Lahan Basah dan Air – Tak Terpisahkan dan Vital untuk Kehidupan
-
Kekayaan gambut
-
Likungan lahan basah yang sehat
-
Ulasan tahunan
Peringatan Hari Lahan Basah Sedunia 2021 sejatinya mengajak seluruh individu untuk melakukan langkah bersama dalam menghemat air. Namun itu saja tidak cukup, karenanya berbagai sektor juga digugah untuk lebih bijak dalam menggunakan air, dan tentu saja mempertahankan lahan basah yang masih baik serta merestorasi lahan basah yang telah mengalami kerusakan. Lahan basah dan air tidak terpisahkan, keduanya sangat penting bagi kelanjutan kehidupan manusia dan makhluk lainnya di muka bumi.
Telah terjadi perubahan ketersediaan dan perilaku air
Cimahi adalah nama sebuah kota yang dulu merupakan bagian dari Kabupaten Bandung, dan sejak tahun 2001 menjadi Kota sendiri. Berdasarkan toponimi, Cimahi berasal dari dua kata dalam Bahasa Sunda, yaitu “Ci” yang merupakan kependekan dari kata “Cai” yang berarti “Air” serta kata “Mahi” yang berarti “Cukup”. Jadi secara harfiah, Cimahi berarti “Air yang cukup” (dalam arti tidak kekurangan dan tidak kelebihan). Memang kenyataannya demikian, Cimahi sampai akhir tahun 70-an adalah wilayah yang tidak kekurangan air, bahkan ada beberapa rumah tetangga yang memiliki kolam kecil di halaman dengan air yang tidak pernah berhenti mengalir. Mungkin itu sebabnya pada zaman dahulu ada tempat di sekitar Cimahi yang bernama “Leuwi Gajah” yang konon kabarnya adalah tempat pemandian gajah, atau “Ranca Badak” yang merupakan rawa tempat badak berendam. Sampai dengan akhir tahun 1970-an, saya masih menikmati wisata di danau kecil seluas 5 hektar di pinggir kota Bandung yang kabarnya dibangun oleh Mas Aksan, sehingga disebut sebagai “Situ Aksan”.
Namun cerita basah diatas kemudian menjadi kenangan indah masa lalu ketika saya ditakdirkan harus meninggalkan kampung halaman dan mencari penghidupan di kota lain. Keluarga dan teman-teman di kampung halaman kemudian mengabarkan bahwa Cimahi tidak lagi cukup air. Pada musim kemarau, menjadi pengalaman sehari-hari masyarakat kekurangan air, bahkan tidak ada yang tersisa untuk bisa digunakan sebagai air minum. Mata air di rumah tetanggapun tak lagi mengeluarkan air. Sebaliknya, pada saat musim hujan, menjadi lumrah jika banjir datang merendam rumah, sesuatu yang hampir tidak pernah saya alami ketika tinggal di Cimahi.
Sepertinya, tidak hanya Cimahi yang mengalami fenomena terjadinya perubahan ketersediaan dan perilaku air. Hanya saja kota ini mendapat perhatian karena kebetulan namanya menggambarkan sejarah bagaimana kondisi air pada masa lalu. Banyak hal yang bisa dituding atas berbagai perubahan tersebut, termasuk pengembangan industri yang haus air baku maupun berubahnya fungsi lahan basah yang tadinya menjadi tempat penyimpanan air tetapi kemudian berubah menjadi perumahan, wilayah industri maupun peruntukan lain yang tidak memungkinkan berjalannya fungsi penyimpanan air. Menurut Kelompok Riset Cekungan Bandung dan Masyarakat Geografi Indonesia, tidak kurang dari 18 wilayah di Bandung dan sekitarnya yang dahulu merupakan areal lahan basah (situ, rawa, ranca, leuwi) tetapi sekarang sudah berubah fungsinya menjadi perumahan.
Hari Lahan Basah Sedunia 2021
Hubungan antara fungsi alami lahan basah dengan kondisi ketersediaan dan perilaku air tersebut sejatinya telah menjadi perhatian serius di seluruh dunia. Itulah sebabnya, Sekretariat Konvensi Ramsar yang berpusat di Gland, Swiss, telah memutuskan untuk menetapkan “Wetlands and Water”, dengan tambahan “Wetlands and Water-inseparable and vital for life” sebagai tema perayaan Hari Lahan Basah Sedunia – World Wetlands Day tahun 2021.
Konvensi Ramsar adalah merupakan konvensi internasional mengenai lahan basah, yang ditandatangani di kota Ramsar, Iran, pada tanggal 2 Februari 1971. Perjanjian internasional yang menyepakati untuk melindungi lahan basah, khususnya yang penting secara internasional, terutama sebagai habitat burung air, tersebut saat ini telah diratifikasi oleh setidaknya 133 negara di wilayah Afrika, Asia, Eropa, Amerika dan Oseania. Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Ramsar pada tanggal 19 Oktober 1991 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 48 tahun 1991.
Sebagai upaya untuk secara terus menerus menumbuhkan kesadartahuan mengenai peran penting lahan basah bagi manusia dan planet bumi, sejak tahun 1997, setiap tanggal 2 Februari kemudian diperingati sebagai “Hari Lahan Basah Sedunia – World Wetlands Day”. Setiap tahun ada tema tertentu yang disepakati untuk diusung, disesuaikan dengan kondisi terkait lahan basah secara global. Sebagaimana disebutkan diatas, untuk tahun 2021 tema yang diangkat adalah terkait dengan Lahan Basah dan Air – Tak Terpisahkan dan Vital untuk Kehidupan.
Air telah dan akan menjadi sumber daya terpenting untuk kehidupan
Air memang sangat penting bagi makhluk hidup di bumi ini, karena baik dzat maupun jasa lingkungannya sangat dibutuhkan untuk kelanjutan hidup makhluk, khususnya manusia. Menurut The United States Geological Water Science School, air menutupi 71 persen dari permukaan bumi, dimana sekitar 97% dari seluruh air yang berada di bumi adalah berupa lautan. Dalam rilisnya, Konvensi Ramsar menyampaikan bahwa hanya 2,5% air di bumi ini yang berupa air tawar, sebagian besar berupa glasier, tudung es dan kumpulan air dibawah permukaan tanah. Dari ketersediaan air tawar tersebut, hanya 1% yang sejauh ini dapat dimanfaatkan, diantaranya 0,3% dalam bentuk air permukaan di sungai-sungai dan danau-danau. Sementara itu, dari 10 milyar ton air yang digunakan setiap hari, 70% digunakan untuk kepentingan tanaman pangan dan 22% dikonsumsi untuk keperluan industri dan enerji. Jumlah tersebut ditengarai meningkat sebanyak enam kali dalam 100 tahun dan meningkat 1% setiap tahunnya. Tak heran, dengan ketersediaannya yang terbatas, sementara kebutuhan semakin meningkat, air juga menjadi sumber konflik di 45 negara pada tahun 1997.
“… saat ini tidak kurang dari 2,1 milyar orang di seluruh dunia terpaksa harus memanfaatkan air yang telah tercemar. Saat ini juga, tidak kurang dari 25 juta orang terpaksa mengungsi akibat bencana yang terkait dengan perubahan iklim, dan air merupakan jantung dari perubahan iklim. Tanpa air, makanan juga akan sulit diperoleh, dan ketika air semakin sulit untuk diperoleh, maka wanita dan anak-anak kemudian harus lebih banyak meluangkan waktunya untuk mencari dan mendapatkan air. Padahal jika saja air bisa diperoleh di sekitar, maka anak-anak dapat lebih banyak meluangkan waktunya untuk belajar dan menimba ilmu. Air dengan demikian dapat menjadi salah satu mekanisme untuk perubahan, yang bisa menjadi faktor perusak tetapi juga dapat menjadi faktor pemersatu”, demikian diantaranya benang merah yang disampaikan dalam Diskusi Penjajakan Sumber Daya Air Kota Semarang, yang digagas oleh kegiatan Water as Leverage beberapa waktu yang lalu. Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada bulan Juli 2020, Global Comission on Adaptation, kumpulan orang-orang berpengaruh yang dipimpin oleh mantan Sekjen PBB Ban Kim Moon dan Bill Gate, menyampaikan bahwa 3 milyar orang atau 40% populasi dunia tidak memiliki akses yang memadai untuk sekedar mencuci tangan. UNICEF lebih jauh menyebutkan bahwa 41 juta orang atau 28% dari penduduk perkotaan di Indonesia juga masih memiliki keterbatasan dalam hal penyediaan fasilitas dasar cuci tangan di rumah mereka.
Kondisi di Indonesia sayangnya tidak lebih menggembirakan. Merujuk pada laporan Indonesia Country Water Assessment yang dikeluarkan oleh ADB pada tahun 2016, kebutuhan air di Indonesia yang berjumlah 175 milyar kubik per tahun sebenarnya dapat dipenuhi dari ketersediaan air yang mencapai 690 miliar kubik per tahun. Kalimantan dan Papua yang dihuni oleh 13% populasi di Indonesia menyediakan sekitar 70% sumber daya air. Namun demikian, terdapat studi yang menyatakan bahwa kemampuan penyimpanan air cenderung semakin menurun (hingga periode 2014) dibandingkan dengan peningkatan populasi. Selain itu, kualitas perairan di danau dan sungai sebagian besar tidak layak dikonsumsi sebagai air minum. Dari 44 sungai besar di Indonesia, hanya 4 sungai yang kualitas airnya memenuhi baku mutu air kelas II (dapat digunakan untuk berbagai aktivitas seperti rekreasi, irigasi, pembudidayaan ikan air tawar dan peternakan menurut PP No. 82 Tahun 2001). Demikian juga untuk danau, hampir semua dari 15 danau terbesar menyandang status tercemar parah. Di Pulau Jawa yang mengkonsumsi air lebih banyak dibandingkan pulau-pulau lain, hampir 70% penggunaan air ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pengairan dan irigasi, sementara hanya 9% yang digunakan untuk kebutuhan domestik perkotaan dan perindustrian. Permintaan air untuk kebutuhan sektor industri malah diperkirakan akan meningkat dari 20,1 m3/detik pada tahun 2020 menjadi 28,7 m3/detik pada tahun 2030. Belum lagi kalau dihitung prediksi kebutuhan sumber daya air untuk pembangkit listrik yang diperkirakan akan meningkat 88% pada tahun 2030 dibandingkan dengan tahun 2020.
Dengan gambaran global maupun nasional diatas, tidak mengherankan bahwa air telah dan akan menjadi sumber daya terpenting untuk kehidupan manusia, dan makhluk hidup lainnya. Aksi yang segera, serentak dan menyeluruh sangat diperlukan untuk mengurangi gambaran suram dari ketersediaan air di masa depan, sehingga dzat dan jasa lingkungannya dapat terus dimanfaatkan secara berkeadilan dan berkelanjutan. Konvensi Ramsar menyarankan 5 langkah yang bisa diambil secara bersama-sama, yaitu i) hentikan perusakan dan mulai restorasi lahan basah, ii) jangan bendung sungai atau pengambilan berlebih air tanah, iii) hindari pencemaran, bersihkan sumber air bersih, iv) tingkatkan efisiensi penggunaan air, gunakan air secara bijaksana, dan v) padukan air dan lahan basah kedalam rencana pembangunan dan pengelolaan sumber daya.
Butir nomor v) terkait dengan efisiensi penggunaan air nampaknya merupakan salah satu langkah yang bisa dilakukan setiap individu. Berbagai studi menunjukan bahwa manusia cenderung masih boros dalam menggunakan air. Sebuah studi mengenai penggunaan air di sebuah perusahaan menunjukan bahwa diperlukan waktu selama 6,47 – 26,57 detik untuk kegiatan mencuci tangan. Dari waktu tersebut, ternyata 1,33 – 18,43 detik atau 21 – 69% waktu airnya dibiarkan mengalir tanpa benar-benar digunakan untuk mencuci. Jika dilihat jumlah airnya, maka setiap hari dibutuhkan 79,44 liter air untuk digunakan mencuci tangan oleh 7 orang karyawan (atau 20.654,40 liter per tahun), dan sayangnya, dari jumlah tersebut 47,61 liter diantaranya tersia-siakan setiap hari (atau 12.378,60 liter setiap tahun).
Dalam bersuci, air yang dipergunakan dalam berwudhu cenderung lebih dari yang diperintahkan, sekitar 0,7 liter. Sebuah penelitian dengan mengambil sampel 5 masjid di Yogyakarta menunjukan bahwa setiap Jamaah ternyata menggunakan 3 – 3,5 liter/orang dengan rata-rata 3,28 liter/orang. Penelitian lain dengan mengambil sampel 25 masjid di kota Palembang juga menunjukan kecenderungan tersebut, dimana durasi waktu yang dipergunakan untuk berwudhu rata-rata selama 64,2 detik dengan penggunaan volume air rata-rata 4,42 liter.
Peringatan Hari Lahan Basah Sedunia 2021 sejatinya mengajak seluruh individu untuk melakukan langkah bersama dalam menghemat air. Namun itu saja tidak cukup, karenanya berbagai sektor juga digugah untuk lebih bijak dalam menggunakan air, dan tentu saja mempertahankan lahan basah yang masih baik serta merestorasi lahan basah yang telah mengalami kerusakan. Lahan basah dan air tidak terpisahkan, keduanya sangat penting bagi kelanjutan kehidupan manusia dan makhluk lainnya di muka bumi.