Standar Kegiatan dan Biaya Pemulihan Ekosistem di Kawasan Konservasi KSA dan KPA Disusun
-
Ulasan tahunan
Jakarta, Jumat 12 Mei 2017 — Pelaksanaan pemulihan ekosistem di Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam masih mengalami beberapa kendala, salah satunya karena belum adanya standar kegiatan dan biaya untuk pemulihan ekosistem untuk berbagai kondisi ekosistem di lapangan. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menggagas sebuah kegiatan dalam rangka mengatasi permasalahan ini dengan menyusun beberapa Standar Kegiatan dan Biaya Pemulihan Ekosistem di KSA dan KPA.
Salah satu tahap penyusunan ini dilaksanakan melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan melibatkan para pakar dan pelaksana teknis di lapangan yang diadakan oleh Direktorat Kawasan Konservasi (Ditjen KSDAE) bekerjasama dengan WRI pada Jumat 12 Mei 2017 di Jakarta. Wetlands International Indonesia (WII) turut hadir dalam kegiatan tersebut yang diwakili oleh Ragil Satriyo Gumilang (menyoroti terkait pemulihan ekosistem mangrove) dan Iwan Tri Cahyo Wibisono (menyoroti terkait pemulihan ekosistem gambut).
FGD dilakukan dengan dibagi menjadi tiga kelompok untuk sembilan draft SKB yang telah disiapkan, yaitu: 1) SKB Perencanaan Pemulihan Ekosistem, 2) SKB Pemulihan Ekosistem dengan Mekanisme Alam, 3) SKB Pemulihan Ekosistem melalui Pengendalian Jenis Asing Invasif, 4) SKB Pemulihan Ekosistem dengan Penanaman Pengkayaan (termasuk di dalamnya persemaian dan pemeliharaan), 5) SKB Pemulihan Ekosistem dengan Penanaman Intensif (termasuk di dalamnya persemaian dan pemeliharaan),6) SKB Pemulihan Ekosistem pada ekosistem Gambut, 7) SKB Pemulihan Ekosistem pada ekosistem Mangrove, 8) SKB Pemulihan Ekosistem pada ekosistem Danau, dan 9) SKB Pemulihan Ekosistem melalui Transplantasi Karang. Berbagai SKB ini nantinya diharapkan dapat dijadikan acuan bagi UPT pelaksana pemulihan ekosistem.
Pada kegiatan tersebut, WII telah memberi masukan mengenai SKB terkait pemulihan ekosistem mangrove dan gambut berdasarkan pengalaman di lapangan, baik dari tahap perencanaan, pembibitan, penanaman, hingga pemeliharaan. WII juga menyampaikan masukan terkait metode pemulihan ekosistem mangrove dengan metode pemerangkap sedimen (Konsep Membangun bersama Alam) yang belum tertuang dalam draft SKB. Masukan tersebut diterima dengan baik oleh Wahju Rudianto, Kasubdit Pemulihan Ekosistem, Direktorat Kawasan Konservasi, selaku fasilitator dalam FGD. Informasi teknis mengenai pembangunan Pemerangkap Sedimen, baik yang telah dilakukan di Banten maupun di Demak, nantinya akan dipertimbangkan untuk diadopsi dalam pedoman teknisnya.
Untuk ekosistem gambut, WII menyarankan intervensi dalam pemulihannya disesuaikan dengan variasi kondisi biofisik yang ada di lapangan. Standar biaya berbeda diperlukan untuk pembasahan kembali (rewetting), dan ini harus disesuaikan dengan jenis kanal dan intensitasnya. Sebagai contoh, standar biaya rewetting untuk kanal primer harus berbeda dengan yang kanal sekunder, atau tersier. Hal yang sama juga diaplikasikan untuk revegetasi. Sebagai contoh, standar biaya penanaman di belukar seharusnya berbeda dengan yang dilakukan di areal terbuka. Pengaturan kegiatan di lapangan sedapat mungkin harus mengakomodir kondisi yang ada di lapangan.
(Dilaporkan oleh Ragil Satriyo Gumilang dan Iwan Tri Cahyo Wibisono)