Straight to content

Dunia Harus Mendengar Seruan Lahan Basah – dan Mengapa Ramsar CoP15 di Victoria Falls Menjadi Momentum Penting

Published on:

Yus Rusila Noor
Direktur Wetlands International Indonesia

Mitra Organisasi Internasional Konvensi Ramsar

Di tengah krisis iklim global, ancaman terhadap ketahanan pangan, kehilangan keanekaragaman hayati, dan kelangkaan air bersih, dunia justru terus kehilangan salah satu ekosistem terpenting yang menopang kehidupan serta selama ini kerap terlupakan dan terabaikan: lahan basah.

Ekosistem yang mencakup hutan mangrove, rawa gambut, delta sungai, danau, muara hingga dataran banjir ini sering disalahpahami sebagai lahan tidur, tidak produktif. Dalam banyak kebijakan pembangunan, mereka dianggap lahan kosong yang menunggu untuk dikeringkan, dibendung, atau dibangun. Padahal, secara ekologis, lahan basah adalah ekosistem paling bernilai di muka bumi, paru-paru dan ginjal planet ini sekaligus: mengatur aliran air, menyimpan karbon, melindungi pesisir, menopang sistem pangan, perikanan dan ekonomi masyarakat lokal, menjadi rumah dan pelabuhan bagi 40 persen keanekaragaman hayati di muka bumi. Nilai jasa ekosistem lahan basah secara global bahkan diperkirakan mencapai 47 triliun dolar AS.

Namun ironisnya, lahan basah terus menghilang secara masif, dunia kehilangan lahan basah tiga kali lebih cepat daripada hutan. Sejak tahun 1970, lebih dari 35% lahan basah dunia telah hilang, terkikis oleh abrasi, perluasan kota, pembangunan bendungan, dan konversi menjadi industri perkebunan. Di Indonesia, ancamannya tak kalah genting. Kita memiliki sekitar 13,6 juta hektar lahan gambut tropis dan lebih dari 3,3 juta hektar hutan mangrove, yang terbesar di dunia. Sayangnya hampir setengah dari hutan mangrove kita telah rusak atau musnah, dan lahan gambut masih dikeringkan dan acap kali kemudian terbakar, memicu bencana kabut asap dan pelepasan karbon dalam skala yang mencengangkan. Masa depan kita sangat bergantung pada bagaimana kita memperlakukan lahan basah hari ini.

Panggung Dunia di Victoria Falls

Inilah mengapa Konferensi Para Pihak ke-15 (CoP15) Konvensi Ramsar tentang Lahan Basah yang akan berlangsung pada 22–31 Juli 2025 di Victoria Falls, Zimbabwe, menjadi sangat krusial. Dengan dihadiri oleh lebih dari 170 negara pihak, badan-badan internasional maupun PBB, perwakilan masyarakat, LSM, ilmuwan, komunitas lokal, donor, dan sektor swasta, pertemuan ini menjadi forum pengambilan keputusan tertinggi di dunia yang secara eksklusif membahas perlindungan dan pengelolaan lahan basah. Meskipun keputusan-keputusannya tidak mengikat, bagi Indonesia, negara yang telah menjadi pihak Konvensi Ramsar sejak 1991, ini adalah panggung untuk menunjukkan kepemimpinan dan memperkuat kolaborasi global.

Presiden Zimbabwe Dr. Emmerson Dambudzo Mnangagwa membuka Ramsar CoP15 di Victoria Fall, Zimbabwe, 24 Juli 2025

Tema CoP15 tahun ini, “Melindungi Lahan Basah untuk Masa Depan Bersama kita”, yang menekankan peran penting lahan basah dalam menjaga kesehatan ekologis, keanekaragaman hayati, dan ketahanan iklim. Ini adalah pengingat keras bahwa lahan basah bukan hanya penting untuk alam, tetapi juga vital bagi kelangsungan hidup manusia. Mereka menyimpan dan menyaring air tawar, mengurangi risiko bencana, menopang sistem pangan dan perikanan, dan menyerap karbon dalam jumlah besar. Lahan gambut, misalnya, menyimpan hingga 30% karbon tanah dunia—lebih banyak dari semua hutan dunia jika digabungkan. Namun ketika dikeringkan, mereka justru berubah menjadi sumber emisi karbon terbesar di planet ini.

Dari Pengetahuan ke Aksi

Indonesia sebenarnya sudah bergerak di depan. Pemerintah telah berkomitmen untuk merehabilitasi 600.000 hektar hutan mangrove hingga 2024 melalui BRGM. Di lapangan, inovasi seperti pendekatan “Building with Nature” di Demak, Jawa Tengah, hasil kolaborasi antara Pemerintah Indonesia, Wetlands International, dan organisasi Mitra lain, bersama Masyarakat Setempat dengan dukungan sains dan pengetahuan lokal, menjadi bukti bahwa solusi berbasis alam dan masyarakat bisa berjalan seiring. Bisa menghidupkan kembali kawasan pesisir yang terdegradasi sekaligus mengembalikan mata pencaharian masyarakat.

Namun semua ini perlu didorong ke skala yang jauh lebih luas. Pengetahuan sudah tersedia. Data, informasi, dan teknologi restorasi bukan lagi tantangan utama. Tantangannya adalah kemauan untuk bertindak.

“Kita sudah memiliki cukup banyak data, pengetahuan, dan alat untuk memahami pentingnya lahan basah. Yang kita butuhkan sekarang adalah aksi nyata,” ujar Yus Rusila Noor, Direktur Wetlands International Indonesia. “Inilah saatnya pemerintah, masyarakat lokal, lembaga penelitian, donor, dan sektor swasta bergerak bersama—untuk menerjemahkan pengetahuan ini menjadi aksi pemulihan dan perlindungan lahan basah dalam skala besar yang berdampak dalam skala lokal maupun regional.”

Yus Rusila Noor, Direktur Wetlands International Indonesia

Lahan Basah dan Politik Global

Konferensi Ramsar CoP15 akan menjadi ruang untuk menyepakati agenda-agenda penting dan mendesak: penguatan pemantauan dan inventarisasi lahan basah, integrasi lahan basah dalam strategi iklim dan keanekaragaman hayati, mobilisasi pembiayaan restorasi, serta penguatan partisipasi masyarakat lokal. Indonesia memiliki delapan situs Ramsar, mulai dari Berbak-Sembilang di Sumatera hingga Wasur di Papua. Namun potensi kita jauh lebih besar, masih banyak kawasan penting lain yang belum ditetapkan. CoP15 adalah kesempatan untuk mengangkat kembali kepentingan ekosistem lahan basah ke panggung global.

Sekretariat Ramsar pun memberikan sinyal yang jelas. Dalam peluncuran Global Wetland Outlook 2025, Sekretaris Jenderal Dr. Musonda Mumba menyatakan dengan lantang, “Lahan basah menopang planet ini, namun dunia masih lebih banyak berinvestasi untuk menghancurkannya dibanding memulihkannya. Kita sedang duduk di atas potensi senilai USD 10 triliun—dan waktunya hampir habis.” Saat tiba di Victoria Falls pekan ini, beliau menambahkan: “Dunia akan berkumpul di tepi air terjun yang luar biasa ini… untuk membahas nasib lahan basah global.”

Dr. Musonda Mumba, Sekretaris Jenderal Konvensi Ramsar (Photo: Yus Rusila Noor)

Victoria Falls sendiri bukan sekadar lokasi, tapi lambang. Dikenal dengan nama lokal Mosi-oa-Tunya—“Asap yang Menderu”, air terjun ini adalah Situs Warisan Dunia UNESCO dan Situs Ramsar, menjadi nadi ekologis bagi Sungai Zambezi, menopang perikanan, satwa liar, dan masyarakat di sekitarnya. Keindahannya adalah pengingat bahwa lahan basah merupakan warisan alam yang tak ternilai, namun sangat rapuh.

Momentum yang Tak Boleh Hilang

Lahan basah bukan sekadar catatan kaki dalam narasi pembangunan atau iklim, lahan basah adalah fondasi kehidupan. Di Indonesia, komunitas pesisir, masyarakat lokal, ilmuwan, dan pembuat kebijakan telah bekerja keras merawatnya. Sebagai seseorang yang telah mengabdikan hampir 40 tahun dalam kerja-kerja konservasi lahan basah, saya tahu bahwa jalan menuju pemulihan sudah tersedia, kita tidak kekurangan data atau strategi. Yang kita butuhkan adalah keberanian politik, kolaborasi lintas sektor yang setara, komitmen anggaran dan investasi jangka panjang.

Ramsar CoP15 di Victoria Falls adalah momentum krusial. Ini adalah ujian keseriusan dunia dalam menyelamatkan ekosistem yang menopang kehidupan manusia dan alam.  Lahan basah tidak akan pulih dengan sendirinya. Jika kita gagal bertindak sekarang, kita akan membayar harganya dengan kehilangan yang tak tergantikan, dan ketika lahan basah musnah, maka musnahlah juga masa depan yang ingin kita bangun bersama. Namun melalui kebijakan yang tepat, komitmen global, dan aksi nyata yang dimulai sekarang, kita bisa membalikkan arah. Waktunya bukan tahun depan. Waktunya adalah sekarang!.