Pemerintah Indonesia harus memperkuat peraturan tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP71/2014)
-
Konservasi dan restorasi lahan gambut
(Senin, 28 Desember 2015) Pada hari ini, Wetlands International meluncurkan analisis kebijakan terhadap Peraturan Pemerintah No. 71/2014 dan mendorong Pemerintah Indonesia untuk memperkuat peraturan tersebut agar lebih efektif dalam mengurangi resiko kebakaran, emisi CO2, kehilangan biodiversitas, subsiden dan banjir, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP 71/2014) belum lama disyahkan, namun keberadaannya banyak menimbulkan pro dan kontra diantara para pemangku kepentingan. Di dalam peraturan tersebut, walaupun telah dimandatkan bahwa Pemerintah Indonesia dan stakeholder terkait harus melindungi lahan gambut, namun dalam klausul-klausulnya peraturan tersebut dinilai masih belum cukup efektif untuk melindungi fungsi ekosistem gambut dan belum dapat memastikan pengelolaan gambut yang berkelanjutan. Kondisi demikian akan lebih sulit lagi jika di atas lahan gambut telah terdapat berbagai kegiatan pembangunan dengan berbagai tujuan dan manfaat yang berbeda
Di dalam analisis dijelaskan bahwa pengaturan tinggi muka air, baik yang dituangkan dalam PP71 maupun dari hasil-hasil kajian ilmiah lainnya serta BMP (Best Management Practice) RSPO,kemungkinan disusun berdasarkan asumsi bahwa pengelolaan gambut dengan mengatur tinggi muka air pada saluran drainase dapat mencegah/mengurangi dampak yang merugikan seperti emisi GRK, subsiden dan kebakaran. Pernyatan/asumsi demikian tidak salah, namun Nyoman Suryadiputra, Direktur Wetlands International Indonesia, mengatakan bahwa “betapapun bagus atau hebatnya model pengelolaan tata air dalam mengatur/mengendalikan tinggi muka air tanah di lahan gambut, tapi kejadian subsiden di lahan gambut, akibat adanya kanal-kanal drainase, tidak akan dapat terhindarkan. Jika kondisi demikian berlangsung terus menerus, maka lahan gambut akan rusak dan tergenang”.
Kerusakan lahan gambut berawal dari ketika gambut didrainase, yang menyebabkan gambut menjadi kering dan sangat rentan terhadap kebakaran. Kebarakan yang terjadi sering kali menimbulkan asap yang sangat merugikan bagi lingkungan, iklim, ekonomi dan kesehatan jutaan masyarakat sekitar. Drainase yang dilakukan terus menerus akan meningkatkan emisi CO2 dan menghambat upaya pemerintah dalam memenuhi komitmennya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca . Selain itu, dengan laju subsidensi 3-6 cm/tahun, gambut akan mengalami penyusutan sampai pada titik dimana permukaan gambut sama dengan atau lebih rendah dari permukaan sungai/laut dan mengakibatkan gambut tergenang banjir dan akhirnya kehilangan nilai produktivitasnya.
Oleh karena itu Wetlands International mendorong pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan kajian-kajian ilmiah yang dapat dipercaya, terutama terkait dengan dampak kerusakan lahan gambut terhadap masyarakat, iklim dan lingkungan, serta menuangkannya ke dalam kebijakan yang efektif.
Juga, berdasarkan PP 71/2014 Wetlands International mendorog pemerintah untuk menyusun strategi konservasi dan restorasi gambut dengan melibatkan berbagai sektor seperti pertanian, kehutanan, pertambangan dan sektor-sektor penggunaan lahan lainnya. Strategi tersebut dapat dikoordinasikan melalui Badan Restorasi Gambut yang akan segera dibentuk oleh Presiden Jokowi, seperti yang telah disampaikan pada COP 21 di Paris.