Straight to content

Rilis Pers Climate Change and Blue Carbon: Potential, Policy Framework, and Best Practices

Published on:
  • Konservasi lahan basah pesisir

Pada pertemuan internasional Our Ocean Conference 2018 yang diselenggarakan di Bali oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tanggal 29-30 Oktober 2018, di bawah bendera kolaborasi dengan Forum Komunikasi Konservasi Indonesia (FKKI), Wetlands International Indonesia memprakarsai suatu side event.

Kegiatan bertajuk ‘Climate Change and Blue Carbon: Potential, Policy Framework, and Best Practices’ ini masuk di bawah tema Perubahan Iklim dan diadakan dalam format serangkaian paparan dan diakhiri dengan diskusi. Sebagai salah satu dari serangkaian mata acara yang diselenggarakan pada hari pertama konferensi, Side Event ini dihadiri oleh sekitar 60-an peserta.

Dr. Steen Christensen, Regional Coordinator for Mangrove for the Future (MFF), IUCN, dalam paparannya mengemukakan pentingnya suatu mekanisme insentif yang diselenggarakan dengan melibatkan masyarakat setempat dalam upaya memitigasi dampak perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca. Dr. Christensen juga memaparkan bahwa 151 negara di dunia memiliki salah satu dari ketiga ekosistem karbon biru yang disebutkan tadi, di mana 71 negara bahkan memiliki ketiganya. Sementara menurut Alongi, Mudiyarso, et. al. (2016)[1], potensi karbon biru di Indonesia mencapai 3.4 Giga Ton (GT),

yaitu sekitar 17% dari karbon biru dunia. Terlepas dari potensi yang luar biasa ini, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam upaya melestarikan dan merestorasi ekosistem karbon biru. Menurut Muhammad Ilman, Ph.D., Director of Ocean Programs, The Nature Conservancy (TNC), salah satu tantangan terbesar adalah tidak adanya suatu tujuan terpadu yang diusung bersama oleh para pemangku kepentingan, sehingga tidak dapat mencapai keselarasan antara rencana tata ruang darat dan laut. Oleh karenanya, disarankan agar berbagai pihak terkait dapat mulai memberikan perhatian lebih untuk menciptakan berbagai sektor yang menjadi sumber pendapatan khususnya bagi masyarakat pesisir dan masyarakat luas pada umumnya, untuk menghentikan kerusakan dan degradasi lingkungan di kawasan ini, sehingga dapat menghindarkan dari lebih banyak hilangnya karbon biru.

Nyoman Suryadiputra, Direktur Wetlands International Indonesia

Nyoman Suryadiputra, Direktur Wetlands International Indonesia, dalam paparannya menyebutkan bahwa Indonesia menyimpan potensi karbon biru yang sangat besar, di antaranya dari ekosistem mangrove maupun gambut pesisir. Potensi gambut tidak dapat diremehkan, karena semakin dalam lapisan gambut, maka semakin besar jumlah karbon yang disimpan di dalamnya. Selain itu, tambak terbengkalai yang berada di kawasan pesisir juga menyimpan potensi karbon biru yang besar, jika dikelola dengan cara-cara berkelanjutan, termasuk lewat penerapan metode silvofishery dan melakukan reboisasi jalur hijau mangrove. Melalui kedua upaya tersebut, maka kekayaan hayati di kawasan ini dapat dilestarikan, habitat untuk satwa terpelihara, dan kawasan permukiman masyarakat juga semakin terlindungi. Suatu strategi untuk mengantisipasi harga karbon yang rendah juga perlu disiapkan, misalnya lewat pengidentifikasian mata pencaharian alternatif, contohnya dengan penerapan konsep ekowisata di kawasan pesisir.

Serangkaian kajian dan penelitian telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam konteks karbon biru, termasuk oleh World Resources Institute (WRI) tentang kunci keberhasilan program restorasi/ reboisasi mangrove berbasis masyarakat. Dalam paparannya, Satrio A. Wicaksono, Ph.D. menguraikan beberapa aspek penting untuk mencapai keberhasilan ini, yaitu melalui keberadaan agen perubahan setempat (local champions), digunakannya bibit mangrove asli setempat, kesesuaian fisik (substrat), kapasitas para pemangku kepentingan untuk melakukan reboisasi, dan kejelasan status lahan (tenurial). Sementara itu, Dane Klinger, Aquaculture Innovation Fellow, Center for Oceans, Global Fisheries and Aquaculture dari Conservation International (CI) menjelaskan peran mangrove dalam budidaya tambak dan perubahan iklim, di mana pada aspek mitigasi berfungsi untuk mengurangi emisi melalui restorasi mangrove, sementara untuk aspek adaptasi dapat meningkatkan ketahanan pangan dan mata pencaharian masyarakat. Saat ini CI sedang mengembangkan pedomannya.

Side event ini mendapat kehormatan dihadiri oleh Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Prof. Ir. Sjarif Widjaja, Ph.D., F.RINA, yang turut berkontribusi sebagai penanggap yang merangkum dan menyimpulkan hasil paparan seluruh panel. Pada intinya, dibutuhkan suatu kerangka kerja terpadu dan rangkaian peraturan yang jelas dalam upaya melestarikan dan menjaga potensi karbon biru di Indonesia, serta untuk mengantisipasi fenomena perubahan iklim dan dampaknya. Wetlands International Indonesia berharap melalui Our Ocean Conference ini semakin banyak pihak yang mulai berfokus pada karbon biru untuk bersama-sama menyelaraskan dan mengintegrasikan upaya-upaya yang selama ini masih belum terarusutamakan.


[1]    Wetlands Ecology and Management. Alongi, M. Mudiyarso, D. et al. diambil dari artikel Indonesia’s blue carbon: a globally significant and vulnerable sink for seagrass and mangrove carbon. Sumber: https://www.cifor.org/library/5673/

Rilis Pers Climate Change and Blue Carbon: Potential, Policy Framework, and Best Practices