Straight to content

Tambak Ramah Mangrove: Langkah Awal Akuakultur Berkelanjutan

Published on:

Dalam upaya mendorong praktik akuakultur yang berkelanjutan dan selaras dengan kelestarian ekosistem pesisir, Program NASCLIM (Nature-Based Solution for Climate Smart Livelihoods in Mangrove Landscape) menginisiasi kegiatan assessment biofisik tambak sebagai langkah awal menuju pengelolaan tambak yang ramah terhadap mangrove. Kawasan yang menjadi lokasi pelaksanaan kegiatan ini meliputi enam desa di dua provinsi, yaitu Desa Liagu, Salimbatu, Sekatak Buji, dan Sekatak Bengara di Kalimantan Utara, serta Desa Muara Pantuan dan Sepatin di Kalimantan Selatan. Kegiatan ini dirancang untuk mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam perencanaan dan pengelolaan tambak, khususnya melalui pendekatan Associate Mangrove Aquaculture (AMA) yang menggabungkan produksi perikanan dengan konservasi ekosistem mangrove.

Kiri: Udang windu hasil panen parsial di Desa Muara Pantuan; Kanan: udang bitik hasil tangkapan liar di sekitar area penyangga mangrove di Desa Sepatin. (Foto: © Andi Darmawansyah)

Pengkajian biofisik ini bertujuan untuk menilai kesesuaian lahan budidaya perikanan, mengidentifikasi potensi dan risiko lingkungan, serta mendukung perencanaan tambak berkelanjutan berbasis kondisi nyata di lapangan. Penilaian dilakukan melalui survey lapangan yang melibatkan berbagai pihak, termasuk tim teknis NASCLIM, fasilitator desa, anggota kelompok budidaya, pemerintah desa, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), dan penyuluh perikanan di masing-masing area terkait. Pendekatan kolaboratif ini memastikan bahwa hasil assessment tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga kontekstual dengan kondisi sosial dan ekologi lokal. Temuan dari kegiatan ini menjadi fondasi penting untuk menyusun strategi pengelolaan tambak yang adaptif, produktif, dan tetap menjaga fungsi ekologis hutan mangrove.

Untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai potensi dan tantangan pengelolaan tambak berkelanjutan, penilaian biofisik dalam program NASCLIM mencakup beberapa komponen utama yang saling berkaitan. Penilaian dimulai dari topografi dan geomorfologi, yang memberikan informasi penting tentang bentuk lahan, kemiringan, serta potensi aliran air di area tambak. Selanjutnya, jenis dan struktur tanah dianalisis untuk mengetahui kesesuaian media tanah terhadap kegiatan budidaya, termasuk daya serap dan kemampuan menahan air. Komponen kualitas dan kuantitas air menjadi faktor krusial dalam menentukan kelayakan sistem budidaya, dengan parameter seperti salinitas, pH, dan kadar oksigen terlarut. Kondisi iklim dan curah hujan turut dipertimbangkan karena sangat mempengaruhi kestabilan lingkungan tambak, terutama dalam menghadapi perubahan musim. Selain itu, kondisi vegetasi sekitar, termasuk keberadaan dan jenis mangrove, menjadi indikator penting dalam menentukan potensi integrasi akuakultur dengan konservasi.

Penilaian ini juga mencakup aspek tambahan yang memperkaya analisis dan perencanaan jangka panjang, seperti potensi rehabilitasi mangrove pada lahan-lahan kritis di sekitar tambak. Kawasan mangrove yang rusak atau terdegradasi diidentifikasi untuk dijadikan lokasi rehabilitasi, terutama yang berbatasan langsung dengan tambak aktif, guna memperkuat perlindungan alami dan meningkatkan fungsi ekologis kawasan pesisir. Selain itu, keberadaan kawasan hutan referensi yang masih utuh juga diinventarisasi sebagai acuan dalam menentukan jenis dan struktur vegetasi yang ideal untuk direstorasi. Fokus juga diberikan pada spesies kunci mangrove seperti Rhizophora spp., Avicennia spp., dan Bruguiera spp., kelompok burung air misalnya bangau (Cicoonidae), kuntul (Ardeidae), dan elang laut (Falconidae), untuk kelompok ikan seperti tembakul atau mudskipper (Periophthalmus spp.) dan krustasea seperti kepiting bakau Scylla spp., dan kepiting biola Uca spp., serta kerang dan tiram (bivalvia) berfungsi sebagai penyaring air sehingga menjaga kejernihan dan kualitas air. Kelompok hewan tersebut memiliki peran ekologis penting sebagai penyedia habitat dan penyangga ekosistem. Di sisi lain, kondisi sosial ekonomi masyarakat turut dianalisis untuk memahami ketergantungan terhadap tambak, kapasitas kelompok budidaya, serta tantangan yang dihadapi di tingkat rumah tangga. Dari hasil tersebut, diidentifikasi pula berbagai peluang usaha, baik dalam bentuk penguatan budidaya berkelanjutan, diversifikasi produk perikanan, maupun pengembangan ekonomi berbasis mangrove seperti ekowisata dan usaha olahan hasil tambak. Pendekatan ini diharapkan mampu mendorong sistem akuakultur yang tidak hanya produktif secara ekonomi, tetapi juga harmonis dengan lingkungan dan sosial budaya lokal.

Sebagai bagian dari strategi integrasi keberlanjutan dalam sistem tambak ramah mangrove, pendekatan LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) mulai diperkenalkan dalam praktik budidaya. LEISA mendorong penggunaan input lokal seminimal mungkin, dan lebih mengandalkan pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia di sekitar tambak. Dengan pendekatan ini, petambak dapat mengurangi ketergantungan terhadap pupuk dan bahan kimia sintetis, sekaligus menjaga keseimbangan ekologis tambak secara alami.

Salah satu inovasi lokal yang didorong dalam kerangka LEISA adalah penggunaan Mikroorganisme Lokal (MoL) sebagai bioaktivator alami dari lingkungan sekitar tambak. MoL dibuat dari bahan-bahan organik yang mudah ditemukan di lingkungan sekitar seperti nasi basi, buah busuk, daun mangrove, atau air cucian beras yang difermentasi. Aplikasi MoL pada tambak membantu meningkatkan kualitas tanah dan air, mempercepat proses dekomposisi bahan organik, mengurai logam berbahaya, serta mendukung pertumbuhan plankton yang menjadi pakan alami bagi biota tambak. Penggunaan MoL juga terbukti ekonomis dan ramah lingkungan, sehingga sangat relevan diterapkan dalam skema akuakultur berkelanjutan berbasis masyarakat.

Langkah awal melalui pengkajian biofisik dan pendekatan kolaboratif yang diterapkan dalam program NASCLIM menunjukkan bahwa integrasi antara konservasi mangrove dan praktik akuakultur berkelanjutan bukan hanya memungkinkan, tetapi juga menjanjikan secara ekologis dan ekonomi. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip LEISA, pemanfaatan Mikroorganisme Lokal (MoL), serta penerapan teknologi ramah lingkungan seperti bakteri pengurai pirit, petambak dapat meningkatkan produktivitas sekaligus menjaga keseimbangan fungsi ekologis pesisir. Keberhasilan inisiatif ini tidak hanya bergantung pada intervensi teknis, tetapi juga pada keterlibatan aktif masyarakat dan dukungan kelembagaan yang berkelanjutan. Melalui pendekatan ini, diharapkan model tambak ramah mangrove dapat menjadi solusi nyata dalam membangun sistem penghidupan yang tangguh, adaptif terhadap perubahan iklim, dan harmonis dengan alam.

Penulis :

Andi Darmawansyah

Fisheries and Aquaculture Expert