Straight to content

Hari Internasional untuk Konservasi Ekosistem Mangrove

Published on:

Tanggal 26 Juli adalah Hari Internasional untuk Konservasi Ekosistem Mangrove (International Day for the Conservation of the Mangrove Ecosystem). Hal ini mengacu pada diadopsinya proklamasi oleh Konferensi Umum (General Conference) badan PBB untuk pendidikan UNESCO, pada tanggal 6 November 2015.

UNESCO mempertimbangkan bahwa mangrove adalah ekosistem yang unik, spesial dan rentan. Selain itu, kehadiran, biomassa dan produktivitasnya sangat penting bagi kelangsungan hidup umat manusia. Dalam sambutan pengukuhan, Direktur Jenderal UNESCO, Ms. Irina Bokova, menyampaikan bahwa ekosistem mangrove sangat penting karena berbagai manfaat dan fungsi yang disediakannya. Kelangsungan hidup mereka sangat terancam akibat kenaikan permukaan air laut serta semakin langka dan terancam punahnya keanekaragaman hayati yang hidup di ekosistem mangrove. Bumi dan kemanusiaan akan sangat mengalami kerugian jika ekosistem tersebut sampai musnah.

Wetlands International telah bekerja dalam upaya pelestarian ekosistem mangrove selama lebih dari 30 tahun, termasuk di Indonesia yang memiliki mangrove terluas di dunia. Banyak hal penting yang dapat diambil pelajaran dalam kurun waktu tersebut. Pada dekade pertama, pekerjaan kami lebih ditujukan kepada kegiatan inventarisasi untuk memetakan berbagai lokasi penting wilayah mangrove, termasuk potensi dan kondisinya. Salah satu capaian penting kami adalah memfasilitasi pengukuhan 2 (dua) Taman Nasional lahan basah di Sumatra, yang kemudian juga ditunjuk sebagai lokasi Ramsar di Indonesia. Dekade selanjutnya, lebih ditujukan untuk mempertahankan ekosistem mangrove yang masih baik.  Pada saat yang sama melakukan rehabilitasi dan restorasi terhadap ekosistem mangrove yang telah mengalami kerusakan dengan mengikutsertakan secara aktif masyarakat lokal dan pemerintah daerah setempat. Lebih dari 4 juta bibit, termasuk di lokasi yang terkena dampak tsunami di Flores dan Nangroe Aceh Darussalam, telah kami tanam bersama masyarakat lokal melalui mekanisme program Bio-Rights. Melalui program tersebut, masyarakat lokal diberikan dukungan finansial untuk pengembangan ekonomi, sebagai insentif terhadap keterlibatan mereka dalam kegiatan restorasi. Pendekatan tersebut telah terbukti berjalan efektif karena sebagian besar masih berjalan secara swadaya meskipun keterlibatan kami telah berakhir.

Selama kurun sepuluh tahun terakhir kami menyadari bahwa gaung kegiatan penanaman mangrove sebagai bagian dari kegiatan restorasi sangat membahana. Berbagai inisiatif kegiatan penanaman telah dilaksanakan oleh berbagai pihak. Pada sisi lain, disadari bahwa banyak dari kegiatan tersebut yang kemudian kurang berhasil mencapai tujuan utama kegiatan restorasi, yaitu mengembalikan fungsi ekologis ekosistem mangrove. Banyak tegakan tanaman yang kemudian tidak bertahan hidup dalam jangka panjang, atau kalaupun hidup tetapi kemudian menjadi kawasan mangrove yang hanya tersusun dari spesies tunggal dan kerapatan yang tidak alami. Restorasi yang baik selayaknya dapat menghasilkan hutan mangrove yang cukup luas, beragam jenis, berfungsi secara ekologis dan tumbuh secara alami. Mangrove yang tumbuh secara alami memperlihatkan adanya zonasi daratan ke lautan yang sangat jelas dengan pertumbuhan jenis yang berbeda. Kondisi ini akan mengundang berbagai keanekaragaman jenis hayati, termasuk ikan, yang lebih tinggi, serta fungsi perlindungan pantai yang lebih baik.

Dalam pengamatan kami, kegagalan restorasi umumnya disebabkan karena hal-hal berikut. Pertama, penanaman dilakukan di lokasi yang masyarakat setempat tidak mendukung. Dalam kondisi ini, masyarakat akan cenderung menjadikan wilayah restorasi sebagai lokasi pengembangan ekonomi sesaat, seperti pembukaan tambak. Kedua, penanaman jenis tunggal, sehingga tidak fungsional dan menyediakan manfaat yang minimum. Ketiga, penanaman jenis yang salah di tempat yang salah, tidak memperhatikan pasang surut, ombak, tingkat erosi maupun kondisi substrat. Keempat, penanaman di lokasi yang akar permasalahan hilangnya mangrove belum teratasi. Kelima, penanaman di lokasi yang secara alami sedang berlangsung proses regenerasi, sehingga dapat mengganggu proses regenerasi tersebut. Dan terakhir, penanaman di lokasi yang secara historis tidak pernah diketahui sebagai lokasi tumbuhnya mangrove.

Namun demikian, dalam hal-hal tertentu penanaman sangat dibutuhkan, sepanjang kondisi biofisik dan sosial-ekonomi masyarakat mendukung. Dalam kondisi berikut, penanaman akan dibutuhkan, apabila i) pasokan bibit dan propagul tidak tersedia secara alami karena tidak adanya pohon induk atau karena kondisi keterhubungan hidrologis yang tidak memungkinkan penyebaran bibit, ii) ditujukan untuk mengembalikan spesies penting yang hilang dari kawasan tersebut akibat kerusakan habitat, iii) untuk kepentingan pendidikan atau budaya, sebagai simbol keterhubungan masyarakat dengan alam sekitarnya, iv) di lokasi yang benar-benar mengalami erosi hebat, dan penanaman di lokasi lahan yang tersisa diyakinkan dapat menghambat erosi dalam jangka pendek, dan v) tujuan utama penanaman bukan untuk restorasi secara ekologis, tetapi, misalnya, lebih untuk penyediaan kayu atau berbagai produk mangrove lainnya.

Bagaimanapun, semangat dan inisiatif tinggi dari berbagai kalangan untuk melakukan penanaman mangrove tidak perlu dihambat. Yang perlu dilakukan adalah mengarahkan agar energi besar yang dikerahkan kemudian dapat lebih efektif dan bermanfaat secara ekologis. Yang jelas, penanaman sangat tidak dianjurkan untuk dilakukan di lokasi yang telah diketahui digunakan oleh hidupan liar untuk kelangsungan hidup mereka, misalnya di hamparan lumpur yang menjadi tempat makan burung-burung air, hamparan rumput laut yang menjadi tempat khusus untuk duyung, atau di wilayah terumbu karang yang memiliki fungsi ekologis penting tersendiri.

Penulis: Yus Rusila Noor

Head of Programme Wetlands International Indonesia, lembaga nirlaba internasional (NGO) yang mendedikasikan diri pada restorasi dan konservasi lahan basah.