Straight to content

Siaran Pers Webinar : Mendorong Percepatan Kebijakan dan Praktik Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Ekosistem (Eco-DRR) di Ekosistem Gambut

Published on:
  • Konservasi dan restorasi lahan gambut
  • Penggunaan lahan berkelanjutan

Rabu, 13-14 Oktober 2021. Gambut merupakan lahan yang unik dimana kondisinya harus selalu basah dan tergenang air, oleh karenanya ‘drainase’ adalah sesuatu yang sangat dihindarkan dalam pengelolaan gambut secara berkelanjutan. Lahan gambut yang dikeringkan akan  menyebabkan konsekuensi penting terhadap dampak sosial maupun ekonomi. Gambut kering akan mudah teroksidasi sehingga karbon akan terlepas secara terus menerus ke atmosfer dalam bentuk CO2,  pada akhirnya memberikan kontribusi terhadap perubahan iklim. Gambut kering juga sangat rentan terbakar, pengalaman buruk telah membuktikan bahwa kebakaran gambut telah menghancurkan jutaan hektar lahan, kabut asapnya mengganggu kesehatan masyarakat bahkan berdampak luar biasa bagi perekonomian nasional maupun regional. Dampak lain yang dialami lahan gambut jika dikeringkan adalah terjadinya penurunan muka tanah (land subsiden)  hingga di bawah permukaan sungai atau laut, sehingga lahan menjadi tergenang dan banjir di saat curah hujan tinggi atau air sungai meluap.

Pemerintah sebagai pemegang mandat dan otoritas dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk lahan  gambut, berkomitmen untuk terus melakukan berbagai upaya rehabilitasi dan restorasi gambut. Selain ditujukan untuk pengurangan risiko bencana, restorasi gambut juga memegang peranan penting dalam proses  pembangunan secara berkelanjutan dalam konteks luasnya. Beberapa praktik baik telah dilakukan oleh pemerintah dan juga berbagai pihak dalam konteks pengurangan risiko bencana. Sebagai upaya untuk diseminasi informasi dan untuk mendorong replikasi praktik-praktik baik tersebut dalam rangka pencapaian target restorasi dan keberanjutannya di Indonesia, Pemerintah RI melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Badan Nasional  Penanggulangan Bencana (BNPB), telah berkolaborasi menyelenggarakan kegiatan webinar dan workhsop nasional guna mendorong percepatan kebijakan pengurangan risiko bencana berbasis ekosistem (Eco-DRR), pada tanggal 13-14 Oktober 2021 (Rabu dan Kamis). Penyelenggaraaan juga melibatkan Yayasan Lahan Basah (YLBA), sebagai salah satu LSM yang bergerak dalam bidang perlindungan lahan basah di Indonesia, dan  Fakultas Geografi, Universitas Gajah Mada (UGM).

Kolaborasi antar lembaga dan para pihak sangat penting karena pengurangan risiko bencana mencakup tiga  elemen dasar, yaitu lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi. “Kita memerlukan kolaborasi efektif, tidak hanya  dikerjakan pemerintah pusat saja tapi juga perlu melibatkan pemerintah daerah dan pemerintah desa, LSM, maupun masyarakat,” ungkap Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRGM, Myrna Safitri.

Ditambahkannya, upaya pengurangan risiko bencana melalui restorasi gambut, harus masuk dalam wacana besar ketika pelaksanaan pembangunan. “Kami belajar banyak dari pengalaman jatuh bangun selama 5 tahun terakhir untuk mengupayakan agar kegiatan restorasi gambut menyelaraskan ekonomi dan sosial hingga di tingkat tapak,” katanya. Myrna menambahkan bahwa inisiatif-inisiatif dalam   restorasi gambut, harus manageable dan compatible dengan instrument dan program pembangunan yang ada dengan belajar dari apa yang sudah dilakukan dan mengoptimalkan existing policy.

Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut KLHK, Budi Susanti mengatakan hal yang sama bahwa kegiatan restorasi gambut dalam pengurangan risiko bencana mustahil dapat dikerjakan sendiri, diperlukan sinergi dan kolaborasi dari berbagai pihak, apalagi mengingat negara Indonesia memiliki ekosistem gambut yang  sangat luas, bahkan terluas ke-4 di dunia setelah Kanada, Rusia, dan Amerika Serikat. Budi Susanti menyebutkan bahwa keberhasilan pemulihan ekosistem gambut berperan penting dalam upaya pengendalian karhutla.  Pemerintah saat ini telah menetapkan PP No. 60/2019 yang diturunkan melalu Permenlhk No. 246/2020 tentang Rencana Perlindungan Pemeliharaan Ekosistem Gambut (RPPEG) Nasional. Dokumen ini selanjutnya mewajibkan pemerintah daerah untuk menyusun RPPEG yang menjadi dasar penyusunan RPPLH di daerah dan dimasukan kedalam rencana pembangunan di daerah. Saat ini sudah ada 19 provinsi yang medapatkan supervisi dan pelatihan, satu diantaranya telah ditetapkan yakni RPPEG Prov. Kalteng dan Kotawaringin Barat untuk level Kabupaten. Pemerintah juga sedang mengembangkan SIPPEG (Sistem Informasi Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut) sebagai platform data dan informasi gambut terintegrasi.

Hampir 70% ekosistem gambut berada di Kawasan non konsesi, hal ini menjadi tantangan sendiri, dimana kegiatan restorasi perlu dinternalisasikan ke dalam rencana pembangunan hingga ditingkat desa dan melibatkan masyarakat sebagai subyek utamanya. BRGM sejauh ini telah melakukan pendekatan restorasi gambut Desa Mandiri Peduli Gambut (DMPG) dengan Pendekatan Restorasi Gambut berbasis Desa di atas luasan 4,6 juta lahan gambut yang meilbatkan 640 desa peduli gambut hingga tahun 2020. Tahun 2021, BRGM mengembangkan konsep desa mandiri peduli gambut di 101 desa. Saat ini BRGM tengah mengembangkan Indeks Desa Peduli Gambut sebagai suatu mekanisme pengukurun keberhasilan pengembangan DMPG di Indonesia. Muhammad Yusuf, Kepala Kelompok Kerja Partisipasi dan Kemitraan BRGM menyampaikan beberapa pembelajaran yang diperoleh dari pengembangan DMPG diantaranya pentingnya pendampingan, internalisasi RPPEG ke dalam rencana pembangunan desa dan pelibatan stakeholder di daerah, pengembangan kawasan perdesaan, pengembangan mini demplot dan BUMDes.

Di sisi lain, Direktur Mitigasi Bencana, BNPB, Taufik Kartiko menambahkan untuk mewujudkan pelestarian alam, mencegah bencana kebakaran hutan dan lahan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dibutuhkan kegiatan pelatihan edukasi dan evaluasi, diantaranya dengan membentuk program Sekolah Lapang. Melalui  Sekolah Lapang diharapkan perilaku masyarakat akan berubah dari dari pemanfaatkan lahan gambut dengan membakar menjadi pemanfaatan tanpa bakar.

“Jadi prinsip mitigasi karhutla adalah mengedepankan sisi edukatif, kolaboratif pentahelix, sederhana, aplikatif, meningkatkan ekonomi, memberdayakan budaya lokal, keberlanjutan dan kemandirian,” katanya.

Sementara itu, Vernando Aruan, Community Development Specialist, YLBA, mempresentasikan salah satu praktik baik restorasi gambut yang dipadukan dengan mitigasi bencana bersama dengan 35 kelompok masyarakat di Tapanuli Selatan. Kegiatan ini merupakan dua program yang dilaksanakan secara berdampingan, masing-masing didanai oleh European Union dan IKI Germany. Beberapa hal yang menarik dari praktik baik ini adalah penggunaan material sekat kanal yang menggunakan batang pinang, tanaman asli setempat, dan integrasi rewetting dengan livelihood melalui pengembangan aquaculture pada kanal-kanal yang disekat. Selain itu, pada program ini, kegiatan revegetasi yang dilakukan dengan menanam tanaman asli gambut setempat seperti Pakkat (sejenis rotan). Kegiatan ini dilaksanakan dengan mekanisme Bio-Rights atau pinjaman bersyarat yang diberikan kepada kelompok. Selama hampir setahun berjalan, pinjaman ini digunakan masyarakat untuk mengembangkan mata pencaharian alternatif yang memberikan tambahan penghasilan masyarakat sekitar 300-400 ribu rupiah per bulannya untuk setiap KK. Mekanisme ini berjalan dengan baik dan terbukti mendorong swadaya masyarakat dalam mencegah kejadian karhutla. Masyarakat secara aktif melakukan patroli karhutla dan membangun 11 tower pemantau karhutla dan 29 embung secara swadaya.

Eco-DRR bukan merupakan hal yang baru. Syarifah Dalimuthe, peneliti kluster ekologi BRIN menyebutkan bahwa konsep ini sudah muncul dari tahun 2000-an, dan mulai meningkat sejak bencana tsunami di tahun 2004. Namun studi di lahan gambut masih sangat sedikit hingga mulai naik di tahun 2019. Dari hasil studi, empat konsep yang harus dikuatkan dalam upaya pengarusutamanaan Eco-DRR diantaranya tata ruang, pendanaan, peraturan pendukung, dan livelihood.” Penguatan keterlibatan dan sustainable livelihood menjadi kunci dalam implementasi Eco-DRR oleh masyarakat,” pungkasnya.

Acara Webinar Eco-DRR terbuka untuk umum dan diikuti  setidaknya oleh 250 orang peserta. Sementara itu, kegiatan workshop keesokan harinya diikuti oleh 67 peserta dari wilayah Kalimantan dan Sumatra. Kegiatan workshop telah menghasilkan beberapa strategi tindak lanjut antara lain:

Nasional :

  1. Memasukkan parameter kegiatan restorasi gambut dan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) ekosistem gambut sebagai prioritas penggunaan dana desa tahun 2023,
  2. Penyempurnaan pedoman/modul integrasi restorasi gambut dan PRB pada ekosistem gambut,
  3. Membuat/memperbarui pedoman pendampingan desa untuk proses pengarusutamaan kedalam pembangunan,
  4. Pembentukan KHG Model terkait restorasi dan PRB pada ekosistem gambut,
  5. Mengidentifikasi dan menjajaki peluang kerja sama dengan stakeholder untuk pendanaan restorasi dan PRB pada ekosistem gambut.

Daerah

  1. Memperkuat kesadaran dan kapasitas aparat desa sehingga memiliki kesepahaman dalam perencanaan pembangunan desa, penganggaran dan penggunaan dana desa khususnya terkait restorasi dan PRB di lahan gambut,
  2. Mengalokasikan anggaran untuk pendamping/fasilitator desa dan proses peningkatan kapasitasnya,
  3. Mendorong pembentukan kawasan perdesaan lengkap dengan peraturan antar desa untuk meningkatkan kerja sama,
  4. Memastikan sinergi RTRW antar desa dan dengan kawasan administrative yang lebih luas,
  5. Meningkatkan frekuensi sosialisasi dan pengembangan BUMDES,
  6. Memberdayakan pemuda/kaum milenial,
  7. Peningkatan kesadaran dan kapasitas masyarakat melalui sosialisasi dan edukasi,
  8. Pengalokasian dana untuk pembangunan infrastruktur pembasahan gambut, pemetaan daerah rawan bencana, kontijensi penanganan kabut asap dan penelitian,
  9. Penyesuaian pelaksanaan kegiatan dengan kondisi iklim/cuaca, pengadaan alat dan transportasi pendukung,
  10. Pembentukan demplot,
  11. Percepatan RPPEG Provinsi sebagai panduan dan pedoman dalam pengelolaan ekosistem gambut di daerah,
  12. Peningkatan peran serta sektor swasta dalam melaksanakan sinergi restorasi gambut dalam satu kawasan KHG tertentu,
  13. Meningkatkan kolaborasi dengan pihak universitas dan memasukan Desa Gambut ke dalam Program Desa Laboratorium Terpadu,
  14. Mengidentifikasi stakeholder khususnya dari lembaga usaha untuk mengembangkan mekanisme match making (persoalan pendanaan dan pemasaran) dan kerja sama kolaborasi pentahelix.

 

Nara Hubung :
Susan Lusiana, Programme Coordinator Risk Management & Resilience, Yayasan Lahan Basah.
WA. 081286604246/[email protected]

Link recording webinar:
https://www.youtube.com/watch?v=fy5FojddzQQ

Materi:
https://bit.ly/materiwebinarecodrr