Rilis Pers : Perayaan Hari Lahan Basah Sedunia Tahun 2018 di Indonesia – Lahan Basah bagi Masa Depan Wilayah Perkotaan yang Berkelanjutan
Bogor, 28 Februari 2018
Setengah dari jumlah penduduk bumi, yaitu sekitar 4 milyar orang, tinggal di wilayah perkotaan. Pada rentang 35 tahun ke depan diperkirakan akan terus meningkat hingga 66 % atau sebesar 2.4 % per tahun. Di sisi lain, berbagai fakta menyebutkan bahwa kualitas dan kuantitas lahan basah pun terus menurun, tak terkecuali di wilayah perkotaan.
Dalam kurun waktu seratus tahun terakhir, lebih dari 60 % lahan basah dunia telah hilang dan beralih fungsi. Lahan basah ini meliputi daerah-daerah rawa payau, lahan gambut, dan perairan, baik alami atau buatan, termasuk di dalamnya adalah danau, sungai, waduk/bendungan, sawah dan tambak.
Kondisi tersebut tidak terlalu berbeda jauh dengan laju pertumbuhan penduduk dan penurunan luas lahan basah di beberapa wilayah perkotaan di Indonesia, sebagai contoh di Kota Bogor. Laju pertumbuhan penduduk Kota Bogor mencapai 2.38 % per tahun pada kurun waktu 2000-2010. Sedangkan areal lahan basah jenis situ di Kota Bogor telah mengalami penurunan luas rata-rata sebesar 29 % pada kurun waktu 10 tahun. Tujuh situ di Kota Bogor tersebut yaitu: Situ Panjang, Situ Gede, Situ Leutik, Situ Curug, Situ Anggalena, Danau Bogor Raya, dan Danau Kebun Raya. Begitu juga areal persawahan irigasi di Kota Bogor, luasnya menurun lebih dari setengah luas totalnya atau 57.2 % pada rentang 2013 hingga 2016.
Dalam kesempatan tersebut, Nyoman Suryadiputra, Direktur Wetlands International Indonesia, menyatakan keprihatinannya tentang semakin berkurangnya lahan basah di Indonesia, terutama di Bogor. “Kita harus benar-benar menjaga jangan sampai situ ini dialihfungsikan, karena jumlahnya di Jawa Barat, terutama di Bogor, sedikit. Kalau situ di Bogor hilang atau rusak, maka banjir Jakarta akan semakin parah. Karena saat ini air yang masuk ke Jakarta lewat Ciliwung, Citarum, dan sebagainya, bermuaranya ke Teluk Jakarta. Situ-situ di Bogor ini berfungsi seperti rem, sebelum air dialirkan terus ke sungai besar, ditahan dulu di situ-situ ini.” Fenomena ini selaras dengan fakta bahwa kota Bogor berfungsi sebagai daerah penyangga bagi Jakarta. Meskipun juga harus diakui bahwa banjir di Jakarta merupakan akibat dari berbagai permasalahan yang rumit dan saling berkaitan satu dengan lainnya. Selain sebab limpasan air hujan yang tidak tertata dan buruknya sistem drainase, isu subsidensi (penurunan muka tanah) yang saat ini sedang mengemuka juga disinyalir menjadi penyebab semakin sering dan parahnya banjir di Jakarta.
Adalah sebuah keniscayaan bahwa pertambahan jumlah penduduk akan meningkatkan kebutuhan akan ruang dan lahan. Hal tersebut salah satunya akan berimbas pada konversi atau alih fungsi lahan basah menjadi pemukiman dan fungsi-fungsi lainnya. Pada lahan basah seperti situ, kondisinya diperparah oleh pendangkalan akibat endapan lumpur hasil sedimentasi, ditambah limbah padat sampah organik yang bersumber dari akumulasi limbah rumah tangga dan industri yang terbawa oleh limpasan air. Sementara itu, Camat Bogor Barat, Pupung W. Purnama, mengemukakan kendala yang dihadapi dalam mempertahankan keberadaan lahan basah di wilayahnya, “Kami menghadapi kendala karena wilayah Bogor Barat ini terutama fungsinya adalah lahan pertanian, sawah, yang juga adalah lahan basah. Akan tetapi kepemilikan sawah itu sebagian besar adalah milik pribadi, sehingga ketika dirasa sudah tidak produktif, maka pemiliknya ingin mengalihfungsikan. Oleh karena itu, kami rasa sangat relevan jika isu lahan basah ini juga dimasukkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota”.
Pernyataan Camat Bogor Barat tersebut dirasa sangat relevan, mengingat pentingnya keberadaan lahan basah untuk mendukung fungsi ekonomi, sosial, dan ekologi, baik di wilayah perkotaan maupun wilayah lainnya, sehingga perlu upaya yang lebih serius dan terintegrasi dari berbagai pihak untuk mempertahankan dan melestarikan keberadaannya. Oleh karena, situ merupakan suatu sumber daya air permukaan yang menjadi bagian dari sistem tata air di wilayahnya serta memiliki potensi sebagai sumber air baku, pengendali banjir, irigasi, perikanan maupun pariwisata. Fungsi-fungsi tersebut saling terkait dengan keberadaan lahan basah dan vegetasi di sekitarnya, seperti persawahan dan hutan, serta dalam bentang alam Daerah Aliran Sungai dari hulu hingga hilir.
Di dalam paparannya, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Krisfianti L. Ginoga, menjelaskan bahwa kawasan Hutan Penelitian Dramaga merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari Situ Gede. Sebagai salah satu dari sedikit situ yang ada di Bogor, maka tujuan pengelolaan kawasan Situ Gede-Hutan Penelitian Dramaga adalah untuk mengembangkan potensi sumber daya hutan, mengembangkan parent stock, menjadi pusat alih teknologi, serta dipersiapkan menuju perwujudan menjadi taman hutan raya bertaraf internasional. Di samping itu, kawasan Situ Gede-Hutan Penelitian Dramaga juga dilindungi dan dikelola secara lestari dengan tujuan untuk meningkatkan fungsi hutan, di antaranya sebagai kawasan riset, laboratorium alam, dan alih teknologi untuk vokasi serta wisata ilmiah. Kecenderungan semakin banyaknya masyarakat yang menggemari wisata alam, maka adalah penting untuk juga meningkatkan kesadaran masyarakat tentang peran dan fungsi ekologis daerah wisata alam yang mereka kunjungi, sehingga risiko kerusakannya pun dapat diminimalkan.