RESTORASI LAHAN BASAH DENGAN MENANAM BAMBU, BISAKAH?
Rusaknya suatu ekosistem lahan basah antara lain disebabkan terganggunya tata kelola air didalamnya akibat dampak dari kegiatan-kegiatan manusia yang tidak berwawasan lingkungan. Mengembalikan fungsi hidrologi pada lahan basah yang terdegradasi menjadi langkah penting untuk segera dilakukan. Salah satu pendekatan dalam kegiatan restorasi lahan basah adalah dengan menanam bambu. Beberapa studi menyatakan bahwa bambu memiliki kemampuan mengikat air yang sangat besar dengan ditunjang perakaran serabut yang kuat.
Lahan basah alami adalah area yang secara alami tergenang air atau memiliki tingkat kelembaban yang tinggi, baik secara permanen maupun periodik. Lahan basah mencakup berbagai tipe ekosistem seperti rawa, paya, mangrove, danau, gambut, delta, dan sungai. Keberadaan lahan basah sangat penting dalam menyediakan habitat bagi berbagai jenis flora dan fauna. Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem pada tahun 2022, Indonesia memiliki ekosistem lahan basah terluas kedua di Asia setelah Tiongkok, dengan luas sekitar 40,5 juta hektar atau sekitar 20% dari total luas wilayah Indonesia.
Pemerhati lingkungan, M. Ambari, dalam portal berita lingkungan ‘Mongabay’ pada tahun 2023 menyatakan bahwa ancaman yang dihadapi lahan basah saat ini adalah perubahan siklus hidrologi, pencemaran sumber air dan lahan, peningkatan kerentanan pesisir, kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang, serta peningkatan frekuensi kebakaran gambut. Oleh karena itu, upaya konservasi dan restorasi lahan basah sangat penting dilakukan untuk melindungi ekosistem ini dari kerusakan lebih lanjut. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk merestorasi lahan basah yang rusak, antara lain mengembalikan fungsi asli lahan basah, pengendalian erosi dan abrasi tanah, memulihkan keanekaragaman hayati di dalamnya, serta melakukan penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga lahan basah yang melibatkan berbagai pihak. Pemulihan keanekaragaman hayati di lahan basah dapat dilakukan dengan menanam kembali vegetasi asli atau jenis tumbuhan yang sesuai dengan kondisi lahan basah.
Restorasi lahan basah dengan menanam bambu adalah salah satu pendekatan yang menarik. Bambu, dengan segala keunikan dan sifatnya, dilaporkan dapat dimanfaatkan dalam proses restorasi lahan basah. Peneliti lingkungan, Yenrizal, pada tahun 2016 menyatakan bahwa bambu mampu lebih cepat merestorasi lahan gambut melalui sistem penanaman multikultur antara bambu, sagu, jelutung, pinang, dan aren. Penelitian Kagemoto dan rekannya pada tahun 2021 melaporkan bahwa bambu kerdil jenis Sasa sp. mempu menginvasi lahan basah di Hokkaido, Jepang yang mulai mengering. Penelitian Quege dan rekannya pada tahun 2013 berhasil membuktikan bahwa bambu jenis Guadua angustifolia yang ditanam pada tanah basah menunjukkan kemampuan mengurangi polusi limbah air di sekitarnya, seperti limbah amonia dan fosfat.
Salah satu alasan utama mengapa bambu dianggap cocok untuk restorasi lahan basah adalah karena kemampuannya dalam mengikat tanah. Akar bambu yang kuat dan serasah daun bambu yang menumpuk pada tanah mampu menahan erosi tanah yang disebabkan oleh aliran air, sehingga membantu mempertahankan kestabilan lahan. Selain itu, bambu juga memiliki kemampuan yang baik dalam menyerap air dan menjaga ketersediaan air tanah. Kemampuan ini sangat bermanfaat dalam memperbaiki kualitas tanah yang terdegradasi akibat kekeringan. Dengan menyerap air, bambu dapat membantu meningkatkan kelembaban tanah, sehingga mendukung pertumbuhan tanaman lainnya dan memperbaiki produktivitas lahan.
Keberhasilan restorasi lahan basah dengan menanam bambu tidak hanya bergantung pada sifat-sifat alaminya saja. Faktor-faktor seperti jenis bambu yang ditanam dan kondisi lahan sangat berpengaruh. Pemilihan jenis bambu yang sesuai dengan kondisi lahan sangat penting, karena setiap jenis bambu memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Peneliti bambu, E. A. Widjaja, pada tahun 2001 melaporkan bahwa bambu ampel atau dalam bahasa Latin dikenal sebagai Bambusa vulgaris, yang dijumpai tumbuh tersebar luas di Indonesia, mampu hidup baik kendati tergenang air hingga beberapa bulan secara terus-menerus dan jika lahan tersebut mengering, bambu ini juga mampu bertahan hidup. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, bambu ampel dan juga bambu tali (nama Latin: Gigantochloa apus) sering dijumpai tumbuh subur di bantaran sungai yang tergenang air secara periodik.
Studi lebih lanjut dan perencanaan yang matang juga diperlukan untuk menentukan apakah restorasi dengan menanam bambu akan efektif dalam kondisi tertentu. Hal ini melibatkan analisis yang komprehensif terhadap kondisi lahan, potensi ancaman, dan tujuan restorasi yang ingin dicapai. Dengan pendekatan yang tepat dan perencanaan yang matang, restorasi lahan basah dengan menanam bambu dapat menjadi solusi yang efektif dalam memulihkan ekosistem yang terdegradasi.
Penulis :
I Putu Gede P. Damayanto (Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Indonesia),
Susila (Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Indonesia),
Muhammad Azli Ritonga (Program Doktor, Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Andalas)
email : [email protected]