Straight to content

Siaran Pers : Pencegahan Karhutla di Tengah Pandemi pada Musim Kemarau: Apa Peranan Paludikultur?

Published on:
  • Mitigasi Iklim dan Adaptasi
  • Penggunaan lahan berkelanjutan

BMKG mengindikasikan bahwa sebagian besar wilayah di Indonesia telah memasuki musim kemarau 2020 dan diperkirakan akan mencapai puncaknya pada bulan Agustus hingga September. Meskipun prakiraan menunjukkan tidak akan ada kehadiran El Nino di musim kemarau tahun ini, namun tetap diperlukan kewaspadaan yang tinggi karena berbarengan dengan masih merebaknya pandemi Covid19. Tidak hanya musim kemarau yang dapat meningkatkan risiko pandemi, tetapi di sisi lain pandemi Covid-19 juga dapat meningkatkan ancaman karhutla. Selain hambatan dalam mobilisasi penanganan karhutla, terdapat kekhawatiran adanya peningkatan ekstraksi sumber daya alam untuk menutupi kebutuhan primer dan sekunder selama pandemi.

Guna mencegah terjadinya peningkatan bahaya karhutla dan sekaligus peningkatan kasus terpapar Covid-19 di musim kemarau tahun ini, perkumpulan PaludiFor dan Yayasan Lahan Basah menghadirkan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dr. Alue Dohong, untuk memberikan pandangannya terkait dengan pemanfaatan sistem paludikultur di lahan gambut. Dalam paparannya di acara Webinar Paludikultur di Tengah Pandemi Covid-19 dan Menjelang Musim Kemarau 2020, Alue Dohong sebagai pembicara kunci (keynote speaker) menegaskan bahwa paludikultur merupakan praktik pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan. Pendekatan ini dilakukan melalui budidaya tanaman asli gambut dengan mempertahankan kondisi alami gambut yang basah atau mengembalikan kondisinya dengan upaya pembasahan. Sehingga, hal ini dapat mengurangi risiko terjadinya karhutla di gambut. Dalam kondisi alaminya yang basah, melalui sistem Paludikultur, gambut juga berpotensi untuk menyediakan bahan pangan maupun kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat. “Di masa Covid ini banyak negara melakukan kebijakan pemenuhan kebutuhan pangan domestiknya dari pada diekspor ke luar negaranya. Sehingga Indonesia harus melakukan hal yang sama terkait ketahanan pangan kita. Paludikultur ini bisa menjadi bagian dari kebijakan tersebut,” ujarnya.

Pengetahuan tentang prakiraan kondisi musim kemarau 2020 diuraikan oleh Raja P. Siregar dari Pusat Iklim Palang Merah dan Bulan Sabit. Menurutnya, musim kemarau 2020 perlu diwaspadai karena adanya lebih dari 103 wilayah yang akan mengalami curah hujan di bawah normal, terutama di wilayah yang memiliki lahan gambut luas. Prakiraan iklim dan cuaca memberikan kita petunjuk awal wilayah yang memiliki risiko besar berdasarkan tingkat curah hujan. Beberapa wilayah di Sumatra yang selama ini menjadi langganan karhutla perlu kembali mendapatkan pengawasan ekstra. Raja juga menekankan bahwa selain mendorong kesiapsiagaan di daerah, bahkan perlu juga didorong siaga darurat, khususnya pada level desa, sehingga perlu dipertimbangkan optimalisasi penggunaan dana desa. Mencegah kebakaran lahan menjadi sangat penting pada saat ini karena asap kebakaran lahan berisiko meningkatkan penyebaran kasus Covid-19 pada masyarakat yang memiliki bawaan penyakit pernafasan maupun melalui pengungsian dengan keterbatasan ruang.

Pada kondisi nyata di tingkat tapak, Syarifudin Goeshar dari Purun Institute yang banyak mendampingi perajin tikar purun di Padamaran, Sumatra Selatan, menyampaikan bahwa selama pandemi ini sekitar 2000 perajin dan 200 pengumpul kerajinan mengeluhkan tidak kurang dari 20.000 lembar produk kerajinan tikar purun mereka tidak dapat terserap pasar karena sepi pembeli. Di sekeliling kawasan rawa yang menjadi tempat tumbuhnya purun saat ini juga mengalami kekeringan dan pendangkalan di beberapa akses sungai. Para pengambil purun mengalami hambatan akses ke lokasi. Hal ini juga berpotensi menghambat mobilisasi regu pemadam api jika terjadi kebakaran. Kelompok Pengambil Purun Peduli Api (KP3A) yang dibentuk masyarakat saat ini telah bersiap untuk menjaga lahan purun dari kebakaran, yang jika itu terjadi, maka akan menambah derita mereka akibat menurunnya pendapatan di tengah pandemi yang sedang mendera.

Upaya penanganan karhutla harus dilaksanakan oleh semua pemangku kepentingan. Dari sudut pandang para Perekayasa, Dr. Esrom Hamonangan dari Balitbang KLHK dan sekarang bertugas di Komnas HAM, mempresentasikan sebuah temuan inovatif berupa alat perekayasa udara dalam ruangan berbasis anion. Ia berharap bahwa alat ini bisa segera diproduksi secara massal dan disebarkan ke seluruh lokasi yang rentan karhutla, sehingga dapat membantu mengurangi risiko karhutla pada musim kemarau yang berbarengan dengan merebaknya pandemi tahun ini.

Menutup acara, Agus Tampubolon Ketua PaludiFor yang menjadi moderator webinar menekankan pentingnya kerja sama dari berbagai pihak untuk mendorong diterapkannya paludikultur sebagai salah satu upaya mengurangi risiko karhutla. Hal ini akan berkontribusi terhadap mitigasi perubahan iklim, pemenuhan pangan nasional, serta peningkatan kesehatan masyarakat di tengah pandemi ini.

Narahubung :

  • Agus Tampubolon (Ketua PaludiFor, Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan,Badan Pengembangan dan Inovasi, KLHK). Email: [email protected]
  • Iwan Tri Cahyo Wibisono (Sekretaris PaludiFor, Yayasan Lahan Basah/Wetlands International Indonesia). Email: [email protected]
  • Susan Lusiana (Anggota PaludiFor, Yayasan Lahan Basah/Wetlands International Indonesia). Email: [email protected],HP/WA: 081286604246

 

Tautan Referensi Pendukung:

 

Siaran Pers : Pencegahan Karhutla di Tengah Pandemi pada Musim Kemarau: Apa Peranan Paludikultur?