OPINI: Lahan basah untuk masa depan kita
-
Konservasi dan restorasi lahan gambut
-
Konservasi lahan basah pesisir
Setiap 2 Februari, secara global kita memperingatinya sebagai Hari Lahan Basah Sedunia. Peringatan ini merujuk pada pertemuan international yang membicarakan kondisi dan tantangan pengelolaan lahan basah di dunia, yang saat itu dilangsungkan di Kota Ramsar, Iran, 2 Februari 1971. Pertemuan inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal disetujuinya perjanjian pengelolaan lahan basah secara internasional, khususnya sebagai habitat burung air, yang secara luas dikenal sebagai Konvensi Ramsar.
Konvensi Ramsar mendefinisikan lahan basah sebagai lahan yang selalu tergenang, baik secara alami atau buatan, terus menerus ataupun musiman, diam atau mengalir serta tawar, payau maupun asin. Termasuk dalam kategori lahan basah tersebut adalah perairan laut dengan kedalaman tidak lebih dari enam meter dari batas surut terendah.
Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Ramsar pada 19 Oktober 1991 melalui Keputusan Presiden No. 48 Tahun 1991. Saat ini, jumlah Ramsar Site atau Situs Ramsar yang dimiliki Indonesia ada tujuh yaitu Taman Nasional Sembilang (Sumatera Selatan), Taman Nasional Berbak (Jambi), Suaka Margasatwa Pulau Rambut (DKI Jakarta), Taman Nasional Danau Sentarum (Kalimantan Barat), Tamam Nasional Rawa Aopa Watumohai (Sulawesi Tenggara), Taman Nasional Wasur (Papua) dan yang terbaru adalah Taman Nasional Tanjung Puting (Kalimantan Tengah) yang ditetapkan Januari 2014. Situs-situs tersebut merupakan kawasan penting sebagai pelindung kelestarian dan fungsi lahan basah.
Masa depan
Peringatan Hari Lahan Basah sendiri, secara resmi mulai digemakan pada 1997. Sejak saat itu, Sekretariat Konvensi Ramsar di Gland, Swiss, memutuskan tema tertentu untuk digunakan dalam perayaan tahunan serta menyediakan berbagai bahan penyadartahuan untuk digunakan dan diadaptasi ke berbagai bahasa di dunia. Untuk 2016 ini, tema yang diangkat adalah “Wetlands for Our Future: Sustainable Livelihood” (Lahan Basah untuk Masa Depan Kita: Mata Pencaharian Berkelanjutan).
Tema perayaan hari lahan basah sedunia tahun ini sangat relevan dengan kondisi yang kita hadapi sekarang. Saat ini, miliaran orang di bumi menggantungkan hidupnya pada keberadaan lahan basah, baik langsung maupun tidak. Sektor perikanan, pertanian dan transportasi merupakan sektor yang sangat bergantung pada keutuhan fungsi lahan basah.
Sejatinya, lahan basah memang merupakan salah satu ekosistem yang produktif dalam mendukung kehidupan manusia. Secara ekologi ia memiliki kandungan keragaman hayati yang kaya, sementara dari tinjauan ekonomi lahan basah merupakan sumber makanan, perikanan, energi, hingga pendukung pertanian.
Karena itu, melindungi fungsi alami lahan basah sama hakikatnya dengan melindungi mata pencaharian masyarakat. Lahan basah yang sehat pastinya akan menyediakan berbagai sumber daya alam yang dibutuhkan. Sebaliknya, lahan basah yang rusak akan sangat mengurangi kesempatan masyarakat untuk memperoleh manfaat dari sumber daya basah ini.
Seberapa besar lahan basah yang kondisinya tidak prima lagi saat ini? Hasil penelitian dan pengamatan yang dilakukan oleh Triana, Tim Komunikasi Wetlands International Indonesia, menunjukkan sekitar 60 persen lahan basah di dunia telah mengalami kerusakan atau kehilangan fungsinya akibat kebijakan yang tidak mendukung. Sebagai gambaran, berdasarkan data Konvensi Ramsar yang telah diratifikasi 162 negara, jumlah Situs Ramsar saat ini sekitar 2.045 lokasi, dengan luas kawasan yang mencakup 193.553. 062 hektare.
Di Indonesia pun, berbagai gangguan terhadap mata pencaharian masyarakat yang terjadi saat ini, akibat rusaknya lahan basah, merupakan fenomena keseharian yang bisa kita amati. Luas lahan basah Indonesia, diperkirakan sekitar 40 juta hektare atau 20 persen dari luas daratannya.
Eko Budi Priyanto dan Apri Susanto, dalam kegiatan “Building with Nature” yang dilaksanakan oleh konsorsium Ecoshape menyebutkan, di sepanjang pesisir utara Kabupaten Demak, telah terjadi kerusakan luar biasa akibat abrasi pantai. Disertai dengan dugaan adanya penurunan mutu lingkungan daerah aliran sungai (DAS) di bagian hulu dan subsidensi lahan di hilir, dikhawatirkan abrasi tersebut akan “memakan” tambak-tambak di wilayah pesisir. Saat ini, sebagian besar tambak di wilayah tersebut tidak lagi memiliki tanggul sehingga harus diganti dengan waring (jaring).
Untuk mengembalikan mata pencaharian masyarakat tersebut, konsorsium Indonesia-Belanda ini, coba melaksanakan kegiatan restorasi ekologi mangrove di sepanjang pantai utara Demak itu. Upaya yang dilakukan berupa peningkatan mata pencaharian masyarakat melalui pelibatan langsung dalam kegiatan restorasi ekologi mangrove. Dalam kegiatan ini, masyarakat diajak membangun bendungan dapat-tembus di lokasi tertentu yang mengalami abrasi. Dengan begitu, diharapkan dapat dikumpulkan sedimen yang merupakan tempat tumbuhnya mangrove secara alami, tanpa adanya penanaman oleh manusia.
Dalam jangka panjang, pertumbuhan mangrove secara alami ini diharapkan dapat membentengi pesisir dari abrasi yang pada akhirnya masyarakat bisa menikmati kembali mata pencahariannya secara berkelanjutan.
Namun, pada kenyataannya, kegiatan yang bertujuan untuk perbaikan kondisi mangrove yang berdampak langsung untuk masyarakat ini, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Masih saja ada, pihak yang terus menggunakan jalan pintas untuk memperoleh keuntungan sesaat. Tegakan mangrove yang telah tumbuh dengan baik di beberapa tempat justru ditebang kembali untuk pembukaan tambak, atau pengembangan wilayah industri dan permukiman.
Inilah pekerjaan besar kita untuk meyakinkan masyarakat dan semua pihak bahwa mata pencaharian yang berkelanjutan di lahan basah itu harus dimulai dari sikap manusia dulu dengan memperlakukan alam secara bijaksana. Dengan memperlakukan alam secara baik maka kebaikan pula yang akan diberikan oleh alam. Kebaikan berupa jasa lingkungan yang berkelanjutan, baik dalam bentuk sumber daya yang bisa dimanfaatkan maupun dalam bentuk perlindungan wilayah lahan basah yang menjadi tempat aktivitas masyarakat.
Peringatan Hari Lahan Basah Sedunia setiap 2 Februari diharapkan menjadi titik sadar bagi kita semua bahwa lahan basah merupakan ekosistem penting. Tidak hanya vital sebagai penjaga keseimbangan ekosistem daratan dan perairan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan flora dan fauna, tetapi juga sebagai salah satu solusi kebutuhan manusia, sebagai sumber mata pencaharian berkelanjutan. Manusia dapat memanfaatkan lahan basah sebagai sumber produk makanan, obat-obatan, bahkan bahan baku industri, selain manfaat langsung yang diberikan lahan basah itu sendiri: pengendali banjir dan kekeringan hingga penahan gempuran badai.
* Yus Rusila Noor, Programme Manager Wetlands International Indonesia. Email: [email protected]. Tulisan ini opini penulis.