Straight to content

Prospek Lahan Basah Global 2025: Penilaian Kritis tentang Konservasi, Pemulihan, dan Pembiayaan Lahan Basah

Published on:

Tanggal 15 Juli 2025 menandai diluncurkannya Global Wetland Outlook 2025: Valuing, Conserving, Restore, and Financing Wetlands di Nairobi, Kenya. Laporan yang diterbitkan oleh Panel Tinjauan Ilmiah dan Teknis (Scientific and Technical Review Panel – STRP) Konvensi Ramsar tentang Lahan Basah tersebut mewakili sintesis berbasis data tentang keadaan lahan basah dunia saat ini. GWO 2025 menyajikan data global terbaru tentang luas, kehilangan, dan degradasi lahan basah; biaya bagi masyarakat karena kehilangan manfaat lahan basah; target yang diperlukan untuk melestarikan dan memulihkan lahan basah; serta tindakan dan solusi pembiayaan yang dapat membantu perbaikan lahan basah di seluruh dunia. Laporan ini dimaksudkan sebagai sumber daya bagi pembuat kebijakan, investor, dan praktisi yang bekerja untuk menyelaraskan aksi lahan basah dengan iklim, keanekaragaman hayati, dan tujuan pembangunan. Laporan ini mungkin berisi penilaian yang paling jujur dan kaya data tentang krisis yang kita hadapi serta peluang yang masih ada di depan kita. Bagi pembuat kebijakan, ilmuwan konservasi, dan para praktisi, laporan ini tidak hanya memberikan penilaian yang mencolok tentang degradasi yang sedang berlangsung, tetapi juga alasan berbasis bukti terkait perlunya peningkatan tindakan mendesak untuk melestarikan, memulihkan, dan membiayai lahan basah sebagai komponen integral dari pembangunan berkelanjutan dan ketahanan iklim.

Sebagai seseorang yang telah menghabiskan hampir empat dekade bergelut dengan konservasi lahan basah, Saya telah melihat dan mengamati hilangnya lahan basah dalam skala yang mengkhawatirkan tetapi juga mengalami sendiri dan terlibat dalam kekuatan transformatif dari upaya lokal dan global untuk mengembalikan luasan dan fungsi lahan basah. Pengalaman tersebut memberikan sintesis terbaik untuk menunjukan nilai lahan basah, urgensi kehilangannya, serta perlunya pendekatan ekonomi dan kebijakan untuk menyelamatkannya. Kenyataan ini juga mengingatkan bahwa terlepas dari semua data dan kerangka kebijakan, perubahan nyata akan bergantung pada advokasi berkelanjutan, perencanaan terkoordinasi, dan keberanian politik untuk memprioritaskan kesehatan ekosistem jangka panjang sebagai pilihan yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan pemaksaan untuk memperoleh keuntungan dalam jangka pendek.

Lahan basah adalah diantara ekosistem paling produktif dan pendukung kehidupan di Bumi. Lahan basah saat ini mencakup antara 1.425 dan 1.800 juta hektar secara global dengan berbagai jenisnya, termasuk danau, sungai, lahan gambut, padang lamun, dan terumbu karang. Data yang lebih baik, meskipun demikian, masih diperlukan untuk mengevaluasi jenis lahan basah yang data dan informasinya masih belum memadai. Lahan basah adalah ekosistem yang sangat penting secara global dan memberikan manfaat yang luar biasa. Lahan basah menyaring air, mengelola banjir, menyimpan karbon, mempertahankan perikanan, mengisi ulang air tanah, dan habitat untuk keanekaragaman hayati, serta mempertahankan mata pencaharian bagi ratusan juta orang. Lahan basah secara global menyediakan layanan ekosistem tahunan penting senilai antara $7,98 triliun hingga $39,01 triliun. Net Present Value pemeliharaan dan pengelolaan lahan basah secara bijaksana hingga tahun 2050 diperkirakan melebihi $205 triliun (median). Hal ini terkait dengan nilai jangka panjang dari konservasi pro-aktif, terutama jika dibandingkan dengan biaya mengatasi degradasi. Pada saat yang sama, hilangnya nilai kumulatif jasa ekosistem lahan basah antara tahun 1975 dan 2025 diperkirakan secara konservatif mencapai $5,1 triliun, dimana lahan basah pedalaman berkontribusi paling besar terhadap kehilangan tersebut.

Laporan Outlook ini menegaskan bahwa sejak tahun 1700, lebih dari 35% lahan basah alami telah hilang di seluruh dunia, dan kecenderungannya tidak menunjukkan tanda-tanda melambat. Sejak tahun 1970, diperkirakan 411 juta hektar lahan basah telah hilang di seluruh dunia, merupakan 22% dari seluruh wilayah lahan basah secara global, dengan rawa, lahan gambut dan danau sama-sama telah mengalami penurunan historis yang paling signifikan. Kondisi ini setara dengan tingkat kehilangan berkelanjutan sekitar 0,5% per tahun—angka yang mencengangkan jika mengingat nilai ekologis dan ekonomi yang diberikan oleh sistem lahan basah untuk kehidupan kita.

Saat ini, sekitar 25% dari lahan basah yang tersisa diklasifikasikan dalam keadaan ekologis yang buruk, dan proporsi ini terus meningkat. Laporan nasional yang diajukan melalui Konvensi Lahan Basah dan data sains warga global (misalnya, Survei Lahan Basah Dunia 2024) mengkonfirmasi bahwa kondisi ekologis lahan basah memburuk di sebagian besar wilayah, terutama di Afrika, Amerika Latin, dan Karibia, dan juga semakin memburuk di Eropa dan Amerika Utara.

Statistik semacam itu menunjukan ketidakbenaran anggapan bahwa perlindungan formal saja sudah cukup tanpa pengelolaan, pendanaan, dan penegakan yang efektif. Bahkan di dalam Situs Ramsar sekalipun, yang secara luas dipandang sebagai bukti komitmen konservasi lahan basah, sekitar 12% dilaporkan berada dalam kondisi ekologis yang menurun. Hal ini menggarisbawahi kesenjangan antara penunjukan formal dan pengelolaan serta pemantauan yang efektif, dengan implikasi signifikan untuk memenuhi komitmen internasional di bawah Konvensi Ramsar itu sendiri, Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Akibat yang dirasakan keanekaragaman hayati bahkan lebih serius. Laporan ini mengacu pada Living Planet Index, yang menunjukkan penurunan rata-rata 83% dalam populasi spesies yang bergantung pada air tawar yang dipantau sejak tahun 1970. Selain itu, Daftar Merah IUCN menunjukkan bahwa lebih dari 25% spesies yang bergantung pada lahan basah, dinilai terancam punah, dimana ikan air tawar mengalami kondisi yang sangat terancam punah (sekitar sepertiga spesies terancam). Penurunan ini bukan hanya tragedi ekologis—mereka mewakili runtuhnya ketahanan pangan, warisan budaya, dan stabilitas ekosistem bagi masyarakat yang bergantung pada lahan basah.

Implikasi iklim dari hilangnya lahan basah sama signifikannya. Biaya kelambanan tidaklah bersifat hipotetis. Laporan tersebut menyoroti bahwa hilangnya lahan basah secara langsung memperkuat tingkat keparahan dan biaya bencana, seperti banjir yang menimbulkan kerusakan setiap tahun dengan kerugian mencapai milyaran dolar. Lahan gambut, meskipun hanya mencakup 3% dari permukaan daratan bumi, menyimpan sekitar 550 gigaton karbon—dua kali lebih banyak dari gabungan semua hutan dunia. Lahan gambut yang terdegradasi, dikeringkan untuk pertanian atau dibakar, mengeluarkan karbon dioksida dalam jumlah besar, menyumbang sekitar 5% dari semua emisi CO₂ yang disebabkan oleh manusia. Laporan Outlook memperkuat urgensi untuk melindungi lahan gambut utuh dan memulihkan lahan gambut yang terdegradasi sebagai salah satu strategi mitigasi iklim yang paling hemat biaya. Menghindari degradasi lahan gambut dan pembasahan ulang dapat mengurangi emisi global hingga 500 juta ton CO₂ per tahun, dan ini menunjukan konservasi lahan gambut sebagai komponen penting dari Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC) berdasarkan Perjanjian Paris.

Lahan basah mendanai planet ini, namun kita masih berinvestasi lebih banyak dalam kehancuran daripada pemulihan mereka. Dunia memiliki peluang $ 10 triliun – memulihkan lahan basah dapat membuka manfaat dari peluang tersebut, tetapi kita berkejaran dengan waktu,” kata Dr Musonda Mumba, Sekretaris Jenderal Konvensi Lahan Basah.

Yang menggembirakan, Laporan ini menyajikan pengalaman yang kuat bahwa berinvestasi untuk konservasi dan restorasi lahan basah bukan hanya tentang menghindari kerugian tetapi lebih dari itu menghasilkan pengembalian yang sangat besar, sehingga hal tersebut bukan hanya keharusan ekologis tetapi strategi yang rasional secara ekonomi. Setiap dolar yang diinvestasikan dalam restorasi lahan basah diperkirakan menghasilkan USD 5 hingga 35 dalam manfaat jasa ekosistem. Restorasi lahan basah pesisir, termasuk mangrove, rawa garam, dan padang lamun, adalah strategi karbon biru yang sangat penting, dengan potensi untuk menyerap CO₂ dalam jumlah yang signifikan sambil melindungi garis pantai yang rentan dan mempertahankan perikanan. Misalnya, memulihkan 1,5 juta hektar mangrove pada tahun 2030 dapat menyerap lebih dari 150 juta ton setara CO₂, berkontribusi secara berarti pada target mitigasi global.

Lahan basah bukanlah masalah pinggiran. Lahan basah sangat penting bagi siklus air dimana planet kita sangat bergantung kepadanya, untuk tanggapan global kita terhadap perubahan iklim, sangat penting untuk kesejahteraan miliaran orang di bumi dan melindungi spesies terancam kepunahan. Skala kerugian dan degradasi melampaui apa yang kita mampu abaikan. Kita memiliki pengetahuan dan alat untuk membalikkan kecenderungan ini – dimana yang kita butuhkan sekarang adalah investasi berkelanjutan dan tindakan terkoordinasi,” kata Dr Hugh Robertson, Ketua Panel Peninjau Ilmiah dan Teknis (STRP) Konvensi Lahan Basah dan penulis utama Laporan ini.

Konteks kebijakan untuk rekomendasi ini dipengaruhi oleh berbagai komitmen internasional yang disepakati baru-baru ini. Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal, yang diadopsi pada CBD COP15 pada Desember 2022, berkomitmen untuk memastikan bahwa setidaknya 30% ekosistem darat, perairan pedalaman, pesisir, dan laut yang terdegradasi berada di bawah restorasi yang efektif pada tahun 2030 (CBD, 2022). Untuk memenuhi target restorasi dan konservasi 30% di bawah Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal, diperkirakan 123 juta hektar lahan basah harus dipulihkan untuk menggantikan hilangnya lahan basah sejak tahun 1970. Hal ini kemungkinan merupakan perkiraan yang sangat konservatif, karena tidak termasuk upaya yang diperlukan untuk memulihkan lahan basah yang terdegradasi – berpotensi membawa target menjadi lebih dari 350 juta hektar, seperti yang dirujuk dalam Freshwater Challenge. Tambahan 428 juta hektar harus dikelola secara efektif di kawasan lindung dan OECM untuk memenuhi target ini. Dekade PBB tentang Restorasi Ekosistem (2021–2030) juga memprioritaskan lahan basah sebagai salah satu jenis ekosistem penting untuk upaya restorasi global. Selain itu, banyak negara sekarang mengakui peran perlindungan dan restorasi lahan basah dalam rencana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim mereka, seperti yang tercermin dalam NDC yang diperbarui.

Biaya restorasi nyatanya jauh lebih tinggi daripada biaya konservasi. Berdasarkan data dari 49 penelitian di 185 lokasi, biaya restorasi tahunan berkisar antara $1.000 per hektar hingga lebih dari $70.000 per ha, tergantung pada jenis dan kondisi lahan basah. Biaya konservasi, sebaliknya, lebih kecil dari angka-angka tersebut. Hal ini menggarisbawahi efisiensi ekonomi untuk memprioritaskan perlindungan lahan basah utuh sebelum hilang atau terdegradasi.

Perkiraan pembiayaan global yang diperlukan untuk mencapai target konservasi dan restorasi lahan basah adalah $275-550 miliar per tahun – angka yang jauh melebihi tingkat investasi saat ini. Saat ini, konservasi keanekaragaman hayati di semua ekosistem hanya berkisar 0,25% dari PDB global, menunjukkan kekurangan investasi yang substansial di lahan basah, meskipun pentingnya secara strategis bagi agenda keanekaragaman hayati, iklim, air, dan ketahanan bencana telah banyak diketahui.

Namun demikian, Laporan Outlook menyoroti kesenjangan pembiayaan yang parah dan terus-menerus. State of Finance for Nature (UNEP, 2023) memperkirakan bahwa kekurangan pendanaan global untuk solusi berbasis alam mencapai $700 miliar per tahun, dimana lahan basah hanya menerima sebagian kecil saja dari aliran keuangan berbasis alam yang tersedia saat ini. Pendanaan iklim saat ini mengalokasikan sekitar 3% untuk solusi berbasis alam secara total, menggarisbawahi kebutuhan kritis untuk memobilisasi sumber daya yang jauh lebih besar khusus untuk lahan basah. Laporan Outlook menganjurkan pemanfaatan berbagai mekanisme pembiayaan inovatif – termasuk obligasi hijau, keuangan campuran, dan pembayaran untuk jasa ekosistem – untuk menginternalisasi nilai lahan basah dalam pasar dan keputusan investasi. Ini juga menekankan pentingnya mengintegrasikan nilai lahan basah ke dalam sistem akuntansi dan kerangka perencanaan nasional serta dalam perumusan kebijakan lintas sektoral seperti pertanian, air, infrastruktur, dan energi.

Namun laporan itu mengamati tentang fakta bahwa kondisi saat ini jauh dari cukup. Kebijakan masih terfragmentasi, pemantauan tidak memadai di banyak wilayah, dan seringkali kurangnya kemauan politik untuk membuat keputusan sulit tentang pemanfaatan lahan dan air. Terdapat kebutuhan untuk tidak hanya melindungi lahan basah yang tersisa, tetapi juga memulihkan sistem yang terdegradasi dalam skala besar, membiayai berbagai inisiatif pada tingkat yang mencerminkan nilai sebenarnya dari lahan basah, serta mendukung hak, pengetahuan, dan kepemimpinan masyarakat lokal yang seringkali merupakan pelindung sekaligus pemanfaat paling efektif dari ekosistem lahan basah. Laporan GWO 2025 menyimpulkan bahwa tingkat kehilangan lahan basah saat ini dan tingkat kekurangan investasi untuk mengatasinya telah memberikan dampak yang tidak berkelanjutan secara ekonomi dan ekologis. Data menegaskan bahwa lahan basah adalah salah satu ekosistem yang paling berharga dan terancam secara global, namun kontribusi penuh dari lahan basah tidak tercermin dalam kebijakan, perencanaan, atau keuangan yang tersedia saat ini.

Laporan Outlook ini menetapkan empat jalur strategis untuk mengatasi krisis lahan basah dan mencapai tujuan global: 1) Meningkatkan penilaian dan integrasi modal alam dalam pengambilan keputusan; 2). Mengakui lahan basah sebagai komponen integral dari siklus air global untuk semua orang. Lahan basah bukanlah fitur yang terisolasi, melainkan memainkan peran penting dalam aliran hidrologi global dan harus diakui sebagai infrastruktur bersama untuk memastikan keamanan air, ketahanan iklim, dan mengurangi risiko bencana; 3) Menanamkan dan memprioritaskan lahan basah dalam solusi keuangan inovatif untuk alam dan manusia. Lahan basah harus dimasukkan ke dalam instrumen keanekaragaman hayati dan pendanaan iklim; dan 4) Membuka bauran keuangan swasta dan publik untuk investasi di lahan basah sebagai solusi berbasis alam. Konservasi lebih hemat biaya daripada restorasi. Keuangan publik harus memberi insentif kepada investasi swasta yang ramah lahan basah dan menghapus subsidi untuk penggunaan lahan yang berbahaya.

Kita telah disajikan dengan data dan informasi penting tentang keadaan lahan basah saat ini secara global, serta arahan tentang kemana kita harus melangkah untuk memulihkan lahan basah yang hilang sambil melestarikan lahan basah yang masih berfungsi dengan baik. Tantangan terbesar kita adalah bagaimana mengejawantahkan data dan informasi ini menjadi aksi nyata, melalui upaya bersama sektor swasta dan publik dan keterlibatan penuh masyarakat lokal,” kata Yus Rusila Noor, Direktur Wetlands International Indonesia.

GWO 2025 berpendapat bahwa membalikkan kecenderungan menyusutnya luasan dan fungsi lahan basah akan lebih membutuhkan perubahan transformatif daripada hanya peningkatan bertahap. Ini termasuk tidak hanya memperkuat perlindungan hukum dan pengelolaan lahan basah yang ada tetapi juga memulihkan lahan basah yang terdegradasi dalam skala besar, memobilisasi pembiayaan yang memadai dan berkelanjutan, menilai lahan basah dengan benar dalam akun ekonomi nasional, serta mengakui hak, pengetahuan, dan kepemimpinan masyarakat lokal yang secara historis telah menjaga integritas lahan basah. Hal Ini berarti diperlukan langkah untuk mengusulkan agenda yang dapat ditindaklanjuti, didasarkan pada bukti empiris dan komitmen kebijakan global. Dengan demikian, dipahami bahwa konservasi, restorasi, dan pembiayaan lahan basah bukanlah tambahan opsional untuk pembangunan berkelanjutan dan aksi iklim, tetapi justru menjadi prioritas penting, hemat biaya, dan mendesak untuk segera dilakukan. Pada akhirnya, Laporan Outlook ini bukan hanya sekadar peringatan seperti biasa, tetapi ini adalah cetak biru untuk melakukan tindakan. Kita ditawari kesempatan untuk mengubah dukungan retoris yang diberikan selama beberapa dekade terakhir menjadi komitmen dan investasi yang tulus dan dijalankan segera. Jika kita gagal bertindak, biayanya akan diukur tidak hanya dalam spesies dan mata pencaharian yang hilang, tetapi juga dalam ketidakstabilan sistem alam yang semakin dalam dimana kita semua bergantung. Tetapi jika kita berhasil, lahan basah dapat menjadi landasan masa depan yang lebih tangguh, adil, dan berkelanjutan.

Tautan Laporan Global Wetland Outlook 2025: Valuing, Conserving, Restoring, and Financing Wetlands: https://www.global-wetland-outlook.ramsar.org/

Diramu oleh :

Yus Rusila Noor

Head of Office