Straight to content

Press release: Lahan gambut di Asia Tenggara sedang menuju bencana sosial ekonomi

Published on:
  • Konservasi dan restorasi lahan gambut

Produksi pertanian di wilayah Asia Tenggara akan hilang dalam beberapa dekade mendatang, sebagai akibat dari banjir yang terjadi pada lanskap dataran rendah karena pembangunan dan pengelolaan daerah gambut yang tidak berkelanjutan. Sekitar 82% dari wilayah Rajang Delta di Sarawak (Malaysia Timur) akan mengalami banjir berkepanjangan dalam kurun waktu 100 tahun ke depan, dan saat ini di beberapa daerah penting di Sarawak telah mengalami masalah akibat drainase. Hal ini akan berdampak terhadap kehidupan masyarakat lokal, perekonomian dan keanekaragaman hayati.  Kejadian banjir di lahan gambut akan terus berkembang dan akan menjadi bencana yang sangat besar, kecuali pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut diubah secara drastis. Oleh karena itu, Wetlands International mengkampanyekan kegiatan konservasi dan managemen lahan gambut yang berkelanjutan di Asia Tenggara.

Sebuah studi yang diprakarsai oleh  Wetlands International dan dilakukan oleh Deltares menunjukkan bahwa drainase besar-besaran di lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit di Sungai Rajang Delta mengakibatkan penurunan tanah (subsiden) yang sedemikian dalam, yang akan menyebabkan bencana banjir sangat besar dalam beberapa dekade mendatang.

Studi dilakukan dengan mengkaji lahan gambut yang terletak di wilayah pesisir pantai Sarawak seluas 850,000 ha dan dihasilkan sebuah model yang menggambarkan bahwa dalam jangka waktu 25 tahun, 42% dari total luas wilayah tersebut akan mengalami masalah banjir. Sedangkan dalam waktu 50 tahun, persentase luas wilayah yang terkena dampak tersebut akan meningkat menjadi 56%. Sementara  banjir akan terus terjadi secara alami dan semakin besar serta bersifat permanen yang pada akhirnya dalam kurun waktu 100 tahun wilayah yang terkena banjir menjadi sekitar 82%.

Banjir   tersebut disebabkan oleh konversi besar-besaran hutan rawa gambut untuk pertanian, terutama perkebunan kelapa sawit: saat ini hanya 16% dari hutan alam gambut Sarawak yang tersisa. Agar lebih menguntungkan, lahan gambut yang dikonversi menjadi lahan pertanian tersebut didrainase. Drainase inilah yang menjadi cikal bakal terjadinya banjir, karena drainase menyebabkan subsiden dan akhirnya menimbulkan cekungan yang berisikan air .

“Model yang dihasilkan secara jelas menunjukkan bahwa perlu adanya perubahan besar dalam pengeloaan lahan gambut tidak hanya di Sarawak tetapi di semua lanskap gambut di wilayah tersebut”, kata Lee Shin Shin, Senior Technical Officer Wetlands International – Malaysia. “Tren yang terjadi saat ini dimana sebagian besar wilayah lahan gambut yang dibuka untuk kegiatan perekonomian berbasis drainase akan membuat daerah ini tidak produktif dan tidak bermanfaat. Hal ini juga akan berdampak negatif terhadap masyarakat, industri dan keanekaragaman hayati yang bergantung terhadap lahan gambut untuk kelangsungan hidup dan eksistensinya.”

Tanah gambut terdiri dari 10% akumulasi material organik (karbon) dan 90% air. Ketika air tersebut dikeluarkan (didrainase), maka karbon yang terdapat pada tanah gambut akan berubah menjadi CO2 dan terlepas ke atmosfir yang menyebabkan perubahan iklim. Hilangnya karbon tersebut akan mengurangi volume gambut dan menyebabkan tanah gambut turun. Proses ini akan terus berlanjut selama drainase tetap dilakukan, hingga permukaan tanah menjadi sama dengan permukaan air laut atau sungai dan menghambat aliran air gambut untuk keluar sehingga menyebabkan terjadinya banjir. Pada iklim tropis, drainase lahan gambut mengakibatkan laju subsiden sebesar 1–2 meter selama 1 tahun pertama, dan 3-5 sentimeter per tahun di tahun-tahun berikutnya. Selanjutnya, penurunan tanah terjadi hingga 1,5 meter dalam waktu 5 tahun dan 4-5 meter dalam 100 tahun.

“Hasil studi tersebut sangat relevan dengan kondisi di Indonesia, dimana kami mengamati pola yang sama terhadap konversi hutan rawa gambut, drainase dan perluasan perkebunan kelapa sawit dan akasia” kata Nyoman Suryadiputra, Direktur Wetlands International Indonesia. “Ribuan kilometer persegi di Sumatera dan Kalimantan kemungkinan akan mengalami banjir dengan cara yang sama seperti Rajang Delta, dan akan berpengaruh terhadap jutaan orang yang bergantung kepada lahan gambut sebagai tempat mata pencaharian mereka.”

“Di negara-negara maju atau wilayah yang beriklim empat seperti Belanda, penurunan tanah dapat diatasi dengan membangun tanggul dan sistem pompa drainase, namun sistem seperti ini tidak mungkin diaplikasikan di Malaysia maupun Indonesia” jelas Marcel Silvius, Kepala Program Lahan basah dan Iklim, Wetlands International. “Dengan kondisi perekonomian utama pedesaan di sepanjang ribuan kilometer pesisir pantai dan sungai, ditambah dengan tingginya intensitas curah hujan tropis, menyebabkan penerapan pengelolaan air yang membutuhkan banyak biaya, secara ekonomi dan praktek tidak mungkin diterapkan di kawasan Asia Tenggara.”

Oleh karena itu, pemerintah dan industri sebaiknya segera menghentikan konversi hutan gambut yang masih tersisa untuk kegiatan pertanian atau penggunaan lainnya, dan secara aktif mempromosikan konservasi dan restorasi lahan gambut. Industri harus keluar dari kegiatan drainase di lahan gambut  karena lambat laut lahan gambut yang di drainase akan mengalami banjir dan akhirnya tidak ada kemungkinan lagi untuk berbagai bentuk penggunaan lahan produktif. Kebijakan yang efektif harus disusun, dilaksanakan dan ditegakkan untuk melindungi dan memastikan pengelolaan lahan gambut secara bijaksana. Sebenarnya banyak tanaman yang dapat dibudidayakan di lahan gambut tanpa drainase. Terdapat lebih dari 200 jenis pohon rawa gambut telah diidentifikasi, seperti Tengkawang (Shorea spp) yang menghasilkan minyak nabati dan jelutung (spesies tanaman yang memproduksi latek). Jenis tanaman-tanaman tersebut akan memberikan alternatif dan peluang mata pencaharian yang berkelanjutan bagi masyarakat lokal. Namun demikian, hal ini membutuhkan percobaan, perbaikan varietas dan peningkatan skala untuk industri perkebunan.