Rilis Media : Janji-janji Tanpa Realisasi – Kegagalan Industri Kertas Mereformasi Praktek Pengelolaan Gambut di Indonesia

Home » Berita » Kekayaan gambut » Konservasi dan restorasi lahan gambut » Rilis Media : Janji-janji Tanpa Realisasi – Kegagalan Industri Kertas Mereformasi Praktek Pengelolaan Gambut di Indonesia
Berita

Jakarta, 10 Agustus 2017 – Pada hari ini, Jikalahari (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau) meluncurkan satu dokumen laporan dari the Environmental Paper Network (EPN) berjudul “Janji-janji Tanpa Realisasi: Kegagalan Industri Kertas Mereformasi Praktek Pengelolaan Gambut di Indonesia”. Acara ini juga didukung oleh Wetlands International.

Laporan ini difokuskan pada kegagalan industri kertas di Indonesia dalam mereformasi praktek pengelolaan gambut. Laporan ini juga menguraikan argumen bahwa berbagai komitmen dari industri kertas belumlah cukup untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada lahan gambut, sementara solusinya sudah tersedia: masyarakat setempat selama berabad-abad telah memanfaatkan lahan gambut secara ekonomis, tanpa menyebabkan kerusakan.

Saat ini praktek pemanfaatan hutan alam untuk memproduksi kertas sebagian besar telah dihentikan, sementara lahan gambut masih saja terus dikeringkan untuk membudidayakan pohon kayu Akasia. Praktek ini menghasilkan emisi CO2 yang lebih besar daripada yang dihasilkan oleh satu negara Finlandia secara keseluruhan dalam satu tahun. Hilangnya carbon dari lapisan tanah menyebabkan turunnya permukaan lahan gambut, yang pada akhirnya mengakibatkan banjir dan terus berkurangnya lahan produktif, dimana kesemuanya itu memperparah derita yang harus dihadapi oleh masyarakat setempat, yang telah langsung terdampak juga oleh kebakaran hutan dan kabut asap. Pengeringan lahan gambut juga merupakan akar permasalahan dari terus terjadinya bencana kabut asap dari tahun ke tahun, karena lahan gambut yang kering sangat rentan terhadap kebakaran.

Laporan ini juga menunjukkan serangkaian pemanfaatan lahan gambut secara tradisional oleh masyarakat setempat, seperti misalnya Sagu untuk memproduksi kue kering dan mie, Rotan untuk memproduksi perabotan rumah, dan Galam sebagai kayu tiang, yang juga dapat dimanfaatkan untuk membuat kertas. Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari, menyatakan, “Industri kertas bergerak terlalu lambat dalam upaya mereka mereformasi praktek-praktek berdampak iklim tinggi, terlepas dari komitmen yang telah mereka buat. Janji-janji perbaikan yang mereka gadang-gadang masih sangat jauh dari praktek di gambut yang lebih baik. Sebaliknya, masyarakat telah mempraktekkan budidaya di lahan gambut minim drainase dalam upaya meminimkan resiko kebakaran”.

Salah satu upaya meminimalkan dampak pengeringan dalam pengelolaan gambut adalah dengan memilih spesies lokal/asli lahan gambut. Masyarakat di Sungai Tohor sudah mempraktekkan mengembangkan budidaya Sagu (Metroxylon spp) di kebun mereka. Abdul Manan dari Sungai Tohor menjelaskan “ Kami sudah menanam sagu bahkan sebelum Indonesia merdeka. Dari situ kami dapat menghidupi keluarga selama beberapa generasi, bahkan tempat kami tidak pernah mengalami kebakaran hingga kemudian perusahaan datang dan mulai beroperasi dengan membangun kanal”. Selain Sagu, Purun (Eleocharis dulcis) yang tumbuh di lahan gambut juga telah dimanfaatkan oleh masyarakat di desa Pedamaran, Sumatera Selatan untuk berbagai produk kerajinan tangan seperti tikar, tas, sandal, dan topi. “ Hasilnya menjadi tambahan penghasilan bagi para perempuan di desa” tambah Saparuddin, dari Sumatera Selatan.

Jika masyarakat di desa telah melakukan perlindungan gambut dan juga mendapat manfaat ekonomi, sebaliknya pelaku industri masih cenderung enggan untuk melakukan perbaikan yang berarti untuk memulihkan lahan gambut yang telah rusak, selain untuk memperbaiki tata olah di lahan gambut. Pemilihan spesies lokal/asli di lahan gambut mestinya bisa menjadi pilihan bagi pelaku industri pada lahan gambut yang sudah dibasahi (rewetted). Dan mengingat bahwa Pemerintah saat ini punya target merestorasi 2 juta ha lahan gambut, pendekatan pemilihan spesies lokal mestinya dapat  diimplementasikan oleh pelaku industri kertas. Masyarakat setempat juga harus dilibatkan dalam upaya pengembangan tersebut, karena mereka memiliki pengetahuan dan minat untuk terlibat dalam perkembangan terakhir yang terjadi di lingkungan mereka.

Oleh sebab itu kami merekomendasikan sebagai berikut:

  1. APP/APRIL dan seluruh industri kertas di Indonesia untuk dapat merealisasikan komitmen keberlanjutan mereka dengan melakukan langkah-langkah yang lebih berarti termasuk: mengimplementasikan regulasi PP 57/2016, menerapkan praktek-praktekn non-drainase, penggunaan spesies lokal dengan melibatkan masyarakat dan juga kearifan lokal yang telah ada.
  2. KLHK dan BRG memastikan pelaku industri mengimplementasikan regulasi perlindungan gambut dan mengadopsi pendekatan-pendekatan yang berpihak pada pengelolaan gambut berkelanjutan, untuk tujuan mengamankan masa depan gambut dan juga industri kertas itu sendiri.

Untuk informasi lebih lanjut tentang laporan ini, silakan menghubungi:

  1. Woro Supartinah, Koordinator – Jikalahari | e-mail: [email protected] | Tel: +62(0) 761 8402161
  2. Irwansyah Reza Lubis, Program Coordinator for Community, Biodiversity, and Climate Change – Wetlands International Indonesia | e-mail: [email protected] | Tel: +62(0) 251 831218
[Download not found] [Download not found]