Press release : Kebijakan dan tata kelola lahan gambut di Indonesia
-
Konservasi dan restorasi lahan gambut
Bogor, 27 Mei 2015 – Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ir. Arief Yuwono membuka secara resmi “Workshop Nasional Kebijakan dan Tata Kelola Lahan Gambut di Indonesia” di Bogor.
Acara ini dihadiri oleh para pejabat dari Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Kementerian Agraria dan Tata Ruang, para pejabat dari Dinas Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan serta BAPPEDA Provinsi Kalimantan Tengah, Jambi, Riau, Sumatera Selatan dan Nanggroe Aceh Darussalam, Direktur Wetlands International Indonesia, perwakilan dari kalangan dunia usaha (private sector), praktisi, peneliti, dan lembaga swadaya masyarakat.
Workshop ini melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan agar dapat memberikan rekomendasi dan alternatif solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam pengelolaan lahan gambut di Indonesia serta dapat bersama-sama menjalankan peraturan dan kebijakan pemerintah demi perbaikan upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut yang lebih baik di masa yang akan datang.
Kerusakan lahan gambut telah dimulai sejak dua dekade lalu, dan saat ini kerusakan serta dampaknya telah berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Kerusakan tersebut bukan saja disebabkan oleh hilangnya vegetasi di atasnya, melainkan karena terjadi pengurasan air gambut secara berlebih (over drainase) melalui saluran-saluran. Pada awalnya, pembangunan saluran-saluran di atas lahan gambut lebih ditujukan untuk mengatur tata air bagi kegiatan pertanian (misalnya lahan gambut eks PLG di Kalimantan Tengah pada tahun 1995/1996) dan untuk sarana transportasi kayu tebangan atau produk bukan-kayu dari dalam hutan.
Lahan gambut di Indonesia (Sumatera, Kalimantan dan Papua) pada umumnya terletak di dataran rendah dekat pantai (< 80 km dari pantai) dan berada pada elevasi < 20 m dari permukaan laut. Sehubungan dengan hal ini, lahan gambut di Indonesia sangat rentan terhadap genangan akibat adanya kenaikan muka air laut (menurut IPCC, kenaikan muka air laut sekitar 3 mm/tahun). Peristiwa tergenangnya lahan gambut akan semakin di perparah dan dipercepat akibat materi gambut yang semakin berkurang akibat kebakaran dan oksidasi serta kedalamannya juga semakin berkurang akibat subsiden. Hilang/berkurangnya materi gambut, mengakibatkan lahan gambut mengalami depresi (berbentuk cekungan) yang jika tergenang air akan menyerupai danau. Kondisi tergenangnya lahan gambut pesisir sudah mulai nampak di lahan gambut Sumatera Barat, Jambi, Riau dan Kalimantan Tengah.
Disinyalir adanya beberapa perusahaan kelapa sawit di Riau dan Aceh (Sumatera), yang hamparan perkebunannya sudah mulai bermasalah, kini lahan usahanya dilepaskan/dijual kepada pihak lain. Kementerian Pertanian pada Desember 2013 telah menerbitkan Atlas Lahan Gambut Terdegradasi Pulau Sumatera. Dari atlas ini diperlihatkan sekitar 2,5 juta hektar (atau sekitar 38,5% dari total 6,5 Juta ha) lahan gambut di Sumatera dikategorikan dalam status terdegradasi dan umumnya ditumbuhi oleh semak/belukar.
Indonesia telah berupaya dengan berbagai cara untuk mengendalikan kerusakan ekosistem gambut mulai dari upaya di tingkat global, regional, nasional, sampai di tingkat lokal/daerah. Pada tahun 2009, melalui UNFCCC COP-15 di Copenhagen, Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah positif dengan menyampaikan komitmen sukarela untuk mengurangi emisi sebesar 26%-41% pada tahun 2020.
Di tingkat ASEAN peran Indonesia ditunjukkan melalui ratifikasi AATHP (Asean Agreement on Transboundary Haze Pollution). Dengan diratifikasinya perjanjian ini Indonesia mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk tidak mengirim asap dari kebakaran hutan dan lahan gambut ke negara-negara anggota ASEAN khususnya Malaysia dan Singapura
Di tingkat nasional, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan moratorium hutan alam primer dan lahan gambut melalui INPRES No. 10 tahun 2011, yang diperpanjang dengan INPRES No.6 Tahun 2013, dan baru saja diperpanjang lagi dengan INPRES No.8 Tahun 2015. Di samping kebijakan tersebut Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Peraturan ini diresmikan pada bulan September 2014.
“Kami memahami bahwa, penerbitan berbagai kebijakan pemerintah tersebut hanyalah merupakan salah satu instrumen yang diperlukan dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem gambut berkelanjutan. Hanya dengan komitmen dan kerjasama semua pihak baik pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha (private sector), masyarakat, para peneliti, lembaga swadaya masyarakat, dll, maka pengelolaan ekosistem gambut berkelanjutan dapat terwujud”, demikian kata Ir. Arief Yuwono dalam sambutan pembukaannya. “Kesalahan perlakuan terhadap ekosistem gambut yang tidak memperhatikan karakteristik dan daya dukung ekosistem gambut yang telah mengakibatkan kerusakan ekosistem dengan skala yang sangat luas dapat dijadikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua agar tidak terjadi lagi dikemudian hari”, lanjutnya.
Bagian/isi dari Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut ini yang paling menjadi perdebatan dengan pihak pengusaha di lahan gambut adalah terkait BAB IV- tentang PENGENDALIAN, pada Bagian Kedua (tentang Pencegahan Kerusakan Ekosistem Gambut) khususnya Pasal 23 Ayat 3, di mana dinyatakan bahwa: Ekosistem Gambut dengan fungsi budidaya dinyatakan rusak apabila memenuhi kriteria baku kerusakan sebagai berikut:muka air di lahan gambut lebih dari 0.4 (nol koma empat) meter di bawah permukaan Gambut; dan/atau tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa di bawah lapisan Gambut.
Dengan tinggi muka air tanah gambut 0,4 m (sebagaimana diamanatkan PP 71/2014) maka besaran emisi sekitar 35 ton CO2/Ha/tahun. Namun jika muka air tanah gambut dibiarkan turun hingga 1 meter, maka besaran emisi sekitar 95 ton CO2/Ha/tahun. Dengan demikian maka PP Gambut 71/2014 memiliki potensi besar untuk menurunkan emisi sekitar 60 ton CO2/Ha/tahun (emission saving), apabila kebijakan ini diterapkan. Hal ini tentunya selaras dengan kebijakan pengurangan emisi di mana pemerintah telah berkomitmen mengurangi emisi GRK nasional.
Berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan Pemerintah, Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan berbagai pakar, serta contoh-contoh terbaik dalam pemanfaatan ekosistem seharusnya dapat dijadikan sebagai acuan dalam praktek pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem ekosistem gambut berkelanjutan di berbagai sektor seperti pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI), Pengembangan sektor perkebunan baik perkebunan besar maupun perkebunan rakyat, serta berbagai kegiatan budidaya lainnya.
Informasi lebih lanjut hubungi:
Ir. Arief Yuwono, MA, Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, telp/fax: 021-57903085, email:[email protected]