Straight to content

Lahan Basah (Mangrove dan Gambut) sebagai Penopang Utama Perwujudan ASTA CITA Presiden – Wakil Presiden Indonesia Terpilih 2024 – 2029

Published on:

MANGROVE INDONESIA adalah:

  • Terluas di dunia, 3,2 juta hektar, hampir 25% dari seluruh mangrove di dunia
  • Satu hektar hutan mangrove Indonesia dapat menyimpan karbon hingga 5x hutan dataran tinggi, atau 950 – 968 ton C/ha, dengan total hingga 3,14 miliar ton. Jumlah karbon yang tersimpan di Indonesia setara dengan 1/3 karbon yang tersimpan di ekosistem pesisir dunia
  • Menyediakan habitat penting untuk berpijah berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomi dan mendukung ketersediaan sumber pangan
  • Melindungi pantai dari berbagai bencana yang bisa merugikan secara sosial dan ekonomi

GAMBUT INDONESIA adalah:

  • Gambut tropis terluas di dunia, sekitar 13,4 juta hektar
  • Menyimpan karbon jauh lebih banyak dibandingkan dengan ekosistem lainnya, hingga lebih dari 2.700 ton C/ha
  • Habitat penting dari berbagai jenis keanekaragaman hayati kebanggaan Indonesia
  • Sumber pangan dan papan bagi masyarakat luas, dan mendukung perekonomian bangsa
  • Menyediakan jasa pengatur tata air dan perlindungan dari bencana hidrometeorologi, dan dengan demikian menghindarkan dari kerugian sosial dan ekonomi

Namun jika tidak dikelola dengan bijaksana dan berkelanjutan, Mangrove dan Gambut Indonesia dapat menjadi sumber petaka. Tidak kurang dari 40% hutan mangrove Indonesia mengalami kerusakan dalam 3 dekade terakhir, menyebabkan hilangnya 52.000 hektar mangrove per tahun, serta melepaskan emisi tahunan mencapai 190 juta to CO2-Eq. Secara global, rusaknya hutan mangrove Indonesia menyumbang 42% emisi global tahunan dari rusaknya ekosistem pesisir. Merusak mangrove dan gambut Indonesia sejatinya adalah menyebabkan hilangnya potensi ekonomi hijau dan meningkatkan biaya untuk keperluan rehabilitasi.

Indonesia adalah negara super power di bidang penanggulangan perubahan iklim” (Alok Sharma, President Designate 26th UN Climate Change CoP 26). Indonesia telah menunjukan Langkah kepemimpinan global dalam pengelolaan lahan basah, termasuk moratorium pemberian izin baru untuk pembukaan lahan di hutan alam dan lahan gambut, yang dianggap dapat menyelamatkan hutan alam dan lahan gambut seluas negara Perancis, atau sekitar 66,2 juta hektar dari kerusakan. Pemerintah Indonesia juga telah membentuk institusi khusus yang menangani restorasi gambut, dan kemudian disusul dengan restorasi mangrove. Dalam aksi nyata, keputusan untuk melakukan restorasi 600.000 hektar hutan mangrove menyertai kebijakan untuk melakukan Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim yang diselaraskan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Melalui ASTA CITA, yang merupakan visi dan misi yang diusung oleh pasangan presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam kampanye pemilihan umum 2024, lahan basah selayaknya menjadi penopang, karena terdapat keterkaitan langsung ataupun tidak langsung dengan masing-masing CITA maupun 17 Program Prioritas. Dalam dokumen ASTA CITA, terdapat beberapa poin yang terkait dengan konservasi alam dan pengelolaan lingkungan, termasuk lahan basah.

ASTA CITA 1. Memperkokoh Ideologi Pancasila, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Asta Cita 1 mencakup perlindungan lingkungan dan keanekaragaman hayati, termasuk lahan basah, sebagai bagian dari aset bangsa yang harus dilindungi.

ASTA CITA 2. Memantapkan Sistem Pertahanan Keamanan Negara dan Mendorong Kemandirian Bangsa melalui Swasembada Pangan, Energi, Air, Ekonomi Kreatif, Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru.

Kelompok kerja land subsidence yang dikoordinir oleh Kemenkomarves menunjukan telah terjadinya amblesan tanah yang mengkhawatirkan di beberapa wilayah pesisir Indonesia. Bergeser dan berkurangnya wilayah pesisir dapat secara langsung mengancam sitem pertahanan negara akibat semakin terbukanya ruang wilayah NKRI. Penanganan jangka panjang melalui pendekatan solusi berbasis alam, di wilayah lahan basah, dapat meminimalisir ancaman tersebut.

Konservasi lahan basah yang masih relatif utuh serta restorasi lahan basah yang telah mengalami kerusakan sangat mendukung pemenuhan Asta Cita 2 terkait swasembada pangan, energi hijau dan air, dikaitkan dengan fungsi ekologis dari gambut dan mangrove. Lahan basah yang dikelola dengan baik akan memberikan kesempatan untuk pengembangan ekonomi kreatif dan ekonomi hijau. Khusus untuk mangrove yang memiliki kapasitas mitigasi yang tinggi, potensi ekosistem karbon biru dalam bentuk abatement cost yang disesuaikan dengan sistem perdagangan karbon Uni Eropa adalah sekitar USD 3 Milyar per tahun.

Pengembangan Hutan Tanaman Energi (HTE) sebagai sumber utama energi nabati atau biodiesel hendaknya mempertimbangkan kelestarian tutupan hutan dan fungsi ekologis lahan gambut, sebagai bagian strategi besar pengembangan ekonomi hijau serta tujuan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim, maupun tujuan pembangunan berkelanjutan yang telah diadopsi Indonesia.

ASTA CITA 3. Meningkatkan Lapangan Kerja yang Berkualitas, mendorong Kewirausahaan, mengembangkan Industri Kreatif, dan melanjutkan pengembangan Infrastruktur.

Dokumen Strategi Nasional Pengelolaan Lahan Basah: Ekosistem Gambut dan Mangrove, yang dikaitkan dengan Target Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim, menekankan target rehabilitasi mangrove 23,32 ribu hektar (2022-2024) hingga 245,10 ribu hektar pada tahun 2045. Target restorasi gambut seluas 1,05 juta hektar (2022-2024) hingga 3,44 juta hektar (2022-2024) dan dipertahankan hingga tahun 2045. Melalui pelaksanaan rehabilitasi mangrove dan gambut yang sepenuhnya melibatkan Masyarakat, maka kegiatan tersebut dapat menciptakan lapangan kerja baru pada saat pekerjaan rehabilitasi, dan kemudian dilanjutkan di sektor pariwisata dan industri pengelolaan lingkungan kreatif ketika ekosistem mangrove dan gambut dapat dikembangkan lebih lanjut. Ekosistem mangrove yang terjaga baik di wilayah pesisir dapat memberikan perlindungan berbasis alam bagi infrastruktur di wilayah pesisir, seperti Pelabuhan yang menjadi basis transportasi tol laut.

ASTA CITA 4. Memperkuat Pembangunan Sumber Daya Manusia, Sains, Teknologi, Pendidikan, Kesehatan, Prestasi Olah Raga, Kesetaraan Gender, serta Penguatan Peran Perempuan, Pemuda dan Penyandang Disabilitas.

Program konservasi dan restorasi lahan basah yang melibatkan Masyarakat akan membutuhkan sumber daya manusia dan pengetahuan yang mumpuni. Program sejenis dalam pelaksanaannya akan melibatkan kegiatan peningkatan kapasitas dan pengetahuan Masyarakat dengan memberikan prioritas pelibatan peran Perempuan, Pemuda dan Penyandang disabilitas serta sangat memperhatikan kesetaraan gender.

ASTA CITA 5. Melanjutkan Hilirisasi dan Industrialisasi untuk Meningkatkan Nilai Tambah di Dalam Negeri.

Pengembangan hilirisasi dan industrialisasi harus dipadukan dalam kerangka besar strategi pengembangan industri hijau dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan serta meyakinkan keterlibatan masyarakat lokal, sehingga manfaat besar juga dirasakan untuk pembangunan setempat. Konsep poluter-pay principle dan payment for environment service, terutama di lahan basah, harus diterapkan untuk menjamin keberlanjutan manfaat jangka panjang sumber daya alam, tidak hanya untuk masyarakat sekitar tetapi juga untuk keberlangsungan usaha ekonomi perusahaan. Dengan demikian, pendapatan negara dapat terjamin, digunakan sebesar-besarnya untuk pembangunan yang menguntungkan masyarakat.

ASTA CITA 6. Membangun dari Desa dan dari Bawah untuk Pemerataan Ekonomi dan Pemberantasan Kemiskinan.

Pengelolaan lahan basah, mangrove dan gambut, yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat sangat selaras dengan Asta Cita 6, dilakukan dengan melibatkan masyarakat adat, masyarakat sekitar kawasan, pemerintah daerah, akademisi, maupun pihak swasta. Misalnya program perlindungan dan rehabilitasi lahan basah dengan skema Public Private People Partnership (PPPP), sehingga manfaat terbesar akan dirasakan oleh masyarakat yang hidup di sekitar lokasi kegiatan.

ASTA CITA 7. Memperkuat Reformasi Politik, Hukum, dan Birokrasi, serta Memperkuat Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dan Narkoba.

Konservasi dan restorasi alam, termasuk lahan basah, membutuhkan dukungan politik, hukum, birokrasi dan kebijakan yang bervisi integratif, menjangkau kedepan dan berpihak kepada keberlanjutan. Kebijakan yang diarahkan untuk memberikan kejelasan pengelolaan (termasuk kewenangan) akan sangat mendukung tata kelola baik (good governance) dalam pengelolaan alam. Dalam hal perlindungan jenis-jenis satwa dan tumbuhan, prinsip “semua dilindungi kecuali yang tidak perlu dilindungi” akan sangat membantu penanganan dan pembiayaan kasus lingkungan hidup. Dalam hal ini, diperlukan pembuktian yang terbalik, dimana pihak yang akan melakukan pemanfaatan sumber daya hidupan liar diharuskan untuk meyakinkan  bahwa usulannya tidak akan memberikan pengaruh buruk untuk pelestarian alam.

Indonesia telah meluncurkan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia atau Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2025-2045. Konservasi dan restorasi lahan basah merupakan komponen penting dalam mewujudkan target-target IBSAP serta memastikan bahwa keanekaragaman hayati dihargai, dilestarikan, dipulihkan, dan digunakan secara bijaksana.  Diperlukan penegakkan hukum yang tegas terhadap pelanggaran lingkungan, termasuk kebakaran hutan, pembalakan liar, dan pertambangan yang merusak ekologi.

ASTA CITA 8. Memperkuat Penyelarasan Kehidupan yang Harmonis dengan Lingkungan Alam dan Budaya, Peningkatan Toleransi antar Umat Beragama untuk Mencapai Masyarakat yang Adil dan Makmur.

Pengelolaan lahan basah berbasis masyarakat menuntut keterlibatan penuh masyarakat, dan membuka ruang terbuka untuk penerapan kearifan lokal yang ditunjang oleh sains dan pengetahuan ilmiah.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, kami mengusulkan:

  1. Dalam penyusunan Kabinet, menunjuk pejabat setingkat Menteri yang memiliki wewenang dan mandat untuk mengkoordinir dan melakukan pengelolaan ekosistem lahan basah, khususnya mangrove dan gambut. Lembaga khusus yang menangani pengelolaan/restorasi gambut dan mangrove hendaknya terus dipertahankan;
  2. Untuk memperkuat koordinasi dan pelaksanaan pengelolaan dan restorasi mangrove, dalam 100 hari pertama program kerja Kabinet, dilakukan pengesahan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove
  3. Strategi Nasional Pengelolaan Lahan Basah: Ekosistem Gambut dan Mangrove (yang telah disusun dengan Koordinasi oleh Kementerian PPN/Bappenas) diinternalisasikan kedalam RPJPN 2025-2045 dan RPJMN 2025-2029;
  4. Kelompok Kerja Land Subsidence dibawah koordinasi Kemenkomarves dipertahankan dan diperkuat dengan memperoleh payung hukum setingkat Perpres.

Penulis :

Yus Rusila Noor

Head of Office

Wetlands International Indonesia/Yayasan Lahan Basah (YLBA)
Jl. Bango No. 11 Bogor 16161

Nara Hubung:

Yus Rusila Noor
Direktur
[email protected]
08128289379

Ragil Satriyo Gumilang
Policy Officer
[email protected]
085326647106