Straight to content

Pabrik Baru Milik Asia Pulp & Paper (APP) Mengancam Komitmen Indonesia dalam Perubahan Iklim

Published on:
  • Konservasi dan restorasi lahan gambut
  • Mitigasi Iklim dan Adaptasi
  • Penggunaan lahan berkelanjutan

 

logo

Jakarta, indonesia. Pabrik senilai $3 milyar milik Asia Pulp & Paper dibayangi emisi karbon dan ancaman kebakaran. Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) mendesak APP berhenti mengeringkan lahan gambut untuk produksi tanaman serat kayu dan merestorasi area yang terdegradasi.

Pada tanggal 23 Desember 2016, Asia Pulp & Paper mengumumkan telah memulai produksi di salah satu pabrik pulp dan tisu terbesar di dunia. Dalam pernyataan bersama, Wetlands International, Eyes on the Forest (koalisi termasuk WWF Indonesia, Jikalahari, Walhi Riau, dan CSO lain di Sumatra dan Kalimantan), Rainforest Action Network, Hutan Kita Institute, Woods & Wayside International, dan Yayasan Auriga menyebutkan bahwa pabrik di Ogan Komering Ilir (OKI) tersebut memiliki resiko besar bagi Indonesia dan lingkungan dunia. Pernyataan dapat dibaca di sini.

OKI mill photo

Pasokan kayu untuk pabrik di OKI sebagian besar berasal dari lahan gambut yang dikeringkan, merupakan sebuah sistem produksi yang menyebabkan tingginya emisi karbon dan bencana kebakaran. Organisasi Masyarakat Sipil meminta APP untuk dapat menyajikan rencana mereka untuk merestorasi dan membasahi kembali areal gambut yang telah dikeringkan. Sampai saat ini, perusahaan mengabaikan bahwa konsesi tanaman mereka di areal gambut yang dikeringkan tidak lestari dan harus dihentikan operasinya, walaupun sudah banyak kajian berbasis ilmiah yang mendukung hal tersebut.

“APP perlu menyadari gentingnya masalah ini dan segera menghentikan drainase lahan gambut untuk pengembangan hutan tanaman,” kata Nyoman Suryadiputra, Direktur Wetlands International-Indonesia. “Hal ini dimulai dengan komitmen penghentian semua kegiatan tanaman berbasis drainase di lahan gambut serta menyusun rencana yang kredibel untuk membasahi dan merestorasi area tersebut,” lanjutnya.

Diperkirakan tiga perempat dari konsesi hutan tanaman seluas 6.000 kilometer persegi untuk pabrik tersebut terletak di area gambut, atau tujuh kali luasnya Singapura. Data ini berasal dari studi yang dirilis pada April tahun lalu oleh 12 NGO Indonesia dan Internasional.

Saat dikeringkan untuk tanaman industri, gambut akan menjadi rawan terbakar  dan melepaskan karbon dioksida dalam jumlah yang sangat besar.  Padahal di sisi lain , Indonesia sendiri telah menjadikan restorasi dan konservasi gambut sebagai prioritas dalam komitmen perubahan iklimnya.

“Para pembeli semakin menaruh perhatian untuk menurunkan jejak karbonnya, sehingga membeli kertas yang berasal praktik tak berkelanjutan di lahan gambut — dengan emisi sepuluh kali lebih besar dari produk kertas lainnya dipasaran — jelas tidak masuk akal” kata Lafcadio Cortesi dari Rainforest Action Network.

Pengembangan di lahan gambut untuk industri kehutanan dan pertanian, termasuk pasokan untuk pabrik OKI, menjadi penyebab utama kebakaran dahsyat di Indonesia tahun 2015 yang lalu, dimana 43 juta jiwa terpapar asap tebal dan menyebabkan kerugian ekonomi senilai $16 milyar untuk Indonesia.

Sebagai informasi, pabrik OKI didanai oleh pinjaman senilai $2.5 milyar dari lembaga keuangan milik pemerintah Tiongkok. Sedangkan Pemerintah Indonesia membebaskan pabrik tersebut dari pajak (tax holiday) untuk jangka waktu 10 tahun.