
Hari Danau Sedunia, Cermin Bumi, Cermin Kehidupan
Refleksi pada Hari Danau Sedunia, 27 Agustus
Pada 12 Desember 2024, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan 27 Agustus sebagai Hari Danau Sedunia. Keputusan bersejarah ini lahir dari diplomasi yang dipimpin Indonesia dan didukung oleh 73 negara, menandai babak baru dalam pengakuan global akan pentingnya danau bagi kelangsungan hidup manusia dan planet. Tanggal ini dipilih bukan kebetulan, tetapi merujuk pada tanggal 27 Agustus 1984, ketika konferensi internasional pertama tentang danau digelar di Danau Biwa, Jepang. Empat puluh tahun kemudian, gaung pertemuan tersebut bergema kembali dalam bentuk komitmen dunia untuk menjaga danau sebagai cermin bumi sekaligus cermin kehidupan.
Danau sebagai Penopang Peradaban
Danau bukan sekadar bentang air yang tenang. Ia adalah nadi kehidupan. Dari permukaan yang tampak tenang itu, tersimpan lebih dari 90% air tawar permukaan bumi. Air yang menghidupi sawah-sawah, memutar turbin listrik, menyalurkan air minum ke rumah-rumah, dan menopang industri yang memberi napas bagi perekonomian.
Lebih dari itu, danau adalah rumah bagi ribuan spesies tumbuhan, ikan, burung, hingga mikroorganisme yang menjadi fondasi rantai kehidupan. Danau Toba di Sumatera Utara, misalnya, bukan hanya danau vulkanik terbesar di dunia, tetapi juga pusat ekologi dan budaya Batak yang hidup berdampingan dengan alamnya. Danau-danau lain di Indonesia, seperti Sentani, Poso, Matano, Tempe, Rawa Danau, hingga Danau Sentarum, adalah mosaik air yang menyatukan manusia dengan alam. Di banyak peradaban dunia, danau menjadi pusat lahirnya kota-kota, sumber cerita rakyat, bahkan sumber spiritualitas. Airnya yang memantulkan langit kerap dianggap sebagai penghubung antara bumi dan kahyangan.
Ancaman yang Mengintai
Namun, seperti permukaan air yang mudah keruh, danau kini menghadapi ancaman yang tak bisa lagi diabaikan. Urbanisasi yang tak terkendali membawa limpasan limbah dan sampah ke badan air. Pertanian intensif menyumbang nutrien berlebih yang memicu eutrofikasi, menjadikan air berwarna hijau pekat penuh alga beracun. Perubahan iklim memperparah persoalan dimana naiknya suhu air mempengaruhi keseimbangan ekosistem, mengurangi oksigen terlarut, dan mengancam kehidupan ikan.
Laporan PBB (UNEP, 2021) mencatat, setidaknya 1/3 danau besar dunia mengalami penurunan kualitas air secara signifikan. Sementara itu, jutaan orang yang bergantung pada danau sebagai sumber air minum kini menghadapi risiko kesehatan akibat kontaminasi logam berat, pestisida, dan mikroplastik.
Indonesia sendiri tidak bebas dari ancaman itu. Danau Toba, yang pernah dijuluki “mutiara biru,” berulang kali dilaporkan mengalami pencemaran dari aktivitas industri dan rumah tangga. Danau Tempe di Sulawesi mengalami pendangkalan cepat akibat sedimentasi. Danau Rawa Pening di Jawa Tengah penuh dengan eceng gondok, menghambat perikanan tradisional. Ini adalah alarm keras bahwa warisan air kita tengah menuju titik kritis. Secara total, Indonesia memiliki 840 danau dengan tipologi yang sangat bervariasi. Sebagian besar danau di Indonesia merupakan danau alami. Luas seluruh danau mencapai 7.103 kilometer persegi.
Diplomasi Air dan Peran Indonesia
Penetapan Hari Danau Sedunia adalah pencapaian diplomasi lingkungan yang patut dibanggakan. Indonesia tidak sekadar tuan rumah World Water Forum ke-10 di Bali (2024), tetapi juga penggagas resolusi global yang diadopsi oleh PBB. Dunia mengakui peran Indonesia sebagai bridge builder, jembatan yang menghubungkan kepentingan negara maju dan berkembang dalam isu air.
Namun, perayaan diplomasi ini mestinya tidak berhenti pada seremoni. Ia harus diterjemahkan menjadi kebijakan nasional dan lokal yang berpihak pada keberlanjutan. Hari Danau Sedunia adalah undangan terbuka bagi kita semua untuk menoleh kembali pada danau di sekitar kita, baik besar maupun kecil, baik terkenal maupun tersembunyi, dan bertanya apa yang telah kita lakukan untuk menjaganya?
Momentum untuk Bertindak
Langkah Indonesia dalam memperjuangkan keberlanjutan danau tidak lahir dalam ruang hampa. Sejak lama, upaya kolektif telah dirajut di tingkat nasional. Salah satu momentum penting terjadi pada 10 Mei 2017, ketika Bappenas menyelenggarakan pertemuan bertajuk “Aksi Kolektif untuk Tujuan Bersama: Pengelolaan 15 Danau Prioritas Nasional”. Forum ini menjadi titik balik yang menandai keseriusan pemerintah untuk menempatkan danau sebagai aset strategis yang perlu dikelola secara terpadu lintas kementerian, daerah, dan masyarakat.
Dalam forum tersebut, pemerintah menetapkan 15 danau prioritas nasional, mulai dari Danau Toba di Sumatera Utara hingga Danau Sentani di Papua. Penetapan ini bukan semata-mata daftar nama, melainkan sebuah pengakuan bahwa danau-danau tersebut tengah menghadapi tekanan serius terkait sedimentasi yang mengurangi kapasitas air, pencemaran yang menurunkan kualitas, hingga degradasi keanekaragaman hayati yang berimbas pada kehidupan masyarakat sekitarnya.
Bappenas menekankan dua alasan utama di balik prioritisasi ini. Pertama, tingkat ancaman ekologis yang kian nyata, yang bila diabaikan akan menimbulkan kerugian sosial-ekonomi jangka panjang. Kedua, nilai strategis danau sebagai penyangga kehidupan—sumber air, pangan, energi, hingga identitas budaya—yang menjadikannya tak tergantikan.
Pertemuan ini juga melahirkan komitmen untuk merumuskan Rencana Aksi Penyelamatan Ekosistem Danau (Germadan) sebagai dasar operasional. Lebih jauh lagi, juga membuka jalan bagi penyusunan regulasi lintas sektor, termasuk gagasan Peraturan Presiden tentang penyelamatan danau prioritas. Dari titik ini, lahir suatu kesadaran bahwa penyelamatan danau tidak bisa dilakukan secara sektoral, melainkan memerlukan “aksi kolektif untuk tujuan bersama”, sebuah frasa yang bukan hanya menjadi tema acara, melainkan roh yang menjiwai gerakan ini.
Narasi aksi pengelolaan danau di Indonesia sejak saat itu terus menguat. Pertemuan Bappenas 2017 dapat dibaca sebagai fondasi yang memperkokoh langkah Indonesia untuk berbicara lebih lantang di panggung global, hingga pada akhirnya mengusulkan dan berhasil mendorong lahirnya Hari Danau Sedunia di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2025.
Sebuah Renungan
Hari Danau Sedunia bukan sekadar peringatan di kalender PBB. Ia adalah panggilan nurani untuk menengok danau-danau di sekitar kita, mendengar bisikan airnya, dan bertanya apakah kita telah berbuat cukup untuk memastikan danau-danau tersebut tetap hidup—bukan hanya bagi kita, tetapi juga bagi anak cucu di masa depan.
Pada akhirnya, menjaga danau adalah menjaga kehidupan itu sendiri. Karena danau, dengan permukaan tenangnya, sesungguhnya sedang menampung gemuruh peradaban manusia. Dan bila danau kering, pecah, atau mati, bukankah itu berarti kita sedang menghapus salah satu cermin yang memperlihatkan siapa kita?
Diramu oleh :
