Straight to content

Paludikultur : Praktik Lama yang Terlupakan

Published on:
  • Penggunaan lahan berkelanjutan

Paludikultur  bukanlah konsep baru dalam hal pengelolaan gambut di Indonesia. Hal inilah yang disampaikan Dr. Haris Gunawan, Deputi Bidang Penelitian dan Pengembangan Badan Restorasi Gambut (BRG) dalam pidato kunci yang disampaikannya pada Webinar yang bertajuk Riset, inovasi dan strategi Pengembangan Paludikultur, yang diselenggarakan oleh PaludiFor dan Yayasan Lahan Basah  pada Kamis, 9 Juli 2020. Mengawali pidato, Haris menyatakan bahwa nenek moyang kita sebenarnya telah mempraktikkan prinsip paludikultur dalam menjalankan kegiatan budidaya di lahan gambut, terutama pada daerah bergambut di Sumatera dan Kalimantan. Haris menekankan bahwa budidaya pada lahan gambut harus benar-benar memahami karakteristik gambut, yakni berada dalam kondisi basah dengan tinggi muka air (TMA) harus lebih tinggi dari -0.4 m sepanjang tahun. Pembentukan dan akumulasi gambut hanya dapat terjadi pada kondisi air berlebih atau jenuh. Hingga saat ini, BRG telah mengidentifikasi spesies potensial, nilai keekonomian komoditas, serta melakukan berbagai penelitian atau uji coba di lapangan. Minimal terdapat tiga faktor penting paludikultur dapat lebih dikembangkan di Indonesia yaitu partisipasi masyarakat, keterlibatan sektor swasta/dunia usaha, dan kebijakan penataan ulang lanskap ekosistem gambut yang bersinergi. Sebagai upaya untuk mendukung pengembangan paludikultur dalam skala Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), BRG telah memantau Tinggi Muka Air (TMA) secara real time, dengan 152 alat di seluruh Indonesia, dan tambahan 15 alat lainnya  di tahun 2020 ini.

Sesi presentasi dibuka oleh Ir. Bastoni M.Si  sebagai peneliti di Balai Litbang LHK Palembang yang juga menjadi anggota Tim Ahli TRGD Sumatera Selatan. Bastoni membagi kondisi hidrologi gambut menjadi 3 bagian, yakni gambut yang tergenang sepanjang tahun, gambut yang tergenang selama musim hujan dan gambut yang sudah kering. Paludikultur bisa dilakukan secara langsung pada kondisi gambut tergenang. Kondisi genangan ini menjadi faktor pembatas bagi tanaman tertentu, namun juga menjadi peluang untuk kegiatan perikanan. Dalam kondisi demikian, agrosilvofishery merupakan  bentuk adaptasi dan integrasi sumber daya dan budidaya pertanian, kehutanan, dan perikanan yang menerapkan prinsip-prinsip paludikultur. Bastoni juga menekankan bahwa agrosilvofishery  hanya dapat diimplementasikan pada areal dengan fungsi budidaya  dengan  kedalaman gambut < 300 cm. Hasil produksi dari pilot model agrosilvofishery  di Provinsi Sumatera Selatan menunjukkan hasil yang cukup baik dan prospektif. Setidaknya terdapat 6 jenis tanaman hortikultura adaptif genangan yang dibudidayakan, di mana cabai keriting merupakan tanaman dengan benefit cost ratio yang paling tinggi (3.3). Untuk  tanaman kehutanan terdapat Shorea balangeran yang mencapai penambahan diameter  hingga 3.15 cm/tahun dan dari sisi perikanan terdapat 13 jenis ikan lokal yang dibudidayakan dan terselamatkan dari kepunahan.

Berkaca dari munculnya aktivitas ekonomi kreatif saat ini, panelis kedua membahas tema strategi pengembangan ekonomi kreatif lahan rawa gambut berbasis paludikultur. Marinus Kristiadi Harun, S.Hut, M.Si,  Peneliti Balai Litbang LHK Banjarbaru menekankan bahwa untuk mendorong kegiatan ekonomi  masyarakat berbasis paludikultur,  peran BUMDES menjadi sangat penting di mana Green Circular Economy Concept harus diterapkan.  Membuat masyarakat memahami kondisi sekitarnya dan mendorong keberdayaan dan kemandirian secara lokal, menjadi kunci utama konsep ini. Marinus mencontohkan berbagai ide kreatif pengembangan paludikultur oleh masyarakat,  seperti peternakan bebek/kambing/sapi secara terpadu, pemanfaatan limbah organik untuk menjadi pupuk organik dan compost block, budidaya lebah, burung walet, ikan hias, pembuatan silase,  pemanfaatan serat nanas, pembuatan pelet ikan dan  albumin dari ikan rawa.  Konsep kreatif lainnya yaitu pemanfaatan purun sebagai bahan anyaman, sedotan, dan bahan makanan, pemanfaatan teratai untuk bahan tepung dan bahan piring ramah lingkungan, hingga ekowisata kunang-kunang, dan susur sungai.

Pada Sesi terakhir, Varih Sovy, dari Winrock International membagikan pengalaman dalam mendorong paludikultur untuk ketahanan dan kedaulatan pangan. Hasil kegiatan dan asesmen di lapangan menunjukkan bahwa pada level rumah tangga, tanaman paludikultur sagu hingga pengolahan menjadi tepung basah secara ekonomi mampu berkompetisi dengan sawit.  Hal ini menjadi peluang untuk menjadikan tanaman paludikultur sebagai alternatif sumber pangan nasional. Namun demikian, persoalan regulasi dan kesiapan teknis di lapangan perlu menjadi perhatian. Transformasi digital, baik monitoring budidaya paludikultur maupun akses pasar, perlu dilakukan dan dikembangkan bersama.

Webinar ini diikuti oleh 216 peserta yang berasal dari berbagai institusi baik pemerintah, peneliti, pelaku usaha, LSM dan mahasiswa/pelajar. Menutup acara, Harris menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat, sektor swasta, dan  intervensi kebijakan penataan ulang lahan gambut yang sinergi diperlukan dalam mendorong paludikultur di Indonesia.  “Mari kita mengurangi pengurasan volume air gambut ini, kalau kita tidak lakukan, (maka kita) akan berhadapan dengan situasi yang lebih buruk, (dan tentunya) tidak memberikan ruang untuk budidaya di lahan gambut basah”, pungkasnya.

Narahubung :
  • Dr. Agus Tampubolon (Ketua PaludiFor, Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan Pengembangan dan Inovasi, KLHK). Email: [email protected]
  • Iwan Tri Cahyo Wibisono (Sekretaris PaludiFor, Yayasan Lahan Basah/Wetlands International Indonesia). Email: [email protected]
  • Susan Lusiana (Anggota PaludiFor, Yayasan Lahan Basah/Wetlands International Indonesia). Email: [email protected],HP/WA: 081286604246
Tautan Referensi Pendukung:

Paludikultur: Praktik Lama yang Terlupakan