Paludikultur: karena cerita pilu di lahan gambut tak mau terulang lagi
-
Mitigasi Iklim dan Adaptasi
-
Penggunaan lahan berkelanjutan
Kebakaran hutan dan lahan, atau biasa disebut Karhutla, khususnya di lahan gambut, telah menjadi cerita pilu Indonesia setidaknya sejak tiga dasawarsa terakhir. Kebakaran di lahan gambut telah menjadi perhatian internasional, bukan hanya karena dampak langsungnya yang dirasakan oleh masyarakat akibat paparan asap, tetapi lebih jauh adalah akibat lingkungan yang ditimbulkan berupa emisi gas rumah kaca, kehilangan keanekaragaman hayati dan hilangnya sumber pangan dan penghasilan masyarakat setempat.
Dalam kondisi alaminya, gambut menyediakan berbagai jasa lingkungan penting bagi kehidupan manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Gambut merupakan penyimpan air yang sangat efektif ketika musim basah, dan kemudian melepaskannya pada musim kemarau. Secara alami gambut berada dalam kondisi yang tergenang air. Gambut juga menjadi sumber kehidupan dan mata penghidupan masyarakat karena menyediakan bahan makanan, sumber enerji, bahan bangunan dan obat-obatan. Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan, gambut diketahui berperan penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim karena mampu menyimpan karbon dalam jumlah yang berlipat dibandingkan dengan jenis ekosistem lainnya.
Permasalahan mulai muncul ketika ada upaya untuk mengkonversi lahan gambut menjadi peruntukan lain melalui proses pengeringan/drainase. Hal ini akan menyebabkan teremisikannya karbon bawah permukaan ke udara. Dalam kondisi yang lebih kering, gambut kemudian akan lebih mudah terbakar, dan cerita pilu Indonesia kembali terulang dari tahun ke tahun. Dampak jangka panjangpun seolah mengintip, terjadi amblesan lahan, sehingga berpotensi untuk terjadi banjir. Untuk menghentikan kerusakan gambut yang lebih parah dan terus menerus, maka diperlukan perubahan mendasar pola pengelolaan gambut, tanpa melibatkan, atau setidaknya meminimalisir proses drainase. Paludikultur adalah salah satu pilihan pengelolaan yang dianjurkan. Istilah Paludikultur mengacu kepada budidaya tanaman asli/lokal di lahan rawa (termasuk lahan gambut) yang basah atau dibasahi, tanpa mengganggu kelestarian ekosistem, dan membantu pemulihan dan pelestarian lingkungan, peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di dan sekitar lahan gambut.
Mengingat prospek cerah pendekatan Paludikultur untuk memanfaatkan lahan gambut secara bijaksana dan berkelanjutan serta mengurangi permasalahan yang ada di lahan gambut saat ini, para pihak dari institusi pemerintah, ilmuwan, praktisi, akademisi, lembaga non-pemerintah, swasta dan perorangan telah bersepakat untuk membentuk Forum Paludikultur di Indonesia. Pembentukan dilakukan pada tahun 2019 di Bogor. ”Forum Paludikultur atau Paludifor adalah suatu platform multipihak yang dapat membantu penyediaan data-informasi tentang paludikultur dan memfasilitasi komunikasi dan koordinasi para pihak sebagai upaya dalam memperbaiki tata kelola lahan gambut”, ungkap Agus Tampubolon, Ketua Forum Paludikultur. Lebih jauh, Hany Setiawan, S.Hut., M.Si., Plh. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyebutkan, “Beberapa kendala dan tantangan dalam pengembangan komoditas asli gambut antara lain ketersediaan bibit unggul, kapasitas teknis, pemasaran dan kebijakan”. “Paludikultur adalah salah satu kesempatan Indonesia untuk memperbaiki pola pengelolaan lahan gambut yang sesuai dengan kharakteristik gambut itu sendiri”, tegas I Nyoman Suryadiputra, Pimpinan Yayasan Lahan Basah (YLBA).
Tantangan tersebut kemudian menjadi tidak seberapa jika dibandingkan dengan kerugian ekologis dan ekonomis yang telah dialami selama ini. Karenanya diperlukan adanya kesempatan untuk saling bertukar pikiran dan pengalaman mengenai pemanfaatan Paludikultur secara nyata di Indonesia, termasuk mengembangkan sisi investasi bisnis komoditas asli gambut secara berkelanjutan. Karena Indonesia tak ingin berita pilu di lahan dan hutan gambut kembali terulang.