Press Release: Workshop Menanam atau Tidak Menanam dalam pemulihan Ekosistem mangrove
Menanam atau Tidak Menanam dalam Pemulihan Ekosistem Mangrove Guna Mendukung Visi Pembangunan Rendah Karbon Provinsi Kalimantan Utara
Tanjung Selor, 4 Desember 2023
Rencana pencanangan Provinsi Kalimantan Utara sebagai ikon mangrove dunia untuk pengembangan kawasan ekonomi dan industri hijau telah dicetuskan dalam kunjungan kerja Presiden Joko Widodo pada Oktober 2021 lalu (https://diskominfo.kaltaraprov.go.id/hutan-mangrove-kaltara-bakal-jadi-ikon-indonesia/). Dengan luas hutan mangrove 178,161 ha, Kalimantan Utara menjadi harapan upaya ketahanan dan pengendalian perubahan iklim dunia. Namun, untuk merealisasikan misi tersebut membutuhkan perhatian dan upaya yang serius dalam tata kelola mangrove di provinsi termuda di Kalimantan tersebut. Terlebih ekosistem mangrove di Kaltara terancam oleh maraknya alih fungsi lahan menjadi wilayah pertambakan.
Yus Rusila Noor dari Wetlands International Indonesia mengungkapkan bahwa ekosistem mangrove telah digunakan secara global sebagai pendekatan berbasis alam (nature based solutions) dalam upaya mitigasi perubahan iklim. “Dalam penerapan NBS pada ekosistem mangrove, Wetlands International memiliki pengalaman yang berhasil dalam pemulihan ekosistem mangrove menggunakan teknik rehabilitasi secara ekologis pada proyek Building with Nature di Demak dan proyek rintisan To Plant or Not To Plant (TPNTP) di Kabupaten Bulungan, Kaltara”, tambahnya.
Dalam sambutannya pada workshop Menanam atau Tidak Menanam dalam Pemulihan Ekosistem Mangrove (28/11/2023) di Tanjung Selor Kaltara, Sekretaris Daerah Provinsi Kaltara, Dr. H. Suriansyah, M.AP. memaparkan tentang nilai penting ekosistem mangrove. “Mangrove setidaknya memiliki 3 peran penting dalam merealisasikan visi Provinsi Kaltara sebagai kawasan ekonomi dan industri hijau, yaitu sumber penyedia oksigen bagi masyarakat dunia dan penyerap karbon global, benteng alami dalam mencegah erosi pesisir yang mengancam keselamatan masyarakat dan insfrastruktur umum, dan membantu ekosistem di sekitarnya, seperti perairan laut dan sungai yang menyimpan sumber daya perikanan bernilai ekonomi tinggi.
Sandi Prasetyo, S.T., M.Si, PEH Ahli Madya – Direktorat Rehabilitasi Perairan Darat dan Mangrove KLHK menyebutkan beberapa isu strategis terkait rehabilitasi mangrove di Indonesia, yang juga relevan dengan kasus di Kaltara. Isu tersebut mencakup adanya tantangan utama dalam mempertahankan keberadaan dan fungsi ekosistem mangrove dengan tetap memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakakat, dampak fenomena alam (kenaikan muka laut) serta banyaknya kepentingan terhadap lahan pesisir yang memicu perubahan tata guna lahan dan berpotensi memunculkan konflik sosial. Untuk menghadapi tantangan tersebut, beliau menyarankan perlunya pendekatan sosial-ekonomi yang cermat dan intensif dalam mempertahankan kawasan mangrove dan leadership serta kesiapan kelembagaan di Kaltara untuk menerapkan program yang terintegrasi antar OPD dan pemangku kepentingan lainnya.
Sebagai bagian dari komitmen pemerintah dalam menjadikan Kaltara sebagai ikon mangrove dunia, pemerintah RI melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) memilih provinsi Kaltara sebagai salah satu dari 9 provinsi target program percepatan rehabilitasi mangrove (PRM) tahun 2021-2024, dengan target luasan 189,785 ha. Selain itu, BRGM juga menetapkan Provinsi Kaltara sebagai salah satu dari 4 provinsi lokasi program Mangrove for Coastal resilience (M4CR). Program tersebut mentargetkan merehabilitasi 31,379 ha mangrove di lahan yang mayoritas berupa tambak. Menurut Noviar, M.BA – Kepala Kelompok Kerja/ Perencanaan Restorasi Gambut dan Rehabilitasi Mangrove BRGM, target luasan tersebut merupakan yang yang terluas dibandingkan 3 provinsi lainnya. Beliau juga menjelaskan bahwa program rehabilitasi tersebut tidak hanya berfokus pada kegiatan menanam mangrove tetapi juga kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan 30 Desa Peduli Mangrove (DPM). Dalam kegiatan DPM, masyarakat akar rumput terpilih yang bermukim di wilayah kesatuan landscape mangrove (KLM) akan dilibatkan dalam kegiatan Sekolah Lapangan Pesisir (SLP), pelatihan ekonomi dan hibah usaha masyarakat.
Seiring dengan upaya merealisasikan Kaltara sebagai ikon mangrove dunia dan visi pembangunan rendah karbon, Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara melalui Dinas Kehutanan Provinsi Kaltara turut mendukung upaya peningkatan tata kelola dan pemulihan mangrove melalui sinkronisasi perencanaan nasional dan daerah. Dalam paparannya Nustam, S.Hut., M.Si (HAN)-Kepala bidang perencanaan dan pemanfaatan hutan Dinas Kehutanan Provinsi Kaltara menjelaskan bahwa strategi pengelolaan dan rehabilitasi ekosistem mangrove tersebut dilakukan melalui: 1). Sinkronisasi Perencanaan RHL Mangrove antara KLHK, BRGM, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota), 2). Penguatan kelembagaan Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD), 3). Percepatan program Perhutanan Sosial di Kabupaten Bulungan, Kawasan Tana Tidung (KTT), dan Nunukan melalui pola Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Kemitraan, 4). Pembentukan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) bidang silvofishery, ekowisata, dan Hutan Bukan Kayu (HHBK), 4). Peningkatan kapasitas SDM masyarakat melalui pelatihan teknis, business plan, studi banding pengelolaan mangrove, sesuai dengan unit usaha masing-masing KUPS, 5). Rehabilitasi mangrove di pesisir pantai dan areal tambak di Kabupaten Bulungan, KTT, Nunukan, dan Tarakan, dan 6). Pembuatan demplot tambak ramah lingkungan.
Selain dukungan pemerintah, beberapa organisasi non pemerintah (NGO) turut berkontribusi dalam mendukung program pengelolaan mangrove di kaltara, di antaranya adalah GIZ dan Wetlands International Indonesia.
Aminudin, S.Hut-Advisor on Comunnity Based Mangrove Restoration & Sustanable Forest Mangrove GIZ mengungkapkan bahwa GIZ telah bekerja mendampingi masyarakat akar rumput untuk melakukan pemulihan ekosistem mangrove dan menerapkan pengelolaan tambak ramah lingkungan menggunakan beberapa pola pada demplot yang tersebar di Provinsi Kaltara. Melalui program tersebut GIZ berharap dapat memfasilitasi win win solution terhadap konflik mangrove dan tambak, serta meningkatkan produktifitas tambak dan kelestarian lingkungan.
Untuk mendukung keberhasilan program pemulihan mangrove, pengelola program perlu membuat desain rehabilitasi dengan merujuk pada local database yang diperoleh dari kajian yang sudah dilakukan dan sesuai peraturan yang ada, seperti yang disampaikan oleh Aji Wahyu Anggoro, Ph.D- Blue Carbon Specialist Yayasan Konservasi Alam Nusantara. Hal ini dikarenakan setiap kesatuan lahan memiliki karakteristik yang khas secara hidrologis dan ekologis.
Aji Nuralam Dwisutono, staf teknis rehabilitasi Wetlands International Indonesia dalam paparannya menekankan pada penggunaan pendekatan Ecological Mangrove Rehabilitation (EMR) dalam upaya pemulihan ekosistem mangrove di Kaltara. Pada pendekatan tersebut, upaya pemulihan dilakukan dengan menciptakan kondisi habitat yang sesuai agar mangrove dapat tumbuh secara alami. Prinsip dan tahapan pendekatan EMR meliputi pemahaman karakteristik ekologi spesies mangrove (autoekologi), pola hidrologi, faktor gangguan yang mencegah terjadinya regenerasi alami, dan desain program pemulihan.
“Ketika faktor pemungkin biofisik telah terbentuk maka alam akan melanjutkan pekerjaan selanjutnya. Saat kesesuaian spesies dan habitat tercapai secara optimal, maka pemulihan mangrove dengan jalan tersebut akan menghasilkan ekosistem yang lebih beragam, tumbuh lebih cepat dengan tingkat kelululushidupan yang lebih tinggi, dan menciptakan kembali sistem, fungsi, dan jasa ekosistem yang lebih resilien,” tambah Aji sebelum menutup paparannya.
Senada dengan yang disampaikan Aji, Yusran Nurdin Massa-Environmental Technical Advisor Yayasan Hutan Biru juga menekankan pentingnya mencontoh cara alam meregenerasi dirinya sendiri dan belajar dari pengalaman rehabilitasi sebelumnya, baik yang berhasil maupun yang gagal. Beliau juga memaparkan contoh-contoh penerapan dan keberhasilan metode EMR berbasis masyarakat berdasarkan pengalaman 13 tahun terlibat dalam upaya pemulihan mangrove di Indonesia, seperti di Kabupaten Maros dan Pulau Tanakeke, Sulawesi Selatan, Pulau Cawan, Riau dan pesisir Demak Jawa Tengah. “Selain aspek biofisik, kepastian lahan adalah aspek kunci dalam strategi pemulihan ekosistem mangrove guna menjamin keberlanjutan lahan yang direhabilitasi. Dan oleh karenanya, perencanaan rehabilitasi perlu memasukkan rencana penanganan aspek tenurial,” pesan Yusran.
Informasi tentang Penyelenggaraan Workshop Menanam atau Tidak Menanam dalam Pemulihan Ekosistem Mangrove: Tantangan Teknis dan Pembelajarannya (Lessons Learned) Kegiatan ini diselenggarakan oleh Wetlands International Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dan UPTD KPH Tarakan. Program To Plant or Not To Plant (TPNTP)/Menanam atau Tidak Menanam, adalah salah satu inisiatif pemulihan ekosistem yang menggali pendekatan yang lebih efektif dalam upaya pemulihan mangrove dengan menciptakan kondisi habitat yang sesuai agar mangrove dapat tumbuh secara alami. Target restorasi sebesar minimal 30.000 ha mangrove pada 10 negara, salah satunya di Indonesia. Program TPNTP bertujuan untuk mempromosikan metode Ecological Mangrove Restoration (EMR). Program TPNTP bekerjasama dengan masyarakat maupun mitra untuk mendorong perubahan paradigma pemulihan ekosistem mangrove dari metode penanaman tradisional menuju rehabilitasi mangrove menggunakan pendekatan ekologi.
Kegiatan diselenggarakan secara hybrid, yaitu secara luring di Meeting Hotel Luminor, Tanjung Selor, Kalimantan Utara dan secara daring melalui Zoom pada Selasa, 28 November 2023. Kegiatan dihadiri oleh 44 peserta luring dan lebih dari 125 peserta daring dari seluruh Indonesia.
Narahubung:
Woro Yuniati, Head of Communications, Wetlands International Indonesia
Email: [email protected]