Straight to content

Mangrove Breakthrough Menjaga 20 Persen Hutan Mangrove Dunia untuk Masa Depan

Published on:

Minggu ini, di tengah hiruk pikuk New York Climate Week 2025, dunia kembali menoleh pada hutan mangrove. Sebuah acara yang bertajuk The Mangrove Breakthrough Implementation Agenda akan diadakan oleh Mangrove Breakthrough dan Global Mangrove Alliance, guna menyoroti berbagai kemajuan dan momentum inisiatif Mangrove Breakthrough menjelang COP30 Perubahan Iklim. Sebagai bagian dari rangkaian acara tersebut, Wetlands International akan memperkenalkan Regional Readiness Report untuk wilayah Asia, Amerika dan Afrika Barat. Laporan tersebut merupakan ringkasan penting yang memetakan dimana dan bagaimana modal, kebijakan, dan kemitraan dapat dikerahkan saat ini untuk mempercepat aksi mangrove di wilayah penting untuk ekosistem mangrove tersebut.

Salah satu laporan penting tersebut adalah Mobilizing the Mangrove Breakthrough in Indonesia. Bagi Indonesia, laporan ini bukan sekadar dokumen, tetapi juga cerminan betapa besar tanggung jawab sekaligus peluang yang dimiliki negara kepulauan ini. Indonesia adalah rumah bagi sekitar 20 persen mangrove dunia, luasnya mencapai 3,44 juta hektar, berdasarkan National Mangrove Map 2024. Dari 40 lokasi mangrove paling penting di dunia, 12 di antaranya berada di kepulauan Indonesia. Fakta itu saja sudah cukup menjadikan Indonesia aktor utama dalam gerakan global Mangrove Breakthrough, sebuah inisiatif yang menargetkan perlindungan dan restorasi 15 juta hektar mangrove dunia pada 2030.

Penyangga Hidup di Pesisir

Mangrove bukan sekadar pohon-pohon yang tumbuh di antara pertemuan air asin dan tawar dengan media tumbuh berlumpur. Mangrove adalah benteng alami yang melindungi ratusan ribu atau mungkin jutaan masyarakat pesisir dari badai ekstrim. Pada saat perubahan iklim membuat cuaca semakin tak menentu, mangrove adalah “asuransi hijau” yang paling murah sekaligus paling efektif.

Selain itu, mangrove Indonesia adalah gudang karbon biru. Dengan cadangan karbon yang sangat besar, ekosistem ini berkontribusi hingga 8 persen terhadap target penurunan emisi sektor kehutanan. Artinya, tanpa mangrove, sulit membayangkan Indonesia bisa mencapai target FOLU Net Sink 2030.

Biodiversitasnya pun luar biasa. Indonesia memiliki 48 spesies mangrove sejati (80 persen dari dunia), menjadi habitat bagi 125 spesies ikan, 80-an spesies burung, hingga spesies mamalia langka seperti bekantan dan dugong. Tidak ada negara lain yang memegang kartu truf ekologis sekaya ini.

Capaian dan Jalan Panjang

Dalam lima tahun terakhir, pemerintah melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) telah merehabilitasi sekitar 84 ribu hektar mangrove sejak 2020. Selain itu, telah disusun National Mangrove Rehabilitation Roadmap 2021–2030 serta Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove (RPP-PPEM).

Mangrove kini juga masuk ke dalam berbagai kerangka nasional, seperti Nationally Determined Contributions (NDC), strategi Low Carbon Development, Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan 2025–2045, serta komitmen kawasan konservasi laut (MPA) yang ditargetkan 30 persen pada 2045. Dari segi kebijakan, Indonesia sudah berada di jalur yang tepat.

Namun capaian ini baru awal. Laporan Mangrove Breakthrough menunjukkan bahwa kebutuhan pendanaan restorasi dan konservasi mangrove pada RPJMN 2025–2029 mencapai Rp47,6 triliun (USD 2,85 miliar). Sayangnya, baru kurang dari 20 persen yang terjamin. Inilah yang disebut sebagai finance gap, jurang besar yang hanya bisa dijembatani lewat kemitraan kreatif melalui blended finance, pasar karbon biru, hingga kerjasama bilateral dan multilateral.

Tantangan Nyata di Lapangan

Meski angka deforestasi mangrove menurun drastis dari 52 ribu hektar per tahun (1980–2005) menjadi 18 ribu hektar per tahun (2009–2019), ancaman tetap nyata. Alih fungsi lahan menjadi tambak, sawit, dan infrastruktur masih menghantui.

Fragmentasi tata kelola juga menjadi batu sandungan. Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, ATR/BPN, pemerintah daerah, hingga desa adat,  memiliki otoritas di wilayah mangrove. Tumpang tindih kebijakan ini sering menimbulkan kebingungan, bahkan konflik kepentingan.

Belum lagi tantangan komunikasi di negara kepulauan dengan 17.500 pulau, 38 provinsi, dan lebih dari 700 bahasa. Menyampaikan pesan yang sama ke ujung-ujung nusantara bukan pekerjaan mudah.

Peluang yang Tidak Boleh Terlewat

Di balik tantangan, peluang terbuka lebar. Restorasi berbasis komunitas, misalnya, terbukti efektif. Di beberapa daerah, desa adat dan pemerintah desa telah membuat peraturan sendiri untuk melindungi mangrove. Model ini bisa diperluas, karena terbukti memberi manfaat langsung bagi masyarakat, dari perikanan berkelanjutan, ekowisata, hingga usaha kecil berbasis hasil mangrove.

Peluang lain adalah integrasi mangrove dalam perluasan kawasan konservasi laut. Jika target 30 persen MPA pada 2045 benar-benar dicapai, mangrove akan memiliki perlindungan yang lebih kuat.

Pasar karbon biru juga menjanjikan, meski saat ini masih menjadi ruang yang “ramai sesak” dengan berbagai aktor dan narasi. Indonesia perlu memperkuat regulasi agar manfaat pasar karbon benar-benar sampai ke masyarakat pesisir, bukan hanya berhenti di meja para investor.

Mengapa Mangrove Penting Bagi Kita?

Pertanyaan sederhana, apa jadinya jika mangrove hilang? Banjir rob akan semakin sering, abrasi menggerus rumah penduduk, nelayan kehilangan hasil tangkapan, emisi karbon melonjak, dan spesies langka kehilangan habitat. Dalam arti yang paling nyata, hilangnya mangrove berarti hilangnya masa depan jutaan warga pesisir Indonesia.

Sebaliknya, menjaga dan memulihkan mangrove berarti membuka jalan menuju kesejahteraan bersama. Mangrove adalah investasi yang memberi manfaat berlapis, berupa ekonomi, ekologi, dan sosial.

Dari New York ke Nusantara

Peluncuran Mangrove Breakthrough di New York adalah panggilan global, tetapi bagi Indonesia, panggilan itu terdengar lebih keras. Dengan 20 persen mangrove dunia di tangan kita, dunia menunggu langkah nyata dari negeri ini. Apakah kita siap mengubah peluang menjadi kenyataan?

Komunitas internasional mungkin bisa membantu pendanaan dan teknologi, tetapi kunci tetap ada di dalam negeri. Pemerintah, swasta, akademisi, masyarakat sipil, dan komunitas pesisir harus duduk bersama. Mangrove adalah tanggung jawab kolektif. Dari New York, pesan itu kembali ke nusantara, jaga mangrove, jaga masa depan.

diramu oleh :

Yus Rusila Noor

Head of Office