Pengembangan Karbon Biru di Indonesia

Home » Berita » Pesisir dan delta » Ketahanan pesisir » Pengembangan Karbon Biru di Indonesia
Berita

Pada tahun 2010 Pemerintah Republik Indonesia telah mengumumkan itikad untuk melakukan pengurangan gas rumah kaca sebagai bagian dari strategi penurunan resiko bencana dalam menghadapi perubahan iklim. Itikad tersebut kemudian ditegaskan lagi melalui Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 26% pada tahun 2020 dan kemudian menjadi 29% di tahun 2030. Target penurunan emisi terbesar di antaranya terletak pada sektor kehutanan, termasuk hutan mangrove.

Ekosistem pesisir, termasuk mangrove, rawa, dan padang lamun akhir-akhir ini dikenali sebagai penyerap dan penyimpan karbon alami dalam jumlah besar dan dalam waktu yang lama. Karbon yang tersimpan di ekosistem tersebut sering disebut sebagai Karbon Biru atau Blue Carbon. Dikutip dari fact sheet Indonesia Blue Carbon Strategy Framework (IBCSF), dengan luas areal 3,2 juta hektar (terluas di dunia) mangrove di Indonesia berpotensi menyimpan karbon sebesar 950 MgC ha-1, sementara untuk padang lamun memiliki potensi penyimpanan sebesar 119,5 MgC ha-1. Data yang sama menunjukan bahwa potensi total penyimpanan karbon biru di Indonesia adalah sebesar 3,4 gigaton atau setara dengan 17% simpanan karbon biru secara global. Hal ini berarti bahwa kegiatan penghentian laju kerusakan mangrove saja dapat menyumbang 25% dari target NDC Indonesia di tahun 2020. Tentu saja tidak boleh dilupakan fungsi lain dari ekosistem tersebut sebagai pelindung pesisir, habitat keanekaragaman hayati bernilai komersial, serta penunjang mata pencaharian masyarakat pesisir.

Sayangnya, data juga menunjukan bahwa kerusakan yang menimpa ekosistem pesisir cenderung sangat tinggi, hingga mencapai 4x lipat dari kerusakan yang terjadi di hutan hujan tropis, menyumbang sekitar 42% dari emisi karbon biru secara global atau setara dengan emisi dari 11 juta kendaraan per tahun.

Data dan informasi di atas disampaikan dalam pertemuan Kerangka Kerja dan Strategi Pengembangan Karbon Biru Indonesia yang diadakan oleh Bappenas di Jakarta, 2 November 2017. Dalam sambutan pembukaannya, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/ Bappenas menekankan bahwa pembahasan mengenai karbon biru akan dijadikan sebagai bahan penyusunan RPJMN 2020 – 2024 serta memenuhi pemenuhan SDG (Sustainable Development Goals), khususnya goal 13 dan 14. Sementara itu, Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas menekankan perlunya sains dan rumusan teknokratik dalam menentukan kebijakan terkait karbon biru Indonesia, khususnya terkait RPJMN 2020 – 2024.

Uraian kepentingan dan potensi mangrove dalam kerangka karbon biru di Indonesia lebih lanjut diuraikan oleh perwakilan dari Kemenko Maritim, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Salah satu pijakan penting untuk melangkah lebih lanjut adalah masih terlalu dini untuk mengaitkan karbon biru dengan isu perdagangan karbon internasional. Kenyataannya, karbon biru masih belum dimasukan ke dalam NDC Indonesia, meskipun telah ada 50 negara lainnya yang memasukannya. Meskipun demikian, pertemuan sepakat untuk menggagas Sekretariat Nasional Karbon Biru serta pengembangan inisiatif Karbon Biru Indonesia yang menekankan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Head of Programme Wetlands International Indonesia, Yus Rusila Noor, yang menghadiri pertemuan tersebut menekankan perlunya perencanaan dan koordinasi yang baik dalam pengembangan karbon biru di Indonesia, termasuk dalam kerangka kerja perencanaan Pembangunan Rendah Karbon yang digulirkan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas akhir Oktober 2017. Yus juga menyampaikan pekerjaan yang dilakukan konsorsium Ecoshape di pantai utara Jawa Tengah terkait dengan restorasi mangrove berbasis ekologi, di mana pekerjaan restorasi lebih ditekankan pada penyiapan habitat yang memungkinkan mangrove dapat tumbuh secara alami. Penanaman atau bantuan pertumbuhan mangrove oleh manusia sebaiknya hanya dilakukan pada kondisi di mana pertumbuhan alami terhambat dan tidak memungkinkan, atau kondisi di mana penanaman dapat menggalang kepedulian pelestarian yang lebih masif dan produktif dari lebih banyak pemangku kepentingan.

(Dilaporkan oleh Yus Rusila Noor)