Paludikultur: Memanfaatkan lahan gambut agar selalu basah
-
Konservasi dan restorasi lahan gambut
-
Mitigasi Iklim dan Adaptasi
-
Penggunaan lahan berkelanjutan
“Banyak pihak beranggapan bahwa ekosistem gambut produktifitasnya rendah, lahan marjinal dan tidak bisa diupayakan. Namun pada kenyataannya gambut mendukung pembangunan dan kehidupan masyarakat Indonesia karena fungsinya terkait regulasi air, penyimpan karbon, sumber kehidupan masyarakat, rumah keanekaragaman hayati dan mengurangi bencana hidrometeorologi”. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Dr. Kirsfianti L. Ginoga, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang dibacakan oleh A. Gadang Pamungkas, Kepala Bidang Kerjasama dan Diseminasi Puslitbang Hutan, pada pembukaan Semiloka Paludikultur bertema Strategi Pengembangan dan Investasi Bisnis Berkelanjutan Komoditas Asli Gambut/Paludikultur, di Hotel Morrisey, Jakarta, 12 Desember 2019.
Dalam kondisi alaminya, gambut menyediakan berbagai jasa lingkungan penting bagi kehidupan manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Gambut merupakan penyimpan air yang sangat efektif ketika musim basah, dan kemudian melepaskannya pada musim kemarau. Secara alami gambut berada dalam kondisi yang tergenang air. Gambut juga menjadi sumber mata penghidupan masyarakat karena menyediakan bahan makanan, sumber enerji, bahan bangunan dan obat-obatan. Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan, gambut diketahui berperan penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim karena mampu menyimpan karbon dalam jumlah yang berlipat dibandingkan dengan jenis ekosistem lainnya.
Permasalahan mulai muncul ketika ada upaya untuk mengkonversi lahan gambut menjadi peruntukan lain melalui proses pengeringan/drainase. Hal ini akan menyebabkan teremisikannya karbon bawah permukaan ke udara. Dalam kondisi yang lebih kering, gambut kemudian akan lebih mudah terbakar, dan cerita pilu Indonesia kembali terulang dari tahun ke tahun. Dampak jangka panjangpun seolah mengintip, terjadi amblesan lahan, sehingga berpotensi untuk terjadi banjir. Untuk menghentikan kerusakan gambut yang lebih parah dan terus menerus, maka diperlukan perubahan mendasar pola pengelolaan gambut, tanpa melibatkan, atau setidaknya meminimalisir proses drainase. Paludikultur adalah salah satu pilihan pengelolaan yang dianjurkan. “Paludikultur adalah pemanfaatan lahan gambut yang selalu basah. Paludikultur dikembangkan dengan tujuan untuk membasahi kembali lahan gambut yang sebelumnya dikeringkan/didrainase, sehingga memungkinkan pembentukan kembali atau pemeliharaan jasa ekosistem gambut, seperti penyerapan dan penyimpanan karbon, penyimpanan air dan nutrisi, serta pendinginan iklim lokal dan penyediaan habitat untuk hidupan liar” terang I Nyoman Suryadiputra, pimpinan Yayasan Lahan Basah/Wetlands International Indonesia.
Paludikultur dianggap sebagai kegiatan yang cocok untuk dikembangkan di lahan gambut. Sagu dan Purun adalah dua jenis komoditas asli di lahan gambut yang banyak Diusahakan oleh masyarakat setempat untuk berbagai keperluan yang memberikan sumbangan signifikan sebagai mata penghidupan. Karakteristiknya yang menyukai kondisi lahan gambut tergenang basah sejalan dengan upaya mengatasi kebakaran hutan dan lahan gambut yang menjadi cerita pilu Indonesia selama 30 tahun terakhir. Masyarakat akan mempertahankan lahan gambut karena manfaat berkelanjutan yang bisa langsung dirasakan. “Sejak sebelum kemerdekaan kami telah mengusahakan dan makan sagu. Tidak kurang dari 700 ton sagu kami hasilkan per bulan. Bagi kami, sagu identik dengan rawa gambut, maunya kami rawa-rawa itu ditumbuhi gambut sehingga bisa mencegah kebakaran hutan. Di tempat kami inilah bahkan Pak Presiden pernah melakukan penyekatan kanal untuk memperbaiki hidrologi di lahan gambut. Jadi kami minta pemerintah untuk membantu menaikan pamor sagu, sehingga dapat membantu ekonomi dan sekaligus ketahanan ekologi di wilayah gambut” papar Abdul Manan, warga masyarakat Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, Riau. “Sagu sebenarnya memiliki nilai kompetitif yang tinggi karena keunikannya. Tak banyak negara di dunia yang memiliki hamparan sagu, sehingga terdapat potensi besar untuk memasok produk sagu secara berkelanjutan. Namun kenyataannya masih banyak bagian sagu yang dibuang setelah masyarakat memanfaatkan bagian lainnya untuk dibuat tepung sagu. Tak kurang dari 1.900 ton ampas sagu dibuang per hari, padahal masyarakat terbiasa memberi makan unggas, kambing dan babi dengan ampas sagu. Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah ekonomi ampas dan kulit sagu, sehingga pada akhirnya bisa meningkatkan kehidupan masyarakat secara berkelanjutan”, ungkap Teuku Rivanda Anshori, Bussiness Model Specialist Yayasan Lahan Basah.
Tak hanya sagu, komoditas lain yang juga banyak Diusahakan di lahan gambut adalah purun, yang juga merupakan tanaman asli di lahan gambut, dan menyukai kondisi yang tergenang air. Sarifuddin Gusar dari Purun Institute, Riau, yang telah cukup lama bergelut mendampingi masyarakat untuk memanfaatkan purun secara berkelanjutan menyampaikan bahwa “Menganyam tikar purun sudah dikerjakan secara turun temurun dan sudah seperti kearifan lokal bagi Ibu-ibu di wilayah kami. Tidak kurang dari 15.000 – 20.000 lembar tikar dipasarkan setiap bulan di Kecamatan Padamaran. Karena itu kami melakukan pendekatan agar Pemerintah Daerah dapat mengeluarkan regulasi untuk melindungi kawasan gambut yang ditumbuhi purun dalam jangka panjang, dan tidak mengeluarkan izin untuk mengkonversi lahan gambut untuk pengembangan industri”.
Rupanya bukan hanya masyarakat lokal saja yang menerapkan system Paludikultur di lahan gambut. Ririn Nurul Hidayah dari PT Wana Subur Lestari menyebutkan bahwa perusahaan HTI tempatnya bekerja juga sudah menerapkan sitem tersebut, “Paludikultur juga cocok untuk diterapkan di Hutan Tanaman Industri, terutama di wilayah penyangga dan kawasan pengembangan dengan masyarakat. Sistem Paludikultur juga membantu untuk pengaturan air di wilayah kerja kami”.
Masa depan penerapan sistem Paludikultur di lahan gambut sebenarnya memiliki masa depan yang cukup menggembirakan, “Tak hanya memberikan manfaat dari sisi ekonomi dan ekologi, pemanfaatan gambut melalui Paludikultur juga dapat membantu mengatasi konflik di suatu wilayah. Pengalaman di Tanjung Jabung Barat, Jambi, menunjukan bahwa upaya bersama penanaman Jelutung dengan masyarakat telah membantu sedikit meredakan konflik yang telah berlangsung di wilayah tersebut” papar Dr. Hesti Lestari Tata dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sistem paludikultur sebenarnya telah diterapkan sejak dahulu oleh masyarakat di lahan gambut, jauh sebelum istilah paludikultur dikenal dan dikenalkan secara luas, terutama di kalangan komunitas ilmiah, ilmuwan dan para praktisi di bidang kehutanan. “Apakah masyarakat memang mengerti apa yang dimaksud dengan paludikultur? ataukah istilah ini hanya dipahami oleh pihak tertentu saja, sementara masyarakat sebenarnya sudah mempraktekan paludikultur sejak lama” tanya Dian Afrianti dari Badan Restorasi Gambut. Perlu adanya keselarasan komunikasi sehingga pesan pelestarian dari kedua belah pihak, masyarakat dan pihak luar, dapat berjalan dengan baik, dan upaya restorasi, revegetasi dan revitalisasi mata penghidupan masyarakat yang digagas dan dilaksanakan oleh Badan Restorasi Gambut dapat berjalan dan berhasil dengan baik.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas, penerapan paludikultur di lapangan perlu didukung oleh keterlibatan simultan dari Pemerintah Daerah, termasuk peran serta Badan Usaha Milik Desa yang mengelola inisiatif bisnis masyarakat. Penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan untuk mengembangkan komoditas yang paling tepat untuk kondisi tertentu, dengan keterlibatan masyarakat. Dalam menangani ekosistem gambut, sangat dianjurkan untuk melakukan pendekatan bentang alam, dimana kondisi hulu – hilir dipertimbangkan penuh, dan kemudian diintegrasikan kedalam tata ruang wilayah.
Untuk mendukung semakin gencarnya pertukaran informasi dan pengetahuan, Forum Paludikultur meluncurkan web-site forum serta buku mengenai Paludikultur. Peluncuran dilakukan oleh Agustinus Tampubolon, Ketua Forum Paludikultur dan Anyta Thamrin mewakili penulis buku kepada perwakilan dari Pusat Penelitian Hutan, Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat.
Tentu masih banyak yang harus dilakukan untuk mengenalkan paludikultur sebagai bentuk pemanfaatan lahan gambut dengan memperhatikan karakteristik lahan gambut itu sendiri. Karena Indonesia tak ingin cerita pilu di lahan gambut terus berulang setiap tahun.