Cerita perubahan: Petambak di Kalimantan Utara Diberdayakan Melalui Inovasi Berbasis Lingkungan
Tambak udang windu pernah menjadi sumber kejayaan masyarakat pesisir di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara antara tahun 1990an-2010. Saat itu, produksi udang windu bisa mencapai satu ton per siklus. Namun, seiring waktu, hasil panen menurun drastis hingga hanya 15–20 kilogram saja per hektare per siklus budidaya tiga bulan.
Pendapatan yang kian menurun membuat masyarakat kerap terpaksa berutang ke pengepul hanya untuk menutupi biaya produksi. “Kalau dulu hasil panen bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga sampai musim berikutnya, sekarang bahkan tidak cukup untuk menutup biaya obat (pestisida) dan pupuk,” ujar Ramsyah, petambak di Desa Sekatak Bengara.
Di tahun 2024 program Pendekatan Alami untuk Penghidupan Berkelanjutan di Kawasan Mangrove (NASCLIM) hadir di empat desa pesisir Kabupaten Bulungan dan mengajak petambak untuk mengkaji bersama pola pengelolaan tambak mereka melalui kegiatan Sekolah Lapang Pesisir (Coastal Field School/CFS) pengelolaan tambak yang berkelanjutan. Dalam kegiatan tersebut, petambak mempelajari praktik-praktik yang mendukung peningkatan pengelolaan tambak, salah satunya pembuatan dan penggunaan larutan mikroorganisme lokal (MoL).

Saat pertama kali mendengar tentang MoL, banyak petambak sempat ragu akan manfaatnya karena mereka umumnya hanya mengenal penggunaan pupuk dan pestisida sintetis. MoL sendiri merupakan larutan kaya mikroba bermanfaat yang membantu mempercepat dekomposisi bahan organik, meningkatkan ketersediaan nutrisi, dan menumbuhkan pakan alami seperti plankton di dalam tambak. Larutan MoL dibuat dengan mencampurkan beberapa bahan organik yang tersedia di desa, yang kemudian difermentasi. Penerapannya terbukti mampu memperbaiki kualitas air dan kesuburan tanah tambak sekaligus mengurangi ketergantungan pada pupuk serta pestisida sintetis.
Namun keraguan itu perlahan berubah menjadi rasa ingin tahu, apalagi ketika melihat salah satu dari anggota kelompok petambak yang berani mencoba dan mulai merasakan hasil positif.

Di Desa Liagu, Jony Lee melihat sendiri air tambaknya kembali keruh kehijauan dan udang tumbuh lebih sehat. “Waktu udang di tambak tetangga banyak yang sakit dan mati masal, udang di tambak saya tetap bertahan dan saya bisa simpulkan hal itu karena MoL yang saya gunakan,” ucapnya. Jony kini rutin menggunakan MoL sambil terus berkonsultasi dengan ahli perikanan dan akademisi untuk memastikan praktiknya sudah sesuai.

Di Dusun Antal, Desa Salimbatu, inisiatif lahir dari Bohari, seorang petambak berpengalaman. Seusai mengikuti Training of Trainer (ToT) kepemanduan CFS di Tanjung Selor, ia memberanikan diri bereksperimen membuat MoL dari limbah kepala udang dan molase. Hasilnya sungguh mengejutkan, di mana jenis udang bintik tiba-tiba muncul hingga hampir 100 kilogram dalam satu siklus.
“Saya sendiri tidak percaya. Waktu angkat jaring dan lihat udang bintiknya banyak sekali dan belum pernah ada sejak saya buka tambak, rasanya senang sekali,” ujar Bohari. Tambahan ini menjadi rezeki tak terduga di luar panen udang windu dan ikan bandeng yang selama ini Bohari usahakan di dalam tambaknya.
Studi menunjukkan bahwa penurunan produktivitas kolam umumnya disebabkan oleh kerusakan ekosistem mangrove di daerah pesisir. Ketika mangrove mengalami degradasi, kesuburan tanah dan kualitas air di daerah kolam semakin memburuk. Program NASCLIM bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan manfaat mangrove bagi mata pencaharian komunitas pesisir di Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur.
Dengan pendanaan dari Pemerintah Kanada, NASCLIM juga bekerja sama dengan perwakilan pemerintah kabupaten di dua provinsi tersebut untuk memperkuat kebijakan yang mendorong perlindungan dan rehabilitasi mangrove melalui pendekatan yang responsif terhadap gender. Program ini bekerja sama dengan Kementerian Kehutanan Indonesia untuk melindungi 1.800 hektar dan merehabilitasi 2.000 hektar ekosistem mangrove di enam desa di dua provinsi.
Dari pengalaman di atas, lahir pelajaran penting: perubahan membutuhkan inisiatif, kesadaran, inovasi dan kolaborasi para pihak. Kini saatnya para pemangku kepentingan mengambil peran dalam mendukung pemanfaatan potensi lokal, memperkuat solusi berbasis alam, dan membuka ruang pembelajaran bersama untuk keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Penulis :