Kebakaran di Sumatra: mengurusi gejala, tak cukup aksi dalam menangani penyakit

Home » Berita » Peatland Treasures » Climate mitigation and adaptation » Kebakaran di Sumatra: mengurusi gejala, tak cukup aksi dalam menangani penyakit
Berita

Sumatra, Indonesia. Dampak kesehatan dan iklim dari kebakaran lahan dan hutan gambut di Sumatra mengingatkan kita kembali akan tidak berkelanjutannya usaha perkebunan sawit dan bubur kertas diatas lahan gambut.

Kejadian kebakaran di Sumatra telah menyebabkan dikeluarkannya peringatan dari otoritas kesehatan di Singapura, Malaysia dan Indonesia, dan menimbulkan silang pendapat diantara ketiga negara tersebut mengenai siapa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap kejadian kebakaran tersebut. Meskipun demikian, nampaknya sangat kurang perhatian terhadap akar permasalahan dari penyebab kebakaran tersebut. “Untuk mencegah kebakaran, Indonesia dan Malaysia perlu untuk melindungi hutan rawa gambut yang masih tersisa, dan memindahkan atau memperbaiki pengelolaan dari perkebunan yang saat ini telah beroperasi dilahan gambut. Selain itu, diperlukan adanya dukungan birokrasi untuk memperluas dan mempercepat investasi langsung dari luar untuk membantu upaya rehabilitasi lahan gambut yang telah mengalami kerusakan, diantaranya melalui mekanisme konsesi Restorasi Ekosistem”, demikian disampaikan oleh Marcel Silvius, Head of Programme and Strategy for Wetlands and Climate dari Wetlands International.

Sebagian besar asap berasal dari kebakaran di lahan gambut

Pada tahun-tahun belakangan ini, sejumlah besar luasan hutan rawa gambut di Asia Tenggara telah mengalami kerusakan cukup parah, sebagai akibat dari deforestasi, pengeringan gambut dan pembangunan perkebunan dan pertanian yang kurang terencana dengan baik. Lahan gambut yang telah mengalami kekeringan sangat rentan terhadap kerbakaran. Karena sebagian besar kebakaran gambut terjadi dibawah permukaan, maka material gambut terbakar tidak sempurna, dan kemudian menghasilkan lebih banyak asap dibandingkan dengan kebakaran lainnya. Kebakaran di lahan gambut juga sangat sulit untuk dipadamkan. Dengan demikian, kebakaran di lahan gambut memang merupakan sumber utama terjadinya asap1. Peta yang dikembangkan oleh SarVision dengan jelas menunjukan bahwa banyak kebakaran baru-baru ini terjadi di lahan gambut.

Penelitian2 yang dilaksanakan baru-baru ini menunjukan bahwa kebakaran yang terjadi di Sumatra terkonsentrasi di wilayah yang sudah mengalami kerusakan berat (140 kejadian kebakaran per 100 km2), sementara hanya sedikit yang terjadi di wilayah yang masih berupa hutan rawa gambut alami (7 kebakaran per 100 km2). Dengan demikian, strategi pencegahan kebakaran yang paling efektif adalah dengan mempertahankan wilayah hutan rawa gambut yang masih alami dan merehabilitasi serta membasahi kembali wilayah lahan gambut yang sudah mengalami kerusakan, sehingga bisa kembali ke kondisi yang tergenang air.

Perkebunan yang tidak berkelanjutan di lahan gambut

Liputan media terhadap kejadian kebakaran menekankan adanya peran dari perkebunan kelapa sawit dalam menyulut kebakaran. Meskipun demikian, peta yang dikembangkan oleh SarVision serta penelitian yang dilakukan oleh kelompok advokasi Eyes on the Forest3 menunjukan bahwa HTI yang memproduksi bahan bubur kertas di lahan gambut juga seharusnya bertanggung jawab terhadap kejadian kebakaran di propinsi Riau. Baik perkebunan kelapa sawit maupun HTI seharusnya bertanggung jawab untuk membangun dan melaksanakan berbagai solusi terhadap keajidan kebakaran yang disebabkan oleh kegiatan mereka di lahan gambut.

“Untuk menangani isu kebakaran secara efektif, Indonesia seharusnya mendorong pemindahan konsesi perkebunan kelapa sawit dan HTI dari lahan gambut, misalnya melalui kesepakatan land swap, memindahkan mereka ke lahan mineral. Kita juga harus membangun suatu roadmap terkait dengan rehabilitasi di lahan gambut, termasuk budidaya jenis-jenis asli lahan gambut, yang sepenuhnya mengikutsertakan masyarakat, yang tidak memerlukan drainase dan menyediakan pasokan yang berkelanjutan bagi berbagai jenis produk bernilai ekonomi tinggi, seperti minyak, lateks, obat-obatan, buah-buahan maupun sumber daya kayu” tutur Nyoman Suryadiputra, Direktur Wetlands International – Indonesia.

“Rehabilitasi lahan gambut lebih lanjut dapat difasilitasi oleh, misalnya, investasi langsung sektor swasta dalam kegiatan dibawah payung strategi REDD+ Indonesia, serta menciptakan iklim dorongan birokrasi untuk terlaksananya konsesi Restorasi Ekosistem”, lebih lanjut dikatakan oleh Nyoman Suryadiputra. “Kerjasama internasional sangat dibutuhkan (termasuk ketiga negara yang terdampak), difokuskan pada langkah-langkah preventif untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut.

Setiap tahun (kecuali pada tahun-tahun sangat basah) kebakaran besar merusak lahan pertanian, kehutanan dan lahan alami, menyebabkan masalah polusi udara, dan kerugian ekonomi yang sangat besar serta menyumbang ratusan juta ton emisi gas rumah kaca, dan akhirnya mempengaruhi iklim dunia. Berbagai penelitian telah menunjukan bahwa kebakaran terjadi akibat perbuatan manusia, dan sebenarnya dapat dilacak asalnya dari kegiatan pembukaan lahan, baik oleh perusahaan skala besar maupun skala kecil.

Pustaka

1 Betha R, Pradani M, Lestari P, Joshi UM, Reid JS, Balasubramanian R. Chemical speciation of trace metals emitted from Indonesian peat fires for health risk assessment. Atmospheric Research. 2013;122:571-8.

2  Miettinen, J., Shi, C., Liew, S.C, 2012. Two decades of destruction in Southeast Asia’s peat swamp forests. Frontiers in Ecology and Environment.Vol 10 (3), pp 124-128

3 Cause of haze? Up to 87% of recent deforestation in fire zone due to palm oil, timber, published in Mongabay.com


Untuk informasi lebih lanjut silakan hubungi :

Marcel Silvius, Head of Programme and Strategy, Wetlands and Climate: [email protected]+31 (0) 318 660 924
Nyoman Suryadiputra, Director, Wetlands International – Indonesia: 
[email protected]+62 251 8312189
www.wetlands.org