Seminar Ekosistem Mangrove di Indonesia : Sebuah Sumber Daya Strategis untuk Ekonomi Lokal yang Berkelanjutan dan Adaptasi Perubahan Iklim
-
Budidaya, perikanan dan pertanian pesisir
-
Coastal resilience
-
Coastal wetland conservation
-
Ketahanan pesisir
-
Konservasi lahan basah pesisir
“Orang difoto inilah yang mengajari kami bagaimana mencegah abrasi dengan menggunakan jaring bekas”, Ujar Nyoman Suryadiputra Direktur Wetlands International Indonesia (WII) sambil menunjukkan foto pak Madsahi yang turut dipajang di pusat kebudayaan Italia, Kamis,2 Februari lalu pada acara seminar berjudul ekosistem Manggrove di Indonesia: Sumber daya alam strategis untuk keberlanjutan ekonomi lokal dan adaptasi perubahan iklim. Madsahi adalah seorang polisi hutan yang dulunya menjaga kawasan Cagar Alam Pulau Dua (CAPD) Banten.
Dalam seminar ini, Madsahi disebut sebut Nyoman sebagai pioneer penyelamatan kawasan pesisir utara Banten yang telah mengalami abrasi akibat penebangan mangrove untuk lahan pertambakan yang dilakukan beberapa puluh tahun yang lalu. Dengan bekerja bersama masyarakat setempat, dalam beberapa tahun terakhir, WII menerapkan pendekatan pengelolaan risiko terpadu untuk meningkatkan ketahanan masyarakat setempat terhadap bencana, yakni melalui pembangunan pemerangkap lumpur yang dibuat dari bahan-bahan setempat, penanaman mangrove di pematang tambak (silvofishery), pengembangan ekonomi masyarakat dan pengarusutamaan prinsip-prinsip pengelolaan resiko terpadu kedalam kebijakan pemeritah setempat. Saat ini, berangsur-angsur abrasi dapat dikurangi dan lapisan tanah timbul sudah terbentuk dan ditumbuhi oleh barisan mangrove yang cukup rapat.
Workshop ini merupakan acara yang diselenggarakan oleh pusat kebudayaan Italia dalam memperingati hari lahan basah sedunia tahun 2017 yang bertemakan lahan basah untuk pengurangan risiko bencana. Acara ini dibuka oleh Duta Besar Italy dan dihadiri setidaknya 50 peserta dari berbagai kalangan. Selain direktur WII, workshop ini menghadirkan pakar mangrove nasioanal, Profesor Daniel Mudiyarso, dan Kasrudin, ketua kelompok pecinta alam pulau dua (KPAPD)- salah satu kelompok masyarakat binaan WII di kelurahan Sawah Luhur, Serang Banten. “Sebelum 70 an, orang tua kami membuat tambak di sekitar CAPD, banyak mangrove yg ditebang, lalu hasil tambak kami berkurang, bahkan kami kesulitan mendapatkan air bersih,karena air disumur kami sangat asin, setelah kami tanam mangrove dan memerangkap sedimen, mangrove mulai tumbuh subur dan air menjadi tidak terlalu asin” ungkap Kasrudin menyambung apa yang dikemukakan oleh Nyoman. Ia juga menambahkan bahwa dengan tumbuhnya mangrove hasil tangkapan udang liar harian menjadi bertambah dan saat ini mereka sudah menikmati tambahan hasil dari kegiatan ekowisata mangrove yang tengah dikembangkan oleh WII dan kelompok.
Apa yg disampaikan oleh Kasrudin ini sejalan dengan padangan Daniel Mudiyarso. Dalam presentasinya, Daniel menegaskan bahwa banyak sekali jasa ekosistem yang diberikan oleh mangrove kepada manusia, diantaranya sebagai penyedia makanan, air tawar, kayu dan bahan bakar. Selain itu mangrove memiliki fungsi regulasi iklim, banjir, penyakit dan sebagai filter air laut. Sebagai bagian dari mitigasi bencana, Nyoman pun menambahkan bahwa mangrove menjadi penghalang fisik dari gelombang laut dan berfungsi sebagai penangkap sedimen, sehingga kenaikan muka air laut bisa diimbangi. “ Inilah mengapa melindungi mangrove berarti mampu mengurangi risiko bencana dan juga menjadi bentuk perilaku adaptasi perubahan iklim yang dilakukan oleh masyarakat”.
Sebagai penutup, Michela Magrì, Direktur pusat kebudayaan Italia menyampaikan tanggapannya bahwa pelibatan masyarakat setempat merupakan hal yang fundamental dalam upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove secara bijak, diperlukan kerjasama multipihak untuk menjamin keberlangsungan proses ini.