Straight to content

Ikan Bandeng Tersedia di Meja Makan Ketika Hari Raya Imlek

Published on:

Lahan basah tidak hanya memiliki peran dan manfaat ekologi ataupun ekonomi seperti yang umum kita ketahui, namun juga memberikan nilai-nilai kearifan lokal bagi masyarakat. Contohnya, sistem Subak (pengelolaan irigasi sawah tradisional pada masyarakat Bali), kolam Beje (kolam budidaya perikanan sekaligus berperan sebagai ekat bakar pada lahan gambut di Kalimantan Tengah), dan lain sebagainya. Di Indonesia, etnis keturunan Tionghoa bahkan menjadikan salah satu jenis hewan lahan basah yaitu ikan bandeng sebagai simbol keberuntungan, yang umumnya menjadi menu sajian utama pada perayaan Hari Raya Imlek.

Sebagai salah satu fauna lahan basah, ikan bandeng (Chanos chanos) memiliki makna khusus bagi masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia pada saat perayaan hari raya Hari Raya Imlek. Ketika merayakan Hari Raya Imlek, keluarga Tionghoa berkumpul, biasanya di rumah orang tua, dengan sajian ikan bandeng di meja makan sebagai lauk utama disamping penganan lainnya. Hal tersebut telah menjadi tradisi panjang yang telah dipraktekkan dari generasi ke generasi sejak kehadiran leluhur mereka di Pulau Jawa, khususnya di Kota Semarang dan Batavia (Jakarta) pada masa kolonial di abad ke-17 sampai ke-19.

Dalam kepercayaan mereka, ikan bandeng merupakan simbol kemakmuran dan keberlimpahan. Hal ini hampir sama dengan kepercayaan masyarakat Tionghoa secara umum yang menganggap ikan sebagai simbol surplus (berlebih) dan keberuntungan. Namun, bagi masyarakat keturunan Tionghoa yang hidup di Indonesia, ikan bandeng memiliki makna yang berbeda, dimana duri-duri kecil pada daging ikan bandeng dimaknai sebagai lambang kesulitan dan tantangan yang dihadapi leluhur mereka ketika pertama kali datang sebagai pedagang dan petani. Tantangan tersebut pada akhirnya berhasil diatasi dengan ketekunan dan kegigihan serta mencapai keberhasilan.

Dalam praktek tradisi tersebut, ikan bandeng harus disantap dalam keadaan utuh, dimana seluruh anggota keluarga duduk bersama mengelilingi meja makan. Lagi-lagi, simbolisasi ikan yang utuh menggambarkan kemakmuran yang utuh dalam setahun kedepan. Ekor dan kepala harus disertakan dalam penyajian di meja makan untuk melambangkan awal dan akhir tahun yang baik. Namun demikian, tidak seluruh bagian ikan harus dimakan, sebagian harus disisakan untuk meyakinkan adanya keberlimpahan yang dibawa hingga tahun baru.

Dalam budaya Tionghoa secara umum, kata “ikan” (鱼, yú) terdengar mirip dengan kata (鱼, yú) dalam bahasa Mandarin. Konon, kata tersebut sejalan dengan ungkapan “年年有余” (nián nián yǒu yú) yang berarti “semoga setiap tahun selalu membawa keberlimpahan”. Tidak seperti mereka yang di daratan Cina yang lebih menyukai mengkonsumsi ikan mas atau ikan lele, atau di Taiwan dan negara-negara Asia Tenggara lainnya yang lebih menyukai ikan air tawar, masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia lebih menyukai mengkonsumsi ikan bandeng karena alasan ketersediaan yang berlimpah dan nilai ekonomisnya. Hamparan tambak di pantai utara Jawa umumnya menjadi tempat untuk budidaya bandeng, selain jenis-jenis udang. Di Filipina, masyarakat keturunan Tionghoa juga mengkonsumsi ikan bandeng, yang dikenal dengan nama bangus. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa budaya mengkonsumsi ikan bandeng ketika merayakan Hari Raya Imlek di Indonesia adalah merupakan akulturasi budaya seiring kedatangan orang-orang Tionghoa di Indonesia.

Cap Go Meh, akhir dari perayaan Hari Raya Imlek (© ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/foc)

Jika ditilik sejarahnya, meskipun rinciannya belum diketahui dengan pasti, Kota Semarang dianggap sebagai tempat kelahiran Bandeng Presto, panganan dari bahan baku bandeng yang dimasak dengan tekanan tinggi sehingga tulangnya menjadi lunak. Cara masak ini dipercaya merupakan gabungan teknik yang dibawa masyarakat Tionghoa peranakan dengan racikan bumbu yang dimiliki secara tradisional oleh masyarakat pribumi setempat. Tradisi tersebut kemudian diketahui juga berkembang di Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lain yang memiliki populasi masyarakat Tionghoa dalam jumlah besar.

Dapat disimpulkan bahwa budaya mengkonsumsi ikan bandeng pada saat perayaan Hari Raya Imlek oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia didasarkan pada dua kondisi, yaitu 1) simbolisme: kemakmuran, keberlimpahan, ketangguhan, kebutuhan dan kebersamaan keluarga, dan 2) praktikalitas: ikan bandeng dibudidayakan secara luas di Jawa, khususnya di pantai utara Jawa. Meskipun unsur simbolisme masih dipertahankan dengan kuat, namun pengaruh kekinian juga tidak terhindarkan, seperti menyediakan ikan bandeng yang lebih nyaman untuk dimakan (bandeng duri lunak atau tanpa duri), cita rasa baru (bandeng asap atau campuran rasa), pemasaran ikan bandeng melalui jalur online, atau menggunakan fasilitas sosial-media yang memungkinkan tradisi tersebut masih bisa dipertahankan di kalangan kaum muda.

Pindang bandeng, menu masakan khas di Hari Raya Imlek.

Dari sisi pemasaran ikan bandeng sebagai produk budidaya perikanan, Indonesia menjadi salah satu penghasil ikan bandeng terbesar di dunia, dengan volume produksi sebesar 781.000 metrik ton setiap tahun. Selama lima tahun terakhir, sektor ini dipercaya telah berkembang sebesar 20% terkait areal produksi dan 50% peningkatan tahunan dalam hal volume produksi. Meskipun data rincinya masih harus disediakan, rata-rata konsumsi ikan bandeng adalah sebesar 0,025 kg per minggu pada tahun 2018, dengan sebaran utama di kota-kota Jakarta, Semarang dan Surabaya.

Terdapat perhatian besar dalam hal produksi ikan bandeng di Indonesia. Hubungan antara produksi bandeng dan deforestasi mangrove di Pantai Utara Jawa merupakan masalah lingkungan yang banyak dipelajari. Secara historis, area hutan mangrove yang luas telah diubah menjadi tambak untuk mendukung budidaya, termasuk budidaya bandeng dan udang. Hal ini telah menyebabkan kerusakan ekosistem pantai, hilangnya keanekaragaman hayati, dan peningkatan kerentanan terhadap perubahan iklim. Dipercayai bahwa Pantai Utara Jawa telah kehilangan hampir 80% tutupan mangrove aslinya selama beberapa dekade terakhir, terutama karena ekspansi budidaya perikanan dan pembangunan perkotaan. Konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak skala besar di beberapa wilayah Pantai Utara Jawa telah mengakibatkan erosi pantai, penurunan tanah, dan banjir. Kondisi terkini setempat menunjukan bahwa tanpa keberadaan ekosistem mangrove maka produktivitas tambak akan menurun dari waktu ke waktu akibat hilangnya fungsi jasa lingkungan mangrove dalam menjaga kualitas air dan peningkatan wabah penyakit. Praktek revitalisasi dan intensifikasi yang diperkirakan dapat meningkatkan produktifitas pada area tambak yang sudah ada tanpa harus memperluas penebangan mangrove telah banyak diusulkan para ahli sebagai strategi solusi yang penting dan dapat dijalankan. Namun, itu harus dirancang dan dijalankan secara hati-hati, terpadu dan terencana, berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Berbagai budaya yang berkembang tersebut dianggap sebagai salah satu sarana untuk mempertahankan tradisi yang sudah berjalan dari generasi ke generasi. Kadangkala juga praktek tersebut digunakan sebagai perangkat untuk mengembangkan kreativitas dan imajinasi masyarakat. Dalam skala yang lebih luas, praktek dan penularan tradisi tersebut juga bermanfaat untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya mempertahankan kelestarian alam untuk keberlangsungan budaya. Namun demikian, keberlangsungan praktek tradisi menghadapi tantangan yang tidak mudah. Globalisasi dan modernisasi dianggap dapat melunturkan ketertarikan kalangan muda untuk mempertahankan tradisi tersebut. Kemajuan teknologi, di satu sisi dapat membantu melestarikan budaya tersebut, namun disisi lain juga dapat mengancam keaslian dan keotentikannya. Secara keseluruhan, pewarisan tradisi dari generasi ke generasi perlu dilakukan khususnya mulai dari entitas keluarga serta kelompok masyarakat untuk membantu pelestarian identitas, budaya dan alam melalui pemanfaatan ilmu dan teknologi yang terus berkembang.

Penulis :

Yus Rusila Noor

Head of Office