
Hari Mangrove Internasional: Merayakan dan Melindungi Hutan Pesisir
Saat air pasang naik dan turun di pesisir tropis dan sub-tropis dunia, ekosistem yang luar biasa berdiri dengan tenang di pertemuan darat dan laut: mangrove. Hanya sedikit komunitas ekologis yang memiliki ketahanan dan kemurahan hati alam sedalam mangrove. Untuk memahami mengapa mangrove sangat layak diakui secara global, pertama-tama kita harus menghargai sifatnya. Ekosistem mangrove adalah hutan pesisir unik dari pohon dan semak belukar yang tumbuh subur di tanah payau dan tergenang air di perantaraan daratan dan laut. Mangrove bukanlah spesies tunggal, melainkan kumpulan beragam pohon dan semak yang toleran garam, tumbuh subur di zona intertidal pesisir. Akarnya yang berkerut, sering melengkung secara dramatis di atas air pasang surut, berfungsi sebagai jangkar melawan arus pantai yang kuat dan sebagai habitat penting bagi berbagai organisme yang mencengangkan. Apa yang membuat mangrove begitu tak tergantikan? Layanan lingkungan mereka mencakup bidang ekologi, ekonomi, dan sosial, menopang seluruh ekonomi pesisir dan melindungi masyarakat dari ancaman lingkungan. Secara ekologis, mangrove adalah hotspot keanekaragaman hayati — tempat pemijahan ikan, tempat istirahat dan mencari makan burung, dan segudang makhluk kecil yang penting bagi jaring-jaring makanan laut dan darat. Di Indonesia saja, ada lebih dari 200 spesies fauna yang terkait erat dengan sistem mangrove, termasuk ikan penting secara komersial, krustasea, moluska, dan bahkan spesies yang terancam punah seperti bekantan. Diperkirakan hingga 80% dari semua tangkapan ikan di perairan pesisir tropis terhubung, secara langsung atau tidak langsung, dengan kesehatan mangrove.

Meskipun hanya mencakup sekitar 14,8 juta hektar di seluruh dunia — kira-kira seukuran Yunani — mangrove ditemukan di sepanjang garis pantai tropis dan sub-tropis di lebih dari 120 negara. Asia Selatan dan Tenggara memiliki wilayah terbesar, dan lima negara (Indonesia, Brasil, Nigeria, Meksiko, dan Australia) memiliki hampir setengah dari mangrove dunia. Indonesia adalah negara adidaya mangrove dunia, menyumbang hampir seperempat dari total 3,5 juta hektar (21% dari total global) – membentang di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan pulau-pulau kecil yang tak terhitung jumlahnya, membentuk negara kepulauan, dengan keanekaragaman hayati mangrove terkaya di dunia. Hamparan hutan mangrove ini bukan hanya merupakan keajaiban biologis, tetapi juga garis hidup bagi lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia yang bergantung pada mangrove untuk makanan, mata pencaharian, sumber daya, dan perlindungan. Mangrove memberikan banyak manfaat bagi manusia dan alam. Akarnya yang terendam melindungi ikan remaja, udang, kepiting, dan kehidupan laut lainnya, menjadikan mangrove sebagai tempat pemijahan yang sangat berharga dalam mendukung perikanan pesisir. Diluar layanan ekologis, mangrove juga mendukung mata pencaharian lokal, menghasilkan kayu bangunan dan kayu bakar, madu dan tanaman obat, jerami dan arang, dan mereka berperan dalam pengembangan ekowisata. Masyarakat pesisir menangkap ikan di perairan mangrove dan memanen kepiting atau moluska di bawah kanopi hutan.
Mangrove memperkaya kehidupan manusia dengan cara lain, terkadang tidak terduga. Kulit kayu, daun, dan akarnya digunakan dalam pengobatan tradisional; bunganya mendukung peternakan lebah pesisir dan produksi madu; dan pohon Nipah menghasilkan gula manis. Hasil hutan non-kayu dari mangrove berkontribusi pada pendapatan pedesaan, ketahanan pangan, dan beragam ekonomi lokal. Ekowisata yang berpusat di sekitar satwa liar dan lanskap mangrove juga telah muncul sebagai jalur mata pencaharian berkelanjutan bagi banyak masyarakat Indonesia, dari Sumatera Selatan hingga Maluku Utara. Hutan-hutan ini membentuk semak belukar yang lebat dan kusut di muara sungai dan muara, mendefinisikan ekosistem berbeda yang telah beradaptasi selama ribuan tahun dengan air payau, siklus pasang surut, dan tanah rendah oksigen.
Dengan menjebak sedimen dan menyaring polutan, mangrove membantu menjaga air tetap bersih dan terumbu karang tetap sehat. Hutan-hutan ini juga menyangga garis pantai: jaringan akar yang kusut menghilangkan energi gelombang dan gelombang badai, mengurangi ketinggian gelombang sebesar 50-99% di atas sabuk bakau selebar 500 meter. Akibatnya, mangrove bertindak sebagai pemecah gelombang hidup yang melindungi desa dan pertanian dari erosi, tsunami, dan angin topan. Mereka adalah perisai hidup, mengurangi risiko bencana di dunia yang semakin babak belur oleh cuaca ekstrem. Dengan menyerap energi gelombang, menyangga gelombang badai, dan menstabilkan garis pantai, mangrove menawarkan perlindungan yang kuat bagi populasi pesisir terhadap siklon dan tsunami. Bukti empiris setelah tsunami Samudra Hindia 2004, misalnya, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia di balik sabuk bakau yang lebat menderita kerusakan yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang terpapar pantai terbuka.
Terkait mitigasi iklim, tanah mangrove menyimpan tingkat karbon yang luar biasa tinggi — jauh lebih banyak per hektar daripada kebanyakan hutan darat. Mangrove juga memainkan peran sentral dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Biomassa padat dan tanah yang tergenang air menjadikannya salah satu penyerap karbon paling efisien di dunia, menyerap hingga empat kali lebih banyak karbon per hektar daripada hutan tropis dataran tinggi. Mangrove Indonesia menyimpan setidaknya 3,1 miliar ton karbon—bank tabungan ekologis yang sangat berharga untuk masa depan planet ini. Konsep “karbon biru” telah muncul untuk mengenali dan menghargai manfaat unik ini, memposisikan konservasi mangrove sebagai komponen penting dari strategi iklim nasional dan global. UNESCO mencatat bahwa satu hektar mangrove utuh dapat menyerap sekitar 3.754 ton karbon. Di Indonesia, mangrove secara keseluruhan menyimpan sekitar 3,14 miliar ton karbon (setara dengan emisi tahunan 2,5 miliar mobil). Dengan menyimpan CO di kayu dan tanah yang dalam, mangrove membantu menstabilkan iklim. Di luar layanan ekologis ini, mangrove mendukung mata pencaharian lokal: mereka menghasilkan kayu bangunan dan kayu bakar, madu dan tanaman obat, jerami dan arang, dan menjadi tempat ekowisata. Masyarakat pesisir menangkap ikan di perairan mangrove dan memanen kepiting atau moluska di bawah kanopi hutan. Secara keseluruhan, mangrove mendukung ketahanan pangan, ketahanan bencana, dan kesejahteraan ekonomi bagi jutaan orang.
Terlepas dari kepentingannya, mangrove telah menghilang dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Dalam setengah abad terakhir, sekitar 50% mangrove dunia telah hilang karena deforestasi. Penyebab utamanya adalah manusia: tambak budidaya udang dan ikan, sawah dan pertanian lainnya, kota yang berkembang, pelabuhan, dan pengembangan wisata telah membuka lahan mangrove yang luas di sepanjang pantai. Penebangan kayu, arang, dan bahan konstruksi juga telah memakan korban. UNESCO melaporkan bahwa beberapa negara kehilangan lebih dari 40% mangrove mereka antara tahun 1980 dan 2005 karena pembangunan pesisir. Di Indonesia, yang memiliki mangrove terbesar di dunia, pendorong sejarah seperti konversi mangrove menjadi tambak budidaya dan ladang pertanian, serta penebangan kayu bakar dan bahan konstruksi, terus mengekstraksi dalam jumlah besar. Sebuah studi menemukan bahwa lebih dari satu juta hektar mangrove Indonesia telah terdegradasi atau hilang, terutama untuk mengakomodasi budidaya air payau. Selain itu, pembangunan pesisir—jalan, pelabuhan, kawasan industri, dan lahan pemukiman—memberikan tekanan yang terus meningkat pada tegakan mangrove yang sehat, seringkali diperburuk oleh penegakan hukum dan kejelasan kepemilikan lahan yang tidak memadai. Polusi, deforestasi hulu, dan perubahan hidrologi daerah tangkapan air semakin mempersulit pemulihan, dan ancaman kenaikan permukaan laut yang terus membayangi menempatkan masyarakat dataran rendah pada risiko yang berlipat ganda.
Secara global, mangrove sekarang menghilang 3-5 kali lebih cepat daripada hutan lainnya. Tekanan alam seperti kenaikan permukaan laut, badai yang meningkat, kekeringan atau gelombang dingin (diperburuk oleh perubahan iklim) memperparah masalah, seringkali mencegah mangrove yang terdegradasi beradaptasi cukup cepat untuk bertahan hidup. Kehilangan ini melepaskan simpanan karbon dioksida yang sangat besar ke atmosfer dan merampas perlindungan badai, perikanan, dan air bersih bagi masyarakat. Kecuali jika ditangani dengan baik, para ahli memperingatkan bahwa mangrove yang tersisa sebagian besar dapat menghilang dalam abad ini.
Untuk menarik perhatian pada krisis ini — dan untuk menyoroti solusi — UNESCO memproklamirkan 26 Juli sebagai Hari Internasional untuk Konservasi Ekosistem Mangrove. Keputusan tersebut diadopsi oleh Konferensi Umum UNESCO pada tahun 2015. Inisiatif ini dipelopori setelah kematian tragis Haydee Rodriguez, seorang aktivis lingkungan di Meksiko, menggarisbawahi kerentanan mangrove dan orang-orang yang membelanya. Peringatan resmi pertama berlangsung secara global pada tahun 2016, yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran, mendorong konservasi berbasis sains, dan menginspirasi solidaritas internasional untuk pengelolaan mangrove. Hari perayaan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran akan mangrove sebagai ekosistem “unik, istimewa dan rentan”, dan untuk mempromosikan pengelolaan berbasis sains, penggunaan berkelanjutan dan restorasi. Ini menggarisbawahi fakta bahwa mangrove berada di persimpangan darat dan laut, mewujudkan hubungan antara Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 14 (Kehidupan di Bawah Air) dan SDG 15 (Kehidupan di Darat).
Sejak awal, Hari Mangrove Internasional telah menjadi mercusuar untuk aksi lingkungan yang kreatif. Banyak Organisasi/Institusi di berbagai negara menjadi kreatif dalam merayakan Hari Mangrove. Di Indonesia, kementerian pemerintah, otoritas daerah, LSM, swasta dan universitas menyelenggarakan kampanye publik, program pendidikan pemuda, festival penanaman mangrove, pembersihan garis pantai, dan instalasi seni partisipatif. Kampanye digital inovatif berbagi cerita tentang para juara setempat, menampilkan pengetahuan tradisional, dan dukungan sumber kerumunan untuk proyek restorasi. Upaya ini sering kali selaras dengan inisiatif yang lebih besar: misalnya, Global Mangrove Alliance (Wetlands International, WWF, CI, IUCN dan TNC) menggunakan Hari ini untuk meluncurkan permohonan pendanaan. Aliansi telah menetapkan target berani untuk memperluas luasan mangrove global sebesar 20% pada tahun 2030, dan bertujuan untuk memobilisasi sekitar $10 miliar dalam investasi untuk meningkatkan ketahanan pesisir dan memberi manfaat bagi 10 juta orang. Inisiatif Mangrove Breakthrough telah menetapkan tujuan ambisius untuk melindungi 15 juta hektar mangrove dan mengamankan $4 miliar dalam pendanaan global untuk konservasi mangrove pada tahun 2030. Indonesia, melalui Gerakan Mangrove Nasional dan Program Rehabilitasi Mangrove Indonesia, telah berkomitmen untuk memulihkan lebih dari 600.000 hektar pada tahun 2024—salah satu upaya restorasi karbon biru terbesar dan paling ambisius di dunia. Dengan menyatukan beragam pemangku kepentingan pada Hari Mangrove Sedunia, mitra berharap dapat menerjemahkan kesadaran kedalam janji tindakan (keuangan, politik dan komunitas). Tujuan menyeluruh adalah untuk mengingatkan semua orang bahwa mangrove yang sehat sangat penting untuk iklim yang stabil, keanekaragaman hayati yang kaya, dan keamanan manusia.
Memperingati Hari Mangrove memang memiliki manfaat nyata. Hari Mangrove Internasional menggembleng kemitraan, meningkatkan pengawasan publik, dan menarik pendanaan penting untuk pengelolaan jangka panjang. Perayaan Hari Mangrove juga telah meningkatkan citra mangrove di arena kebijakan, mengintegrasikan perlindungannya ke dalam rencana aksi iklim, strategi pengurangan risiko bencana, dan agenda pembangunan nasional. Kondisi ini menyediakan titik fokus untuk komitmen baru atau yang diperbarui — mulai dari undang-undang perlindungan mangrove pemerintah hingga janji tanggung jawab perusahaan — dan mendorong masyarakat untuk mendukung konservasi. Misalnya, penelitian dan pedoman teknis yang dirilis pada tanggal ini dapat meningkatkan keberhasilan proyek restorasi. Gerakan restorasi global, di bawah Dekade PBB tentang Restorasi Ekosistem (2021–2030), secara eksplisit menyoroti lahan basah pesisir sebagai solusi iklim berbasis alam. Studi menunjukkan bahwa rehabilitasi mangrove yang terencana dengan baik tidak hanya efektif secara ekologis tetapi juga dapat bersifat ekonomis: mangrove yang dipulihkan meningkatkan perikanan, menghasilkan lapangan kerja ekowisata, dan menghindari kerusakan akibat bencana. Prinsip-prinsip restorasi mangrove ekologis Dekade PBB — menunjukkan bahwa kepemimpinan lokal, pemilihan lokasi yang tepat, dan perencanaan berbasis sains dapat mengatasi kegagalan penanaman massal sebelumnya.
Pendekatan Membangun Bersama Alam di Demak, Jawa Tengah
Inisiatif unggulan Building with Nature (BwN) Wetlands International di Demak, Jawa Tengah menunjukkan pendekatan yang signifikan secara global untuk ketahanan pesisir—mengintegrasikan restorasi ekologis, rekayasa hibrida, dan mata pencaharian berkelanjutan untuk mengatasi erosi, kenaikan permukaan laut, dan kerentanan masyarakat. Diluncurkan pada tahun 2015 sebagai kegiatan percontohan lima tahun (2015–2020) dan kemudian diakui sebagai Unggulan Restorasi Dunia Dekade PBB tentang Restorasi Ekosistem, proyek Demak berupaya melindungi sekitar 20 km garis pantai yang terkikis parah dan mata pencaharian 70.000 penduduk pesisir yang rentan terancam oleh kenaikan permukaan laut, salinisasi, dan penurunan tanah akibat ekstraksi air tanah.
Secara singkat, erosi telah memakan beberapa kilometer lahan di Demak, menggenangi tambak dan memaksa relokasi masyarakat desa. Tanpa intervensi, proyeksi menunjukkan bahwa pada tahun 2030, sekitar 6.000 hektar tambak udang akan hilang seiring dengan banjir yang meluas. Di bawah kepemimpinan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Kementerian Pekerjaan Umum, bekerja sama dengan Wetlands International, EcoShape, Universitas Diponegoro dan lembaga ahli lainnya, mengerahkan pembangunan bendungan semi-tembus dari bahan bambu yang kemudian diisi dengan berisi semak belukar, di sepanjang pantai. Struktur ini memperlambat gelombang dan menjebak sedimen, meningkatkan permukaan setinggi 45 cm dalam tahun pertama, memungkinkan regenerasi mangrove alami di belakang struktur—seringkali mencapai sekitar 70% kelangsungan hidup mangrove pertumbuhan alami, jauh melebihi tingkat kelangsungan hidup 15-20% dari anakan yang ditanam.
Melengkapi eko-rekayasa ini, masyarakat berpartisipasi dalam skema “Bio-rights”: pemilik tambak setuju untuk mengubah kolam pesisir yang tidak produktif menjadi cekungan sedimentasi dan memungkinkan mangrove untuk tumbuh kembali secara alami. Sebagai gantinya, petambak mendapatkan pelatihan teknik budidaya berkelanjutan dan dukungan untuk membangun sistem pemeliharaan udang yang terintegrasi. Partisipasi masyarakat tersebut menghasilkan hasil yang boleh dibilang dramatis: 277 petambak udang menikmati peningkatan produksi—beberapa kali lipat panen—sekaligus mendapatkan perlindungan pesisir.
Terlepas dari keberhasilan awal, penurunan tanah yang terjadi dengan cepat muncul sebagai tantangan besar. Penurunan di beberapa wilayah mendekati 8 cm per tahun, kemungkinan didorong oleh pengambilan air tanah yang berlebihan dari zona industri terdekat. Sebagai tanggapan, tim BwN mengkatalisis dialog tingkat kebijakan, mendorong Peta Jalan Penurunan Tanah Nasional pada tahun 2019 dan awal rencana pengelolaan air terpadu tingkat provinsi di Jawa Tengah.
Pada tahun 2022, proyek ini secara resmi diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai Unggulan Restorasi Dunia di bawah Dekade PBB tentang Restorasi Ekosistem, dengan pujian dari Pimpinan UNEP dan FAO. Pemerintah nasional Indonesia memperluas struktur bendungan di 13 kabupaten dengan total 23,5 km pantai antara 2015–2019, dan mengembangkan pedoman nasional tentang rekayasa hibrida yang mengintegrasikan solusi berbasis alam. Pendekatan ini sekarang diajarkan di berbagai universitas dan diperkenalkan di kawasan regional melalui jaringan Building with Nature Asia, yang mencakup Indonesia, Filipina, India, Malaysia, dan Cina.
Proyek BwN Demak menghasilkan akresi sedimen yang cepat, pemulihan mangrove alami tanpa penanaman di banyak daerah, peningkatan mata pencaharian, dan peningkatan kesadaran kebijakan tentang penurunan tanah sebagai risiko pesisir sistemik. Model hibrida rekayasa berbasis ekosistem menyelaraskan hasil ekologis dengan insentif ekonomi, menciptakan jalur untuk pembangunan berkelanjutan dan peningkatan ketahanan. Demak menyajikan contoh yang dapat ditiru: alih-alih melawan alam menggunakan infrastruktur keras, BwN bekerja bersama dengan proses alami yang terjadi. Ini menghubungkan transformasi sosial ekonomi—terutama pergeseran budidaya perikanan menuju keberlanjutan yang lebih besar—dengan restorasi ekologis, memperkuat kepemilikan masyarakat. Integrasi pemerintah, akademisi, LSM, dan penduduk setempat menunjukkan bagaimana ketahanan skala lanskap dapat diberikan tanpa mengorbankan mata pencaharian. Singkatnya, pekerjaan Building with Nature dari Wetlands International di Demak, Jawa Tengah, menjadi salah satu model restorasi pesisir berbasis alam paling canggih di dunia—memadukan penghalang lunak, regenerasi mangrove yang digerakkan oleh masyarakat, budidaya perikanan berkelanjutan, dan memengaruhi kebijakan melalui penanganan penurunan tanah—menginspirasi strategi adaptasi dan restorasi di seluruh Indonesia dan Asia.
Setiap orang adalah bagian dari Upaya Konservasi Mangrove
Setiap individu dapat berperan dalam konservasi mangrove. Warga didorong untuk bergabung atau mendukung pembersihan sampah pesisir, dan belajar tentang mangrove (misalnya, melalui ilmu kewarganegaraan atau proyek sekolah). Mengurangi jejak karbon pribadi dan menghindari plastik sekali pakai juga secara tidak langsung menguntungkan mangrove. Yang penting, konsumen harus memperhatikan pilihan mereka, misalnya, membeli makanan laut atau kayu bersertifikat berkelanjutan dan menolak produk yang terkait dengan perusakan mangrove (seperti budidaya udang yang tidak berkelanjutan) mengurangi permintaan pasar untuk pembukaan lahan baru. Di sisi lain, masyarakat harus menghindari kegiatan yang merusak mangrove: jangan membuang sampah atau limbah ke lahan basah, tidak mengizinkan penebangan liar atau penimbunan sampah di area mangrove, dan jangan membeli arang atau tiang bangunan yang ditebang dari pohon mangrove.
Masa depan konservasi mangrove, bagaimanapun, pada akhirnya tidak hanya bergantung pada institusi, tetapi pada pilihan sehari-hari jutaan orang biasa. Kita semua dapat berperan dengan mendukung perikanan berkelanjutan, bergabung dengan kegiatan penanaman mangrove, mengurangi polusi plastik dan bahan kimia, dan mengadvokasi agar lahan basah dilindungi dalam perencanaan lokal. Pariwisata yang bertanggung jawab, konsumsi produk mangrove bersertifikat, dan memperkuat suara masyarakat pesisir membantu memastikan mangrove dihargai hidup-hidup daripada dibabat untuk keuntungan jangka pendek. Di sisi lain, kita harus menolak praktik yang merusak mangrove, seperti pembukaan lahan ilegal, konstruksi pesisir yang tidak diatur, pemanenan berlebihan, dan pembuangan limbah yang merusak alam dan keselamatan kita sendiri. Pemerintah dan investor memiliki kewajiban untuk mengarahkan dana ke restorasi yang dirancang dengan baik dan inklusif yang didukung oleh sains dan kearifan lokal.
Kita memperingati Hari Mangrove Internasional bukan hanya untuk merayakan hutan pasang surut saja, tetapi juga untuk menegaskan kembali tanggung jawab bersama kita. Seperti yang dinyatakan oleh Nani Hendiarti, Wakil Menteri Koordinasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Indonesia:
“Mangrove memberikan manfaat yang tak ada habisnya bagi masyarakat. Mereka melindungi kita dari dampak perubahan iklim dan menghasilkan pendapatan melalui ekowisata dan produknya. Kita semua perlu bersatu—pemerintah, LSM, sektor swasta, dan masyarakat—untuk melindungi mangrove untuk masa depan yang lebih sejahtera.”
Yus Rusila Noor, Direktur Wetlands International Indonesia menambahkan, “Keberhasilan upaya restorasi dan rehabilitasi mangrove banyak dipengaruhi oleh adanya keterpaduan antara kehendak dan tekad masyarakat lokal dan dukungan kehendak politik dari Pemerintah untuk bersama-sama memperbaiki dan menjaga lingkungan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang diantaranya diperoleh dari jasa lingkungan yang disediakan oleh mangrove. Berbagai manfaat dari kondisi ekosistem mangrove yang sehat akan mendorong masyarakat untuk, atas inisiatif sendiri, melakukan upaya-upaya positif guna menjaga mangrove yang masih utuh dan memperbaiki mangrove rusak, dengan dukungan Pemerintah (Daerah), para Ahli dan Ilmuwan dari perguruan Tinggi, praktisi Organisasi Non-Pemerintah serta pihak Swasta”
Semoga semangat ini menginspirasi kita masing-masing—hari ini dan setiap hari—untuk bergabung dalam menjaga mangrove dunia: untuk iklim, untuk keanekaragaman hayati, untuk garis pantai yang tangguh, dan untuk kesejahteraan masyarakat lokal. Bagi para peneliti, aktivis, pembuat kebijakan, dan warga negara, Hari Mangrove Internasional lebih dari sekadar tanggal—ini adalah seruan global untuk bertindak dan undangan untuk menghormati penjaga pesisir Bumi dan komunitas yang melindungi mereka.
Ditulis oleh:
