57 Tahun 2016. Sementara pemulihan kerusakan gambut berpedoman pada Peraturan MenLHK No 16 Tahun 2017. Berdasarkan kedua peraturan tersebut, tahapan awal yang perlu ditempuh dalam merencanakan pengelolaan dan pemulihan ekosistem lahan gambut adalah inventarisasi dan pemetaan untuk mengetahui lokasi dan jenis kegiatan yang tepat diimplementasikan.

Saat ini, Indonesia sudah cukup terdepan dengan tersedianya beberapa peta terkait gambut. Pertama, peta sebaran kedalaman gambut nasional yang dirilis oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) di bawah Kementerian Pertanian pada tahun 2019.

Selain itu, Indonesia juga memiliki peta Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) dan Fungsi Ekosistem Gambut (FEG) yang menjadi basis penentuan kegiatan pengelolaan ekosistem gambut. Sementara dalam konteks restorasi, terdapat peta prioritas restorasi gambut yang digunakan sebagai arahan perencanaan dan jenis intervensi dengan didasari pada beberapa parameter, seperti kebakaran, fungsi ekosistem gambut, dan keberadaan kanal.

Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, pemetaan lebih detail dibutuhkan untuk menyusun perencanaan kegiatan dalam skala besar. Pada tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, misalnya, data yang digunakan adalah data dengan skala 1:50.000 atau bahkan lebih besar. Untuk itu, inventarisasi ekosistem gambut dilakukan dengan mengkombinasikan peta gambut skala kecil, data peta rupa bumi Indonesia, analisis citra, dan survey lapangan, seperti diatur dalam PerMenLHK No 14 Tahun 2017. Survey lapangan dalam pemetaan gambut dilakukan untuk memperoleh informasi seperti karakteristik fisika, kimia, biologi, serta hidrotopografi gambut menggunakan metode sistematik grid yang terdiri dari transek membujur dan melintang dengan jarak antara 500 – 1.000 meter.

Pendekatan yang diadopsi di Indonesia tersebut terbilang efektif sejauh ini, mengingat banyaknya tantangan dalam pemetaan lahan gambut. Pembuatan peta dengan skala detail, misalnya, tidak bisa bergantung sepenuhnya pada citra penginderaan jauh dikarenakan terbatasnya informasi yang tersedia dan dampaknya terhadap akurasi. Sementara, mengandalkan survey lapangan untuk mengambil data di areal yang luas juga tidak efisien sebab dibutuhkan sumber daya tinggi berupa tenaga kerja, biaya, dan waktu. Tidak hanya dari sisi pengumpulan data, hambatan juga datang dari isu dasar seperti ditemukan di beberapa negara Asia Tenggara yang belum memiliki metode pemetaan yang ditetapkan sebagai acuan nasional karena belum disepakatinya definisi gambut.

Pemanfaatan hasil pemetaan gambut di Indonesia tercermin salah satunya dalam dokumen restorasi gambut yang disusun oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). BRGM merupakan Lembaga non struktural yang dibentuk melalui Peraturan Presiden No 120 Tahun 2020 untuk mendukung percepatan restorasi gambut di 7 provinsi. Per tahun 2022, BRGM berhasil menyusun belasan dokumen rencana tindak tahunan dan menyelesaikan intervensi restorasi di 545 ribu ha lahan gambut yang rusak dari target total 1,2 juta ha dengan pemantauan yang dilakukan di beberapa lokasi intervensi, yang petanya dapat diakses di situs PRIMS (Pranata Informasi Restorasi Ekosistem Gambut).

Demi tercapainya target restorasi, pemetaan tingkat tapak perlu menyertakan pihak lain. Wetlands International Indonesia sebagai lembaga yang berkecimpung dalam pelestarian lahan basah, turut berkontribusi dengan keterlibatan aktif dalam perencanaan dan monitoring restorasi gambut. Pada tahun 2002, Wetlands International Indonesia merilis peta sebaran gambut nasional yang kemudian digunakan sebagai salah satu rujukan pembuatan peta gambut oleh BBSDLP di bawah Kementerian Pertanian selaku walidata peta gambut. Wetlands International Indonesia juga ikut berkolaborasi dengan BRGM dalam menyusun dokumen rencana restorasi gambut dan pemantauan intervensi di beberapa KHG di Sumatra dan Kalimantan yang tentunya melibatkan pengambilan data pada tingkat tapak.

Ke depannya, ada harapan untuk memperoleh peta gambut yang semakin teliti melalui teknik pemetaan yang terus dikembangkan menjadi lebih terjangkau dan akurat sebagai salah satu upaya pengurangan risiko kebakaran dan pelaksanaan restorasi yang efektif.