Press Release: Kajian terbaru tentang dampak perkebunan pada lahan gambut di Semenanjung Kampar menegaskan bahwa drainase di lahan gambut tidak berkelanjutan

Home » Berita » Kekayaan gambut » Konservasi dan restorasi lahan gambut » Press Release: Kajian terbaru tentang dampak perkebunan pada lahan gambut di Semenanjung Kampar menegaskan bahwa drainase di lahan gambut tidak berkelanjutan
Berita

Kajian terbaru dari Deltares, atas kerjasama dengan Wetlands International, menegaskan kembali bahwa perkebunan Akasia dan Kelapa Sawit di lahan gambut tidak dapat dikelola secara lestari. Perkebunan di lahan gambut yang di drainase akan terimbas oleh subsiden, terkena banjir dan akhirnya akan hilang produktivitasnya. Kajian tersebut juga membuktikan bahwa kebakaran hanya terjadi pada perkebunan di lahan gambut yang telah didrainase yang berakibat pada kawasan didalam dan disekitarnya.

Lembaga ilmu pengetahun independen Deltares mengkaji dampak drainase terhadap perkebunan di wilayah kubah gambut Semenanjung Kampar, yang disinyalir merupakan kubah gambut terbesar di Sumatra dan Kalimantan, dengan menggunakan teknik remot sensing terbaru dan pemahaman ilmiah terkait respon lahan gambut dataran rendah terhadap drainase.

Pada tahun 2014, 31% areal perkebunan (termasuk 5% perkebunan Akasia) di wilayah Semenanjung Kampar telah mengalami masalah banjir dan drainase. Setelah diproyeksikan diketahui bahwa dalam 25, 50 dan 100 tahun kedepan, masalah banjir dan drainase akan meningkat menjadi masing-masing sebesar 71%, 83% dan 98%, dan membuat hampir seluruh perkebunan (Akasia dan Kelapa Sawit) di wilayah gambut Semenanjung Kampar tidak layak secara ekonomi baik dalam jangka menengah dan panjang.

Menurut Wetlands International, perusahaan HTI pulp&kertas APP dan APRIL, pemegang konsesi terbesar di Semenanjung Kampar, perlu untuk melakukan phasing-out perkebunan mereka dari lahan gambut dan membasahi kembali lahan gambut yang telah mereka keringkan, untuk menghindari banjir dan kehilangan produktivitas dalam jumlah besar serta untuk mencegah kebakaran.

Dalam kegiatan tambahan ASEAN pada COP 21 di Paris, Marcel Silvius, Kepala Divisi Climate Smart Land Use Wetlands International mengatakan: “Saya terkejut mengetahui bahwa subsiden dan banjir di lahan gambut tidak dipertimbangkan didalam strategi penangangan asap ASEAN dan juga didalam kebijakan nasional terkait perencanaan dan penggunaaan lahan di Indonesia dan Malaysia. Konsekuensi dari jutaan hektar lahan gambut yang  tidak produktif di areal-areal ini akan meningkatkan resiko terbakar kembali pada musim-musim kemarau berikutnya. Ketika itu terjadi maka sudah terlambat untuk merestorasinya”.

Industri HTI selalu mengklaim bahwa kehilangan lahan gambut dan subsiden dapat dicegah dengan cara memperbaiki teknik-teknik pengelolaan air. Namun, kajian yang dilakukan oleh Deltares menggarisbawahi bahwa teknik-teknik tersebut, termasuk teknik pengelolaan gambut dengan eco-hydro yang dikembangkan oleh APRIL, hanya akan mengurangi laju subsiden tidak lebih dari 20%.

Temuan lainnya dari kajian tersebut menyebutkan bahwa terlepas dari kebijakan no-fire perusahaan-perusahaan yang terletak disekitar wilayah ini, ditemukan bahwa 99% dari seluruh titik api yang ada di Semenanjung Kampar, selama 15 tahun terjadi di areal perkebunan HTI dan Kelapa Sawit. Hal ini dengan jelas menunjukan bahwa perusahaan-perusahaan besar tidak mampu untuk mencegah dan mengendalikan kebakaran.

APRIL mengklaim bahwa dengan membangun perkebunan Akasia berbentuk cincin yang mengitari hampir suluruh batas luar semenanjung, akan membantu melindungi areal hutan bagian dalam semenanjung. Namun, drainase dan subsiden secara jelas berdampak terhadap kondisi hidrologi disekitarnya dan meningkatkan resiko kebakaran di hutan dan lahan gambut yang masih tersisa.

Kajian ini dilakukan pada area seluas 674,200 ha. Pada tahun 2014, hampir sebagian area (43%) telah dikonversi menjadi lahan perkebunan, terutama (71.7%) untuk perkebunan Akasia pemasok industri bubur kayu dan kertas. Perkebunan yang dibangun menggunakan drainase telah mengancam keanekaragaman hayati, termasuk hewan langka seperti Harimau Sumatra dan menyebabkan emisi karbon yang sangat besar.

Wetlands International merekomendasikan bahwa lahan gambut dapat ditanami dengan berbagai tanaman yang dapat tumbuh dalam kondisi basah atau dikenal dengan istilah Paludikultur, dimana tanaman Paludikultur dapat menyediakan bahan baku yang berkelanjutan bagi industri dan meningkatkan perekonomian masyarakat lokal. Rekomendasi ini dan yang lainnya telah dituangkan didalam Roadmap Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan Bagi Industri Bubur Kayu dan Kertas yang baru saja diselesaikan dan dirilis oleh Wetlands International dan mitra dari organisasi sipil.

Wetlands International juga merekomendasikan kepada Pemerintah Indonesia untuk menyusun Strategi Nasional untuk Konservasi dan Restorasi Lahan Gambut dalam upaya pengendalian bencana kebakaran dan asap, emisi karbon dan resiko banjir di lahan gambut. Pemerintah Indonesia berencana untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Rehabilitasi Lahan Gambut dan menyusun peraturan-peraturan terkait perbaikan pengelolaan dan pengendalian kebakaran, emisi gas rumah kaca dan asap di lahan gambut. Dalam hal ini, Wetlands International juga menghimbau Pemerintah Indonesia untuk mengkaji ulang kebijakan-kebijakan terkait gambut yang telah ada maupun yang baru disyahkan,  agar sesuai dengan hasil penelitian terbaru terkait dengan subsiden dan banjir di lahan gambut.

Untuk keterangan lebih lanjut :
Wetlands International, Marcel Silvius, Programme Head Climate – Smart Land Use:
[email protected]
+31 (0)318 660910