Straight to content

Tipologi baru pengelolaan untuk memberikan informasi kepada para pengambil keputusan mengenai jasa ekosistem mangrove

Published on:
  • Konservasi lahan basah pesisir

Wageningen dan Bogor. Sebuah laporan terbaru dari Wetlands International untuk pertama kalinya berhasil mengkuantifikasi penyediaan jasa ekosistem mangrove dalam berbagai macam rezim pengelolaan yang berbeda. Studi tersebut menyimpulkan bahwa penyediaan jasa ekosistem akan sangat bergantung kepada jenis pengelolaan, dan tipe pengelolaan yang memperhitungkan kekayaan ekosistem mangrove akan lebih menguntungkan dibandingkan dengan pengelolaan budidaya perairan. Para pengambil keputusan dapat membuat pilihan pengelolaan terkait jasa ekosistem berdasarkan keluaran yang diinginkan.

Laporan terbaru ini dipublikasikan oleh Universitas Wageningen dan Wetlands International, untuk mengisi kekosongan informasi yang dibutuhkan terkait dengan pendugaan jasa ekosistem mangrove. Beberapa studi terdahulu telah melakukan pengukuran dan penilaian jasa ekosistem yang diberikan oleh ekosistem mangrove secara umum, sementara studi terbaru ini untuk pertama kainya berhasil melakukan evaluasi secara terpisah berdasarkan kegiatan pengelolaannya – yang kemudian disebut sebagai ‘rezim pengelolaan’, termasuk sistem perlindungan, rehabilitasi, wana-mina (silvo-fishery) dan konversi mangrove.

Mangrove alami ternayata memperoleh nilai tertinggi untuk ketujuh jasa ekosistem yang dinilai, kecuali untuk makanan yang berada satu tingkat dibawah budidaya perairan. Sebaliknya, meskipun memperoleh nilai maksimum untuk makanan, ternyata mangrove yang dikonversi menjadi areal budidaya perairan memperoleh nilai rendah atau bahkan negatif untuk seluruh nilai jasa ekosistem lainnya. Nilai rendah tersebut diantaranya diperoleh terkait dengan tingginya emisi karbon, peningkatan tinggi gelombang (peningkatan resiko banjir) dan polusi perairan. Gabungan antara wilayah mangrove dan wana-mina, yang menggabungkan rehabilitasi ekosistem dan penyediaan bahan mentah dan udang, juga melebihi nilai keseluruhan yang diperoleh dibandingkan dengan konversi mangrove menjadi budidaya perairan. Hal ini secara jelas mengindikasikan adanya keuntungan yang diperoleh dari kegiatan restorasi wilayah mangrove yang dahulunya dimanfaatkan secara intensif.

Melalui pengkajian pengaruh rezim pengelolaan dalam pengadaan ketujuh jasa eksositem tersebut, studi ini telah menghasilkan pesan kebijakan dan pengelolaan yang sangat nyata. Lebih jauh, dengan memperbandingkan beragam rezim pengelolaan mangrove terhadap budidaya perikanan, studi ini untuk pertama kalinya juga memungkinkan para pengambil keputusan untuk mengeksplorasi elemen penting dari pengelolaan pesisir secara optimal dengan mempertimbangkan rezim pengelolaan mana yang paling banyak memberikan jasa ekosistem.

Tipologi pengelolaan baru yang diperkenalkan dalam studi ini bersifat sangat inovatif karena memperhitungkan kebijakan, peraturan dan kegiatan pengelolaan di Jawa, sementara bagian karakteristik ekologisnya (yang dihasilkan dari pengelolaan) dapat digunakan untuk menyimpulkan jasa ekosistem yang telah dihasilkan.

Beberapa temuan yang dihasilkan dalam studi ini diantaranya adalah:

  • Seluruh rezim pengelolaan yang melibatkan mangrove menghasilkan nilai yang lebih baik terkait jumlah jasa eksositem yang disediakan, dibandingkan dengan rezim budidaya perairan.
  • Budidaya perairan hanya memberikan satu jenis jasa saja (penyediaan makanan), dan sebagian besar hanya bergantung kepada produksi buatan serta membahayakan jenis jasa lainnya (penyimpanan karbon, perlindungan pesisir, pemurnian air)
  • Meskipun sistem budidaya perairan  (hampir seluruhnya bersifat buatan) dan sistem mangrove (alami) sulit untuk diperbandingkan, studi ini menemukan bahwa hasil perikanan dengan sistem mangrove yang lebih alami  akan lebih besar (dalam kg/ha/tahun) dibandingkan budidaya perairan, dan pada saat yang sama juga memberikan keuntungan tambahan.  Meskipun demikian, mangrove akan memberikan jumlah spesies yang lebih beragam, sementara untuk budidaya perairan hanya memberikan jenis tertentu yang dipelihara saja.
  • Umur pohon mangrove (terkait dengan tinggi, diameter, panjang akar, kekayaan jenis dan kompleksitas strukturnya) sangat berpengaruh penting terhadap ketujuh jasa lingkungan yang dianalisa dalam studi ini.
  • Terdapat setidaknya 9 bentuk wana-mina, yang berbeda dalam hal pemberian jasa ekosistemnya. Yang terbaik adalah yang memiliki lokasi masuk (inlets) dan lokasi keluar (outlets) air terpisah, dan bagian terpisah antara wana dan mina, yang akan berfungsi secara optimal.
  • Sertifikasi lingkungan (Eco-certification) memiliki potensi besar (terkait kebutuhan jalur hijau dan rehabilitasi), tetapi masih dapat berdampak negatif terhadap jasa lainnya kecuali jika pengelolaannya disesuaikan.

Studi ini menguraikan indikator status dan pelayanan dari 7 jasa lingkungan, yaitu makanan, bahan-bahan mentah, perlindungan pantai, sekuestrasi karbon, pemurnian air, pengasuhan ikan dan udang, dan rekreasi berbasis alam. Tipologi rezim pengelolaan didasarkan pada 10 karakteristik dan indikator pengelolaan spesifik, dengan mempertimbangkan adanya peraturan dan kegiatan pengelolaan di Jawa, serta termasuk 8 karakteristik ekologis. Studi ini mengasumsikan adanya kestabilan yang kokoh, dan tidak mempertimbangkan kemungkinan adanya kekacauan dalam sistem.

Studi baru-baru ini telah menemukan adanya nilai moneter dari ekosistem mangrove secara keseluruhan (seringkali juga termasuk mangrove yang dikonversi menjadi budidaya perairan), tetapi laporan ini juga mengkuantifikasi dan membandingkan jasa ekosistem dimana belum ada valuasi yang memungkinkan saat ini. Temuan dalam studi ini berdasarkan kepada kajian ulang pustaka serta kajian cepat di lapangan.