Lokakarya dan peningkatan kapasitas: Restorasi Gambut dan Kesiapsiagaan Karhutla untuk Pengurangan Resiko Bencana di Ekosistem Gambut
-
Konservasi dan restorasi lahan gambut
-
Mitigasi Iklim dan Adaptasi
-
Penggunaan lahan berkelanjutan
Berdasarkan data karhutla tahun 2014 dan 2015 serta laporan KALAKSA BPBD Kabupaten/Kota di Provinsi Riau, setidaknya 359 Desa di Provinsi Riau merupakan desa rawan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut yang penanganannya cukup sulit dilakukan, sehingga, upaya-upaya pencegahan amatlah penting.
Berbagai upaya pencegahan dapat dilakukan, termasuk dengan menghindari praktek pengeringan lahan gambut, pembasahan kembali lahan gambut, dan pemantauan muka air gambut. Hal ini mengemuka dalam Lokakarya Restorasi Gambut dan Kesiapsiagaan Karhutla untuk Pengurangan Resiko Bencana yang berlangsung pada 11 Desember lalu di Grand Suka Hotel, Pekanbaru. Acara yang diselenggarakan oleh Wetlands International Indonesia (WII) dan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) ini dihadiri oleh para perwakilan dari Masyarakat Peduli Api, Relawan PMI, Lembaga swadaya masyarakat dan kelompok masyarakat sipil se-Sumatera dengan menghadirkan pembicara dari WII, Pusat Studi Bencana Universitas Riau, BPBD Provinsi Riau, Jikalahari, Walhi Riau dan Kaliptra.
Gambut merupakan ekosistem alami yang terbentuk dari hampir 90% air dan 10% sisanya merupakan sisa bahan tanaman yang membusuk. “Jika gambut kering akibat dilakukannya drainase, maka gambut akan lebih mudah terbakar, emisi CO2 meningkat, dan terjadi penurunan muka tanah”. Ungkap Sigit Sutikno, dosen sekaligus tim ahli GIS di Pusat Studi Bencana Universitas Riau. Sigit menambahkan, bahwa upaya pencegahan merupakan tindakan yang paling tepat. Ia mencontohkan bahwa pengamatan tinggi muka air dan pembangunan sekat kanal dari material kayu dan penanaman pohon pada tubuh bendung yang dilakukan di Desa Tanjung Leban, Sepahat, Tenggayun, Api-api, Riau merupakan salah satu contoh pencegahan karhutla yang bisa direplikasi. Selain itu, Kepala bidang Kedaruratan BPBD Riau, Jim Gafur menekankan bahwa selain pembasahan lahan, patroli berbasiskan masyarakat, pemantauan titik api dan penyadartahuan kepada masyarakat dan perusahaan memegang peranan penting dalam upaya pencegahan karhutla.
Hal tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Iwan Tri cahyo Wibisono, Koordinator program restorasi dan konservasi WII. Iwan menambahkan bahwa maraknya pengembangan industri di lahan gambut telah meningkatkan risiko bencana dan kerugian ekosistem yang berlipat ganda. Selain mengakibatkan deforestasi, pengembangan HTI dan pengembangan tanaman monokultur non-gambut/ rawa di lahan gambut bertanggung jawab atas lepasnya emisi Gas Rumah Kaca dalam jumlah yang sangat signifikan serta mengurangi fungsi ekosistem gambut, yang berakibat pada meningkatnya risiko bencana di kawasan ini. Sudah pasti bahwa pengembangan tanaman non-gambut di lahan gambut menyaratkan adanya langkah drainase/pengeringan gambut. Hal inilah yang membuat gambut menjadi kering dan risiko kebakaran meningkat. Untuk itu, lahan gambut memerlukan solusi pengelolaan jangka panjang dan berkelanjutan yang dinamakan Paludikultur (Paludiculture), yakni budidaya dengan menggunakan tanaman asli gambut tanpa drainase. “Apabila kegiatan-kegiatan kehutanan seperti reboisasi, reforestasi, agroforestasi, budaya adaptif, dan budaya komersil dipadukan dengan pembasahan gambut kembali, maka kebakaran bisa dihindari, resiko terhadap bencana bisa dihindari dan lingkungan akan pulih,” tandasnya.
Pada sesi kedua, Made Ali, wakil sekjen Jikalahari menyampaikan materi terkait kebijakan pengendalian karhutla di Riau. “Tahun 2015 pemerintah Provinsi Riau membuat Pergub No.5 tentang Rencana Aksi Pelaksanaan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau. Isinya bagus, namun pada kenyataannya pengaplikasiannya tidak berjalan.” Ia pun menambahkan bahwa saat ini Pemerintah Provinsi Riau membuat Ranperda RTRWP yang mengatur bahwa 90% kawasan gambut harus dijadikan kawasan budidaya dan selebihnya (10%) dijadikan kawasan lindung. “Dari 5 jutaan hektar kawasan gambut di Riau, hanya sekitar 21.615 Ha yang mau dijadikan kawasan lindung gambut”, ujarnya. Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Walhi Riau menyampaikan kegiatan yang mereka lakukan besama masyarakat dalam melancarkan advokasi untuk menghentikan aktivitas perkebunan sawit yang melakukan kegiatan drainase di Tebing Tinggi Timur. Walhi Riau yang saat ini tengah bermitra dengan WII dalam melakukan pendampingan pada penyusunan Perdes terkait pencegahan dan pengendalian karhutla di desa Tanjung Peranap, menyampaikan bahwa upaya restorasi sudah dilakukan melalui petisi penyelamatan gambut, pembibitan, dan deklarasi wilayah kelola rakyat.
Pada lokakarya ini, peserta bersepakat bahwa masyarakat memiliki kearifan lokal dan menjaga gambut. Oleh karena itu, dalam pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut serta sebagai upaya pencegahan dan pengurangan risiko bencana di ekosistem gambut, maka seluruh peserta dan pendukung lokakarya ini meminta kepada pemerintah dan semua pihak terkait lainnya untuk:
- Melibatkan masyarakat secara aktif baik secara perorangan, kelompok, kelembagaan yang terorganisir atau kelembagaan Desa dalam upaya pengelolaan, perlindungan dan pengurangan risiko bencana pada ekosistem gambut.
- Mensinergikan program restorasi gambut dengan peningkatan ekonomi masyarakat yang berdasarkan pada kearifan lokal.
- Mengembangkan teknologi untuk pengolahan lahan tanpa bakar.
- Menerapkan Paludikultur sebagai opsi perbaikan hidrologi gambut (solusi jangka panjang).
- Mendorong pengelolaan gambut berkelanjutan melalui mekanisme perhutanan sosial.
- Mengintegrasikan pemulihan ekosistem dan tata kelola lahan gambut kedalam kebijakan pengendalian karhutla.
- Mendorong penyusunan Peraturan Desa (Perdes) tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan dan kesiapsiagaan karhutla untuk pengurangan resiko bencana di Ekosistem gambut.
- Mendorong pemerintah desa untuk membuat Perdes tentang Masyarakat Peduli A
- Menyusun dan mengawal Ranperda pengendalian karhutla menjadi
- Mendorong pemerintah dan aparat hukum untuk melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan pembakaran di ekosistem gambut.
Dengan adanya rekomendasi ini, maka diharapkan semua pihak bisa bekerja sama dalam melindungi dan mengelola ekosistem gambut, sehingga risiko bencana menurun dan ketangguhan masyarakat di kawasan ini semakin meningkat.
Dilaporkan oleh Susan Lusiana, PfRSP Project Coordinator, Wetlands International Indonesia