
Garda Depan Sunyi yang Menghilang: Status Rawagaram Dunia
Awal pertengahan 2025 kemarin, WWF – UK bermitra dengan Sky, melalui kolaborasi dengan Blue Marine Foundation, UK Centre for Ecology & Hydrology, dan UN Climate Change High Level Champion meluncurkan satu publikasi yang bertajuk “State of the World’s Saltmarshes” atau Status Rawagaram di Dunia https://www.wetlands.org/state-of-the-worlds-saltmarshes/. Organisasi kami, Wetlands International, bekerjasama dengan Conservation Evidence Group di Universitas Cambridge turut serta berkontribusi dalam penyusunan Seksi 4: Scaling Solution, yang secara umum diambil dari publikasi kami berjudul Restoration, Creation and Management of Salt Marshes and Tidak Flats. Seksi ini menitikberatkan berbagai praktik yang memacu restorasi rawagaram secara global.


Laporan ini adalah penilaian global paling komprehensif, dimana temuan yang disajikan didalamnya tidak hanya mengungkap skala krisis yang memprihatinkan, tetapi juga menawarkan peta jalan untuk pemulihan. Laporan ini merangkum hasil pekerjaan dari hampir 100 peneliti dan praktisi dari lebih 30 negara, mendorong kita untuk menilai ulang cara kita memperlakukan kawasan pesisir—dan menyadari bahwa lahan basah berlumpur ini adalah sekutu penting dalam menghadapi krisis iklim.
Sekilas, rawagaram (saltmarsh) kerap dicampuradukan dengan padanggaram (saltpan), yang meskipun keduanya adalah merupakan tipe lahan basah di pesisir, namun memiliki tampilan fisik dan ekologis serta fungsi yang berbeda. Rawagaram adalah lahan basah pesisir yang secara berkala tergenang air laut, didominasi tumbuhan toleran garam (halofit), dan berfungsi sebagai habitat penting keanekaragaman hayati, perlindungan pesisir serta penyerap karbon (blue carbon). Tipe ekosistem lahan basah ini biasanya terletak di sepanjang muara sungai, laguna atau teluk yang mendapat pengaruh pasang surut, tersebar diantaranya di Pesisir timur Sumatra (Sumatra Selatan, Riau), pesisir Kalimantan, sebagian Pantura Jawa. Konvensi Ramsar (Konvensi mengenai lahan basah) memasukan rawagaram dalam tipe lahan basah kategori pesisir (Marine/Coastal Wetlands) dengan inisial kategori H (Intertidal Marshes) dimana didalamnya termasuk Saltmarshes, salt meadows, dan raised salt marshes.
Sementara itu, padanggaram (saltpan) merupakan permukaan tanah datar yang sangat asin dan terbentuk secara alami atau buatan, dimana airnya dangkal dan cepat menguap, meninggalkan kerak garam di permukaan tanah. Padanggaram hampir tidak ditumbuhi oleh vegetasi karena kadar garamnya yang sangat tinggi, dan umumnya dimanfaatkan sebagai tambak untuk keperluan produksi garam oleh masyarakat atau industri. Di Indonesia, padanggaram dapat ditemuai di Pulau Madura, sebagian Pantura Jawa dan sebagian Nusa Tenggara Timur.
Rawagaram tampak seperti hamparan datar penuh rerumputan yang dibanjiri air laut secara rutin. Namun di balik wujud sederhananya, ekosistem ini sangat produktif dan kompleks. Ekosistem ini layaknya mesin biologis yang menyediakan penunjang kehidupan bagi ikan, kepiting, burung air, dan jejaring makanan keanekaragaman hayati pesisir lainnya. Tanahnya yang selalu basah dan miskin oksigen membuat proses penguraian organik melambat drastis, sehingga karbon terkunci selama berabad-abad. Setiap hektar padanggaram bahkan bisa menyimpan hingga lima kali lebih banyak karbon dibanding hutan tropis, menjadikannya elemen kunci karbon biru untuk mitigasi perubahan iklim. Penelitian terbaru menekankan peran padanggaram sebagai penyimpan karbon alami, namun juga mencatat bahwa padanggaram yang direstorasi butuh puluhan hingga ratusan tahun untuk menyaingi cadangan karbon lahan basah yang sudah matang. Perlindungan habitat yang masih utuh adalah strategi mitigasi paling cepat dan efektif. Dalam fungsinya yang lain, mereka telah lama menjadi penjaga sunyi garis pantai kita. Mereka meredam gelombang badai, melindungi daratan dari erosi, mendukung perikanan, dan mengunci karbon dalam lumpur mereka yang dalam dan kaya. Vegetasinya yang padat dan lahan landai mampu meredam energi gelombang dan mengurangi dampak banjir akibat badai. Layanan ini semakin penting di era naiknya permukaan laut dan cuaca ekstrem. Rawagaram juga berperan sebagai pertahanan alami laut, penyaring polutan, meningkatkan kualitas air, dan menyediakan habitat penting bagi ikan dan udang yang menopang perikanan. Bagi banyak komunitas pesisir, layanan ini bukan hanya soal ekologi tapi juga ekonomi dan keamanan.
Namun, di balik peran penting itu, ekosistem ini kini menghilang pada kecepatan yang melampaui hilangnya hutan di dunia. Rawagaram kini mengalami penurunan luas yang serius. Sejarah menunjukkan ekosistem ini secara global dulu diperkirakan menutupi lebih dari 130.000 km². Kini, kurang dari separuh yang tersisa—sekitar 53.000 km², setara dengan penurunan 67 % sejak masa pra-industri. Hanya dalam periode 2000 hingga 2019, dunia kehilangan 1.435 km² rawagaram—area sekitar dua kali luas Singapura. Tingkat kehilangan ini sekitar tiga kali lebih cepat dibanding deforestasi global. Dampak karbonnya pun sangat besar. Kehilangan tersebut diperkirakan telah melepaskan 326 juta ton CO₂ ekuivalen ke atmosfer —seolah menihilkan manfaat penyerapan karbon alami selama beberapa dekade. Laju kehilangannya berada di sekitar angka 0,28% per tahun, atau tiga kali lebih cepat dibanding kehilangan tutupan hutan.
Ada banyak faktor yang mendorong penurunan ini. Secara historis, rawagaram dikeringkan dan dibendung untuk pertanian dan pembangunan perkotaan. Infrastruktur seperti pelabuhan, jalan, dan tanggul mengubah aliran air dan memecah habitat. Budidaya perikanan juga kerap menggantikan area rawagaram, sementara perubahan iklim menambah tekanan: kenaikan permukaan laut dan badai yang lebih kuat mengancam menenggelamkan habitat ini. Tak kalah penting, spesies invasif seperti Spartina mengubah struktur habitat dan dinamika sedimen, sehingga restorasi yang kurang cermat malah bisa memperburuk kerentanan.
Harapan Melalui Restorasi
Rawagaram sering dianggap sebagai rawa tak berguna, tapi laporan yang sedang kita bicarakan ini menegaskan hal sebaliknya. Mereka adalah sekutu penting dalam menghadapi perubahan iklim, mendukung keanekaragaman hayati, dan melindungi masyarakat pesisir, termasuk mata pencaharian mereka. Kehilangannya adalah krisis global dengan biaya nyata—bukan hanya lingkungan tapi juga sosial dan ekonomi. Namun ini adalah tantangan yang bisa diatasi. Dengan bukti ilmiah yang kuat, teknik restorasi yang sudah terbukti, dan dukungan kebijakan yang tepat, perlindungan dan restorasi rawagaram menawarkan peluang langka berupa investasi di ketahanan alam yang menguntungkan manusia dan planet.
“Kehilangan rawagaram berarti kehilangan garis depan pertahanan kita terhadap krisis iklim. Melindungi dan merestorasinya adalah pilihan untuk masa depan di mana alam menjadi mitra, bukan korban.”
Laporan “State of the World’s Saltmarshes” tidak hanya memaparkan masalah, tapi juga menawarkan solusi berbasis ilmu pengetahuan. Analisisnya menunjukkan sekitar 20.000 km²—setara 2 juta hektar—rawagaram yang hilang atau terdegradasi bisa direstorasi di seluruh dunia. Upaya ini berpotensi mencegah atau menyerap 36 juta ton CO₂ per tahun. Berbagai proyek yang berhasil dijalankan di Eropa, Amerika Serikat, Tiongkok, dan Australia menunjukkan bahwa restorasi bisa berhasil jika direncanakan dengan baik dan melibatkan masyarakat lokal. Namun, laporan juga mengingatkan bahwa restorasi bukan solusi instan. Rawagaram yang baru direstorasi membutuhkan puluhan tahun untuk menyamai kapasitas penyimpanan karbon lahan basah matang. Desain restorasi juga harus mempertimbangkan hidrologi dan sedimen lokal agar hasilnya berkelanjutan.
Untuk menghentikan dan membalikkan penurunan wilayah rawagaram, laporan ini merekomendasikan lima tindakan utama, yaitu:
1. Mengintegrasikan konservasi rawagaram ke dalam rencana iklim dan keanekaragaman hayati nasional;
2. Menggalang pendanaan publik dan swasta untuk konservasi dan restorasi;
3. Meningkatkan pemetaan dan pemantauan, terutama di wilayah tropis dan kutub yang datanya kurang;
4. Menyelaraskan konservasi rawagaram dengan target internasional seperti 30×30 (melindungi 30 % daratan dan lautan pada 2030);
5. Meningkatkan kesadaran publik akan nilai dan manfaat rawagaram.
Konvensi Ramsar mendukung dan mempromosikan rawagaram sebagai bagian dari lahan basah pesisir yang memiliki kepentingan secara international. Resolusi Ramsar XIII.20 (2018) bahkan menegaskan pentingnya ”ekosistem karbon biru pesisir” yang termasuk rawagaram, mangrove dan lamun.
Dapat disimpulkan bahwa melindungi rawagaram sejatinya akan meningkatkan 1) produktifitas ekosistem karena mendukung siklus nitrogen, berfungsi sebagai tempat berpijah ikan dan invertebrata dan mendukung koridor keanekaragaman hayati, 2) resiliensi pesisir dengan meredam enerji gelombang dan menahan kekuatan badai, mengurangi risiko banjir bagi masyarakat pesisir yang rentan, 3) tantangan waktu, bahkan rawa yang telah direstorasi sekalipun memerlukan waktu yang sangat panjang untuk dapat mengakumulasikan karbon tanah, sehingga mempertahankan dan melindungi rawa yang masih ada saat ini akan memberikan manfaat iklim yang dapat langsung terasa, dan 4) efisiensi penyerapan karbon, dimana tanah rawagaram mengunci karbon organik jauh di dalam sedimen anaerob, rendah oksigen, sehingga memperlambat dekomposisi dan menciptakan penyimpanan jangka panjang.
Meskipun laporan ini bersifat global cakupannya, untuk konteks Indonesia, gambaran kondisi yang ada, manfaat, ancaman dan strategi tindakan yang direkomendasikan dapat juga diterapkan secara nasional. Tantangan terpenting di Indonesia adalah untuk memperoleh data inventarisasi sebaran ekosistem tersebut, permasalahan serta luasan yang dapat direstorasi, sehingga kemudian dapat dirumuskan strategi nasional yang lebih tertata dan terukur.
Diramu oleh :
