Pengelolaan Pesisir Terintegrasi untuk Mengurangi Risiko Bencana di Kabupaten Demak

Home » Berita » Pesisir dan delta » Ketahanan pesisir » Pengelolaan Pesisir Terintegrasi untuk Mengurangi Risiko Bencana di Kabupaten Demak
Berita

Kabupaten Demak menjadi salah satu etalase bencana nasional. Selama beberapa dekade, garis pantai telah bergeser 6 Kilo meter kearah darat, menyebabkan 6.712 ha daratan terendam air dan 700.000 jiwa terdampak. Akibatnya, pada bulan April 2017 misalnya, kejadian banjir rhob menyebabkan 789 hektar tanah tenggelam meliputi wilayah Sayung, Karang Tengah, Bonang dan Wedung.

Pada tanggal 2 Desember 2017 dicatat kerugian akibat Rhob di satu desa binaan Wetlands International Indonesia di Demak sebesar Rp 320 juta. Angka ini merupakan kerugian secara ekonomi dari sisi budidaya tambak saja, sementara di sisi lain masyarakat juga mengalami kekurangan sumber air bersih yang berkepanjangan.

Tingginya risiko bencana di Kabupaten Demak ini merupakan akibat dari berbagai faktor, di antaranya penurunan muka tanah, hilangnya ekosistem mangrove, meningginya muka air laut, adanya cuaca ekstrim/gelombang, adanya penyempitan badan sungai dan persoalan sampah. Hal ini mengemuka dalam diskusi yang bertajuk “Pengelolaan Pesisir Terintegrasi dalam Mengurangi Risiko Bencana di Kabupaten Demak” yang dilaksanakan oleh Wetlands International Indonesia (WII) di Hotel Amantis Demak, 14 Desember 2017 lalu. Lokakarya yang dihadiri setidaknya 50 peserta perwakilan dari masyarakat 10 desa di kabupaten Demak, relawan desa tangguh bencana, relawan PMI dan OPD terkait se-kabupaten Demak ini menghadirkan pembicara dari lembaga penelitian Deltares, BPBD Kab. Demak, Bappeda Kab. Demak, DLH Kab. Demak, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kab. Demak, serta dari WII.

Terkait penurunan muka tanah di Demak, Aditya Risky Taufani, salah satu peneliti dari Deltares menyebutkan bahwa dari hasil wawancara dan pantauan di lapangan, didapatkan informasi terjadinya penurunan muka tanah di desa Bedono, Kab. Demak, yang mencapai 6-8 cm per tahun. Desa Purworejo akhir-akhir ini juga merasakan intensitas banjir yang terus meningkat. Dari hasil pemantauan dan kajian sementara ini diketahui bahwa faktor utama penyebab turunnya muka tanah di wilayah pesisir Kab. Demak adalah penggunaan air tanah yang berlebihan. Senada dengan yang dikemukakan oleh Aditya, Dwi Artanto, Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Demak juga memandang bahwa pengambilan air tanah yang tidak terkontrol harus segera dihentikan agar laju penurunan muka tanah dapat diminimalisir bahkan dihentikan. Ia sepakat untuk mendorong pemerintah Kab. Demak untuk membuat peraturan daerah tentang penggunaan air bawah tanah. Terkait dengan penanganan kebencanaan, ia juga menambahkan bahwa saat ini banjir rhob belum dikategorikan sebagai bencana, sehingga BPBD kabupaten Demak memiliki keterbatasan dalam penanganan dan pencegahannya.

Sementara itu pada sesi siang mengemuka bahwa dalam RTRW Kab. Demak pemerintah pusat telah menetapkan kawasan Sayung sebagai kawasan industri. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengingat bahwa sektor industri membutuhkan supply air tawar yang tinggi. Taufik Rifa’i, Kepala Bappeda Demak, mengharapkan agar PDAM dapat mengantisipasi persoalan ini. Ia juga menyampaikan bahwa RTRW Demak saat ini masih dalam proses finalisasi namun belum disahkan. Sementara itu, Eko Budi Priyanto, Community Development Officer dari WII menekankan pentingnya pengelolaan risiko terpadu dari seluruh pemangku kepentingan, khususnya di wilayah pesisir Kab. Demak.  “Melihat ancaman bencana yang ada saat ini, tugas kita adalah memperkuat kapasitas masyarakat dan juga meningkatkan kualitas lingkungan”, ujarnya. Rehabilitasi pesisir dan penguatan ekonomi masyarakat juga termasuk upaya peningkatan ketahanan masyarakat yang saat ini tengah dipraktekkan oleh WII di kawasan Pesisir Kab Demak melalui dua programnya, yaitu Building with Nature dan Partners for Resilience.

Dalam lokakarya satu hari ini seluruh peserta diberikan kesempatan untuk secara aktif menyampaikan pendapat dan masukannya. Sebagai hasil dari lokakarya ini, seluruh peserta, atas nama masyarakat kabupaten Demak, meminta dan menyerukan kepada seluruh pemangku kepentingan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:

  1. Menetapkan rhob sebagai kejadian bencana yang nyata dan perlu segera ditangani secara serius.
  2. Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketahanannya dalam menghadapi bencana.
  3. Mendorong desa untuk membentuk tim siaga bencana desa.
  4. Mendorong kearifan lokal dalam menghadapi bencana seperti tradisi kentongan, pembuatan rumah panggung tradisional, dan pembuatan alat pemecah gelombang.
  5. Segera melakukan pengkajian/asesmen terkait penggunaan air bawah tanah di wilayah Demak.
  6. Menghentikan dan melarang pengambilan air tanah, baik oleh industri maupun perumahan dengan mensinergikan program pembangunan terkait tata kelola air (salah satunya dengan meninjau kegiatan PAMSIMAS) dan menyusun peraturan-peraturan, baik di tingkat desa/ daerah/nasional yang menyasar kepada kebijakan Penurunan Laju Subsiden dan Perlindungan Ekosistem Mangrove.
  7. Mendorong pengelolaan air permukaan (sungai/air laut) sebagai alternatif sumber air bersih bagi masyarakat.
  8. Melakukan upaya konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove, di antaranya melalui Hybrid Engineering dan penanaman mangrove serta pembangunan sabuk pengaman pantai secara berkelanjutan.
  9. Mengintegrasikan upaya-upaya pengurangan risiko bencana dan perlindungan ekosistem mangrove kedalam rencana tata ruang wilayah dalam satu kesatuan ekosistem.
  10. Melakukan normalisasi sungai, tanggul dan pembuatan waduk untuk menangkap air.
  11. Melakukan sosialisasi dan penyadaran masyarakat dalam upaya pengelolaan sampah secara terpadu.
  12. Mendorong pembentukan BUMDes berbasiskan pesisir seperti pengembangan ekoswisata mangrove dan produk unggulan perikanan lainnya.
  13. Mendorong kerja sama multipihak baik dari masyarakat, pemerintah, TNI/POLRI, swasta dan LSM dalam melakukan hal-hal yang disebutkan di atas.